Selamat Jalan, Pa…

“His heritage to his children wasnt words or possessions, but an unspoken treasure, the treasure of his example as a man and a father.

— Will Rogers Jr. —

Pagi itu, jalanan Jakarta tak seperti biasanya, lengang. Wajar, karena hari itu bertepatan dengan libur nasional, 1 Juni 2018. Di saat yang sama saya juga tengah menjalankan tugas di kantor sebagai pembawa acara di upacara peringatan Hari Lahir Pancasila. Walaupun jalanan lengang, namun tak demikian halnya dengan pikiran dan benak saya. Ada kecamuk rasa galau di sela menjalankan tugas, terutama setelah mendengar Papa kembali masuk rumah sakit untuk yang kedua kalinya pasca pulang umrah.

Selepas umrah di tanggal 5 Mei 2018, kondisi Papa pelan-pelan mulai menurun. Diawali dengan keluhan di lambung yang menurut diagnosa dokter mengalami peradangan, berlanjut ke keluhan-keluhan kesehatan lainnya. Namun yang membuat hati saya tidak tenang adalah, kali ini Papa sempat tak sadarkan diri sehingga harus dirawat di ruang ICU.

Selepas upacara, saya pun segera memesan tiket sembari mengemasi beberapa barang bawaan dan pakaian seperlunya untuk dibawa pulang ke Sidoarjo, dengan harapan semoga Papa segera pulih.

Sesampainya di rumah sakit, nyatanya bukan hal yang mudah saat menyaksikan tubuh yang dulu gagah perkasa, kini terbaring lemah digerogoti penyakit hingga tak berdaya, pasrah dalam bantuan alat-alat medis. Dan ketika perawat mengizinkan saya masuk ke ruang High Care Unit tempat Papa dirawat, saat itu pulalah air mata tak mampu saya bendung. Laksana mendapat tamparan keras yang bertubi-tubi, tangis saya pun pecah.
“Maafkan Devi yang tidak mampu menjaga Papa dengan baik, ya…”

Tiba-tiba kenangan bersama Papa satu persatu berlompatan dalam ingatan saya. Kenangan tentang bagaimana Papa mengenalkan bahasa Inggris kepada saya, mengiringi saya menyanyi dengan menggunakan gitar kesayangannya, membelikan buku-buku dongeng dan kaset Sanggar Cerita. Tentang bagaimana Papa merespon pertanyaan konyol saya di tengah malam buta tentang kemungkinan saya jadi seorang model kelak ketika saya dewasa nanti. Tentang bagaimana ekspresi kekhawatiran Papa ketika melihat saya menangis dengan jari telunjuk yang berdarah-darah, gara-gara saya jepret sendiri dengan menggunakan stapler. Saking penasarannya saya tentang fungsi alat ini.

Dan yang paling mengharukan adalah bagaimana perjuangan Papa menyediakan air bersih untuk kami sekeluarga lantaran hampir di setiap malam air di rumah kami selalu mati. Terbayang bagaimana Papa harus berjuang mengalahkan dinginnya malam, menempuh jarak 1 km bolak-balik, mengisi jeriken demi jeriken hingga penuh, menaikkannya ke atas motor, menuangnya ke dalam bak kamar mandi kami hingga penuh supaya bisa kami pakai untuk kebutuhan sehari-hari esok pagi. Itu semua dilakukan setiap hari tanpa mengeluh. Teringat pula saat Papa mengantar jemput saya ketika masih sekolah, bahkan ketika saya pulang kerja. Iya, waktu saya masih kerja di Malang. Dan bahkan pernah, ketika motor kami hilang, Papa pun tetap menjemput saya dengan naik angkot. Masyaallah, sesayang, sepeduli, dan semelindungi itu Papa sama saya

Dan, malam itu pahlawan keluarga kami meringkuk dalam balutan selimut rumah sakit warna cokelat. Sosok yang dulunya gagah tegap itu kini nyaris tinggal tulang berbungkus kulit. Dengan penuh perjuangan menekan emosi, saya bisikkan lembut ke telinga Papa,

“Pa, ini Devi datang sama Alea dan Echa. Pa, besok papa harus sehat, ya. Kan besok aku ulang tahun. Aku nggak minta kado apa-apa selain besok Papa bangun dalam keadaan sehat. Ya, Pa, ya…Nanti kalau Papa udah sehat, kita jalan-jalan lagi, yuk! Sekarang Papa bobo aja dulu, besok pagi pas aku ke sini Papa bangun, ya…”

Kalimat-kalimat yang meluncur dari bibir saya malam itu sesungguhnya untuk memberi sugesti pada diri saya sendiri. Sugesti bahwa Allah masih memperkenankan saya punya Papa esok hari. Sugesti bahwa besok pagi, saya bisa diberikan kesempatan untuk berulang tahun bersama Papa. Saya percaya walaupun dalam keadaan tidak sadar, Papa mendengar apa yang saya bisikkan tadi. Malam itu saya pasrahkan segenap doa dan harapan saya kepada Tuhan. Karena di saat seperti ini hanya keajaiban doa dan perkenan Tuhan saja yang mampu membangunkan Papa keesokan hari.

Keajaiban itu nyata adanya. Di pagi buta, adik saya Echa yang semalaman menjaga papa di rumah sakit mengabari via pesan singkat Whatsapp kalau Papa sadarkan diri, sempat membuka mata, dan bahkan sempat menitikkan air mata.

Masyaallah… Tuhan mendengar ‘obrolan’ saya dengan Papa semalam. Tuhan memperkenankan Papa bangun di hari istimewa saya, 2 Juni 2018. Dengan penuh semangat saya pun bergegas menuju rumah sakit yang kebetulan jaraknya tak jauh dari rumah. Cukup berjalan kaki selama 10 menit saja saya sudah tiba di rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, emosi saya teraduk-aduk. Ada banyak rasa yang berkecamuk. Semacam paduan rasa bahagia, haru, namun sekaligus sedih luar biasa. Entah kenapa, jauh di sudut hati saya merasa inilah ulang tahun terakhir saya bersama Papa. Semacam firasat yang ingin saya enyahkan jauh-jauh.

Papa melihat kedatangan saya dari balik gordyn pemisah pasien. Beliau tersenyum samar di balik alat bantu pernapasan. Terlihat ada setitik air yang menggulir di sudut mata, yang segera dihapus oleh Echa, adik saya.

“Assalamualaikum, Papa…”

“Waalaikumsalam… Vi, selamat ulang tahun, ya. Semoga panjang umur, sehat selalu, dan
dilindungi Allah SWT. Aamiin…”

Kalimat-kalimat itu terucap dengan susah payah, meluncur di antara lidah yang sudah kelu, suara Papa nyaris tak terdengar. Saya mengamininya dalam keharuan luar biasa dan dalam tangis yang setengah mati saya tahan agar tidak tumpah ruah. Saya peluk lembut tubuh ringkih berbalut selimut cokelat itu, sembari menyelipkan ucapan terima kasih karena Papa sudah menyempatkan diri untuk sadar, siuman, bahkan mengucapkan selamat ulang tahun. Kado yang luar biasa indah dari Papa sekaligus Tuhan.

Hari itu kami bertiga berada di sisi Papa lengkap. Di moment itu kami saling mengungkapkan apapun yang selama ini tidak pernah (sanggup) kami ungkapkan di depan Papa. Rasa sayang kami, rasa cinta kami, rasa terima kasih dan penghargaan kami kepada Papa atas semua yang telah beliau berikan kepada keluarga. Walaupun lebaran masih kurang beberapa hari, tapi kami sudah saling meminta maaf dan memaafkan lebih dulu. Sembari menata dan mempersiapkan hati jika hari itu ternyata menjadi hari terakhir kebersamaan kami bersama Papa.

Ibarat nyala lilin yang sesaat sebelum padam, nyalanya akan membesar sesaat. Seperti itulah yang terjadi pada Papa. Fenomena lilinnya Papa itu ternyata di hari ulang tahun saya. Hasil ngobrol bareng Mastein , fenomena lilin itu semacam sebuah kondisi pasien yang sedang sakit parah, terlihat seolah-olah membaik, bisa diajak ngobrol, dll, sebelum akhirnya kondisinya kembali menurun, dan lalu berpulang.

Setelah dirawat kurang lebih 6 hari lamanya, Papa mengembuskan napasnya yang terakhir tepat setelah saya selesai membacakan surat As Sajdah di samping beliau, diiringi bisikan kalimat syahadat yang tak putus-putus di telinga beliau oleh kedua adik saya secara bergantian, di hari Rabu, 6 Juni 2018, pukul 16.24 di Rumah Sakit Umum Daerah
Sidoarjo, dalam usia 72 tahun.

Walaupun kami sudah menyiapkan mental sedemikian rupa, tetap saja bukan hal yang mudah untuk menerima kenyataan bahwa kami sekarang sudah menjadi anak yatim. Bahkan untuk menceritakannya kembali di blog ini pun saya butuh waktu yang lama sekali.

Tapi di balik ini semua kami bersyukur bahwa ada banyak kebaikan yang menyertai kepergian Papa. Papa pergi sepulang umrah, tidak terlalu lama sakit, dan alhamdulillah diberikan sakratul maut yang mudah. Bahkan kami yang mendampingi Papa pun nyaris tak sadar kapan Papa mengembuskan napasnya yang terakhir. Dan yang membuat terharu adalah sampai pukul 2 dini hari pun masih banyak yang takziah mendoakan, baik dari
tetangga, kerabat, teman SMA Papa, dan teman-teman dari Persaudaraan Setia Hati Terate. Masyaallah…

Konon, rindu paling menyakitkan adalah merindukan seseorang yang telah tiada. Tapi kami yakin dan percaya, bagaimana pun pedih dan sakitnya sebuah rasa kehilangan, Tuhan selalu ada untuk mendengarkan segala doa dan harapan.Tuhan selalu menyediakan cara untuk memulihkannya kembali.

Terima kasih untuk segala hal baik yang telah Papa lakukan semasa hidup untuk kami. Walaupun raga Papa tak lagi ada bersama kami, doa kami tak akan pernah putus buat Papa. Istirahatlah dengan tenang di sana ya, Pa. Jangan pernah khawatirkan kami, karena percayalah, para malaikat kecilmu ini telah menjadi anak-anak tangguh lebih dari yang Papa bayangkan.

Selamat beristirahat. Semoga kelak kita bertemu di surga-Nya ya, Pa…

 

 

[devieriana]

 

PS: ditulis tepat di hari ke-40 kepergian Papa

Continue Reading

Happy 3rd Birthday, Alea!

MYXJ_20170727125523_save
Ulang tahun Alea tahun ini sedikit berbeda dengan tahun sebelumnya. Kalau tahun sebelumnya dirayakan bersama teman-teman di daycare, tahun ini dia merayakannya di rumah. Iya, sudah beberapa bulan ini Alea tidak lagi saya titipkan di daycare karena berbagai pertimbangan. Padahal sebenarnya daycare itu banyak membantu dan jadi bagian solusi ibu bekerja. Tapi ya sudahlah, sementara meninggalkan Alea di rumah kembali bersama eyangnya mungkin jadi solusi terbaik untuk saat ini.

Balik lagi ke ulang tahun, ide berbagi makanan ini sebenarnya justru datang dari mama saya yang beberapa hari menjelang tanggal 17 Juli 2017 sudah mulai mencicil belanjaan untuk bikin nasi kotakan buat teman-teman mainnya Alea yang tinggal di sekitaran rumah. Jadi ya sudah sekalian saya belikan bingkisan snack untuk dibagikan juga ke mereka.

Sehari menjelang ulang tahun, ada sedikit insiden yang agak bikin gondok sebenarnya. Setelah seharian ada acara di Cibinong, kami pulang agak kemalaman, hampir pukul 9 malam baru pulang ke Mampang, sementara kami belum membeli kue ulang tahun buat Alea. Kebanyakan toko sudah tutup transaksi pukul 21.00 atau paling lambat pukul 22.00. Akhirnya kami pun pasrah pulang dengan tangan kosong pukul 23.00 setelah berkeliling hingga ke Kemang yang notabene masih ada hidup kulinerannya hingga larut malam.

Keesokan harinya, Alea bangun dengan lebih semangat karena dia ingat kalau hari itu dia ulang tahun. Iya, beberapa hari sebelumnya memang sudah kami sounding kalau hari Senin, 17 Juli 2017 nanti dia akan berulang tahun yang ke-3. Apalagi malam sebelumnya dia juga ikut belanja kebutuhan ulang tahunnya. Tapi, berhubung kue ulang tahunnya belum ada, di kulkas kebetulan ada sepotong rainbow cake jadilah kue ulang tahun dadakan, cuma untuk prosesi tiup lilin. Hahaha, maaf ya Alea, tiup lilinnya pakai irisan rainbow cake dulu ya, Nak.

Sorenya, sepulang kantor, saya belikan kue ulang tahun yang beneran lengkap dengan lilin ulang tahun. Ketika melihat saya membawa kue ulang tahun betulan, wajah kecil itu pun terlihat sangat sumringah. Sama halnya ketika lagu Happy Birthday kami nyanyikan bersama, lilin ulang tahun yang menyala terang di atas kue, dan tentu saja ketika segala doa baik yang kami panjatkan untuknya sore itu. Ah, bayi papa dan mama sudah besar ya…

To my favourite cupcake in the world, happy 3rd birthday! You have been filling our lives with laughter and love for three years. Stay cute, smart, sholehah, and adorable!

We love you!

[devieriana]

Continue Reading

Di Balik Cerita Ulang Tahun

Happy Birthday

Tahun ini adalah ulang tahun yang istimewa buat saya. Karena di tahun 2017 ini ulang tahun saya jatuh di hari dan weton yang sama dengan ketika saya lahir dulu. Sama-sama jatuh di hari Jumat dan, weton yang sama yaitu Pon! Halah, penting banget, yaa… Ya hari kaya begini kan belum tentu bisa ditemukan di setiap tahun, jadi wajarlah kalau saya menganggap ulang tahun di 2017 ini istimewa. Lebih istimewa lagi ketika jatuhnya di bulan Ramadan. Jadi saya nggak perlu traktiran teman satu biro… *eh*

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, saya sudah molor duluan sebelum pukul 00.00, waktu di mana orang-orang sering mendapatkan kejutan atau ucapan selamat ulang tahun pertama kalinya. Tapi saya selama ini belum pernah ada kejutan apa-apa tuh. Tapi biasanya sih yang mengucapkan selamat ulang tahun duluan Pak Suami sih, tentu saja sayanya juga sambil merem karena tidak kuat menahan kantuk.

Paginya barulah mulai ramai smartphone saya berbagai ucapan dari keluarga, whatsapp-whatsapp group dan pribadi, sama riuhnya dengan ucapan selamat di sosial media. Ah, kalian… terima kasih ya. Semoga doa yang sama juga tercurah pada kalian semua ya. Aamiin…

Yang lucu dan mengharukan itu pas di kantor. Jadi ceritanya sudah jam pulang kantor. Di ruangan hanya ada beberapa orang teman saja yang masih tinggal karena lembur. Saya sendiri sudah bersiap akan pulang sebenarnya. Sampai akhirnya ada 2 orang teman yang mengajak pulang bareng. Anyway, sampai situ saya masih belum nyadar lho kalau mereka berdua ini mau kasih saya surprise ulang tahun. Yang saya lihat mereka ini kok masih ribet aja nggak pulang-pulang, sementara saya sudah siap dari tadi.

birthday surprise

Ketika saya sedang asyik mainan HP, tiba-tiba salah satu dari mereka datang ke kubikel saya dengan alasan mencari berkas yang ditinggalkannya tadi. Padahal seingat saya dia nggak meninggalkan berkas apa-apa. Sampai akhirnya saya baru sadar kalau mau dikasih surprise ketika tiba-tiba dia menutup mata saya dari belakang, dan datanglah beberapa teman yang masih di ruangan, berkumpul di kubikel saya sambil membawakan mini tart dengan beberapa lilin ulang tahun. OMG! Kalian ini ya… 😀

Setelah mengucap doa dalam hati, saya pun meniup lilin ulang tahun dengan perasaan terharu. Kuenya, tentu saja belum bisa dimakan saat itu juga, kan masih pada puasa, hihihi…

Tak putus sampai situ saja, ternyata keesokan harinya saya diberi surprise oleh Pak Suami dan adik tercinta berupa… dijajanin di mall, boleh milih kado apa aja yang saya suka. Yes! Kesempatan! Saatnya menguras dompet dua orang ini! Hahaha… Eh, tapi nggaklah, saya nggak setega itu. Saya cuma pilih apa yang kebetulan saya butuhkan saja kok. High heels impian saya dan dompet. Sudah itu saja… *nangis lihat bon*

Hari Seninnya, saya pikir semua kejutan dan kado-kadoan sudah selesai dong, ternyata alhamdulillah masih ada yang kasih kado lagi. Kali ini berupa mini ice cream yang bentuknya imut lucu, yang dirajut sendiri oleh temen kantor, dan yang satu lagi yaitu In Ear Monitor, semacam alat untuk memonitor suara yang didesain agar pas terpasang di telinga penyanyi itu lho. Pas terima kado yang ini saya langsung membatin, wah, berasa sudah jadi penyanyi profesional aja ya, pakai IEM, hihihik. Ah, suka semualah pokoknya. Thank you very much, dear you!

Tapi, ngomong-ngomong yah, dari sekian banyak kado ulang tahun yang pernah saya terima, ada satu kado yang belum pernah saya terima sama sekali. Eh, pernah ding, tapi sudah dulu banget dan bukan dalam rangka ulang tahun, di zaman masih belum menikah. Apa itu? Bunga. Lah?! Iya, dulu sudah pernah sih kode-kodean sama suami soal bunga-bungaan ini, sampai dengan kemarin jawaban dia masih keukeuh

“Haiyah, ngapain sih minta dikasih bunga segala, wong ya nggak bisa dimakan, nggak tahan lama. Kasih kado itu yang bermanfaat, tahan lama, bisa dipakai, gitu…”

Jadi ya begitulah, pemirsa. Mungkin beginilah nasib bersuamikan orang teknik yang terbiasa berpikir pragmatis, dan kebetulan bukan tipe romantis. Halah, malah curhat, hahaha. Tapi ada enaknya juga sih nggak dikado bunga, kalau pemikirannya begitu, saya malah bisa minta kado yang lebih mahal dari harga bunga. Ye kaaan…

 

 

[devieriana]

 

 

picture source: from here

Continue Reading

Happy Birthday, Alea!

Alea ketika baru lahir, dan Alea sekarang

 

Minggu pagi, tanggal 17 Juli 2016, sekitar pukul 5 pagi, Alea bangun lebih dulu daripada kami semua. Seolah dia tahu kalau hari ini adalah hari istimewanya, tiba-tiba dia bertepuk tangan sambil masih tiduran di antara kami, dan bersenandung lirih lagu Happy Birthday dengan logat dan suara anak-anaknya yang menggemaskan, “epi… tu yuuu… epi…. tu yuuu… Yeeeey!”. Sontak mata saya terbuka; sambil menahan senyum saya colek papanya Alea yang masih pulas di samping saya untuk ikut diam-diam mendengarkan nyanyian bayinya yang hari ini bukan lagi bayi. Ya, hari ini Alea tepat berusia 2 tahun!

Hari ini adalah ulang tahun Alea yang kedua. Jeda 12 bulan setelah ulang tahunnya yang pertama Alea mengalami banyak sekali perubahan dan pertumbuhan yang signifikan. You are no longer a baby, but a little girl. I didn’t think I could love you more, but I do.

Penguasaan bahasa dan kata-katanya berkembang pesat. Dia sudah bisa menirukan kata apapun yang kami ucapkan, menirukan ekspresi wajah, hampir hafal setiap scene film animasi yang sengaja kami download-kan buat dia tonton di rumah, bahkan baru opening scene-nya saja dia sudah tahu itu film apa, sudah bisa minta minum kalau haus, minta maem kalau lapar, sudah bisa bilang pup, bahkan mengajukan protes ketika dia tidak berkenan terhadap sesuatu, seperti misalnya kemarin malam ketika kami memintanya gosok gigi sebelum tidur:

Eyang: “ayo Alea, gosok gigi dulu sini sama Nan…”
Alea: “Nan, nggak mau, Nan! Mamaaa!”
Eyang: “Oh, maunya sama Mama?”
Alea: “Mama, iya…”

and banyak lagi lainnya…

Kadang saya, papanya, atau eyangnya suka ‘frustrasi’ sendiri ketika tidak mengerti apa yang dia inginkan. Seperti misalnya, dia tiba-tiba bilang, “pipi panyas”. Biasanya, kalau memang iya benar apa yang kami katakan itu sesuai dengan maksud dia, Alea akan merespon, menganggukkan kepala atau mengiyakan apa yang kami katakan. Tapi kalau tidak, biasanya dia akan diam, menunggu sampai respon kami sesuai dengan maksudnya, hahaha… Sepertinya harus kursus bahasa asing nih, spesialisasi bahasa bayi.

Kadang dia juga suka marah kalau apa yang dia inginkan tidak selamanya kami turuti. Kadang sedih juga kalau lihat dia marah, tapi seringnya malah bikin geli. You are cute even when upset, Alea! Hahaha. Tapi sering juga ketika dia melakukan sesuatu dan itu bikin saya kesal ending-nya malah bukan kesal, tapi gemas. Seperti misalnya ketika dia minta snack Pringles, saya bilang:

Me: “Alea, nanti kalau maem, jangan di kamar ya, jangan di kasur, nanti banyak semut. Ya, Nak ya…”
Alea: *mengangguk tanda paham*

Ya sudah, saya nyuci piring di dapur, tapi di sela nyuci piring itu mata saya mengarah ke kamar. Eh, lha kok ndilalah Alea sedang menuangkan remah-remah Pringles ke lantai kamar *tepok jidat*

Me: “Alea! Huhuhu, kenapa kok ditumpahin ke lantai? Kan nanti banyak semut… Emang Alea mau bobo sama semut?” *sambil nyapu lantai*
Alea: “Mau! Hai cemuuuk, dadaaah….” *sambil kakinya diangkat ke kasur karena lantainya mau saya sapu*
Me: *speechless*

Lha? Kok jawabannya malah mau, pakai dadah-dadah segala ke semutnya… Moment seperti itulah kadang yang bikin kita awalnya kesel jadi gemes seketika.

Dan moment yang paling mengharukan adalah ketika dia tiba-tiba melakukan gaya shalat di keset depan pintu, sambil mengangkat kedua tangannya dan lalu sedekap sambil bilang, “Awoooo, hwa bas!”, maksudnya Allahu akbar… Saya bengong melihat dia rukuk dan sujud, lalu berdiri lagi. Kurang lebih mirip dengan gerakan shalat. Dia memang sering ikut saya shalat dan ketika sujud, dia pun ikut sujud. Tapi baru kali ini dia melakukan gerakan menyerupai orang yang sedang shalat. Ah, Alea…

Secara fisik pertumbuhan dia cukup bagus, bahkan banyak yang bilang kalau badannya panjang, lebih tinggi dari anak seusianya, tapi saya tetap saja kurang ‘ngeh‘ dengan perbedaan tingginya. Memangnya kalau anak usia 2 tahun harus seberapa sih? Ya alhamdulillah kalau memang tinggi, kan nanti bisa jadi Paskibraka ya, Nak… hihihik. Aamiin…

Selama beberapa bulan dia di daycare, sedikit banyak mempengaruhi perkembangan emosi dan psikologisnya. Saya akui penguasaan emosinya luar biasa. Pernah suatu ketika dia saya drop di daycare dan saya tidak bisa lama-lama berada di sana karena saya harus mengemsi di sebuah acara. Saya tahu dia kurang suka saya tinggal begitu saja, tanpa saya temani dulu, saya tahu dia pengen nangis, tapi dia hanya mewek sedikit ketika mencium tangan saya dan saya cium kedua pipinya, melihat saya pergi sambil dadah-dadah dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Dan ketika dipeluk salah satu bunda pengasuhnya itu saya lihat dia sedang menitikkan air mata. Dia menangis, tapi tidak tantrum, tidak menangis keras seperti anak lainnya. Dia mampu mengendalikan perasaannya. Ah, Alea… kamu bikin Mama baper ketika menuliskan ini, Nak…

Saya dan papanya Alea sedang belajar-belajarnya jadi orang tua. Sudah banyak nasihat yang kami terima baik itu dari orang tua maupun dari diskusi, buku/web parenting. Satu hal yang paling stuck out most adalah, ikutilah nalurimu. Dan itulah yang sedang saya coba. Menjadi orang tua memang tidaklah mudah, and yet you make it all worthwhile; menjadikan segalanya berharga. Bahkan di saat-saat yang sulit sekalipun.

I can’t tell you how much you mean to me, Alea; and how glad I am to have you in my life…

Happy 2nd birthday, my sweetie pie…
I love you now and for always…

[devieriana]

Continue Reading

Kisah Lebaran

selamat lebaran*bersih-bersih blog dari sarang laba-laba*

Hai apa kabar? Kelamaan hibernasi, nunggu ilham menulis yang tak kunjung datang, jadinya malah disarangin laba-laba.

Mumpung masih bulan Syawal, izinkanlah saya mengucapkan Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1436 H, mohon maaf lahir bathin kalau ada salah kata dan perbuatan ya… 🙂

Ramadhan kali ini terasa berbeda, karena saya melewatkan puasa Ramadhan berempat (saya, Mama, suami, dan Alea). Kalau tahun lalu saya terpaksa tidak berpuasa karena sedang hamil, tahun ini alhamdulillah bisa berpuasa penuh, cuma ‘bolong’ 2 hari karena sedang dalam perjalanan mudik.

Setelah tahun lalu kami berlebaran di Jakarta karena saya baru lahiran, tahun ini kami berlebaran di Surabaya. Dan pilihan kami adalah mudik via jalan darat! What? iya, jalan darat. Dengan membawa Alea? Ya iyalah, masa iya dia ditinggal di rumah sendirian? Sempat galau juga sebelum memutuskan memilih mudik via darat atau udara. Tapi berhubung suami dan ipar saya semangat banget untuk mencoba mudik via darat, jadi ya sudahlah, bismillah aja.

Saya, suami, adik dan ipar saya sepakat cuti 4 hari sejak tanggal 15 Juli 2015 , dan baru akan ngantor lagi tanggal 27 Juli 2015. Akhirnya, hari yang ditunggu untuk mudik pun tiba. Kami memulai perjalanan ke Surabaya mulai tanggal 14 Juli 2015 pada pukul 20.30 wib via jalur utara. Salah satu alasan kami kenapa berangkat malam, ya itu adalah jam tidurnya Alea. Tujuan kami salah satunya adalah mencoba jalan tol yang sedang heitz itu; Tol Cipali!

Sepertinya hari keberangkatan kami adalah hari puncak mudik. Perjalanan mulai bergerak lambat mulai di… ah, saya lupa, karena saya ketiduran! Tahu-tahu, sudah masuk gerbang tol Cikopo. Harapan kami akan lancarnya perjalanan, menguap begitu saja, karena di sepanjang tol itu… buset, banyak banget ya mobilnya! Ya iyalah, banyak mobil, masa iya ongol-ongol! Jadilah kami agak bete di jalanan. Ok, ‘agak’ lho ya. Karena kami masih ingat kalau kita mau mudik, mau ketemu keluarga, mau lebaran di kampung halaman. Lagian kapan lagi ‘seru-seruan’ mudik via darat nan padat itu; sekali-kalilah, masa iya pakai pesawat terus. Ye, kaaan? *lap-lap garbarata*

Karena kami membawa bayi, jadi ya di setiap rest area kami usahakan untuk istirahat, selain biar para driver-nya nggak terlalu pegel, biar bayinya juga nggak stress di jalan. Tapi alhamdulillah, kami salut sama Alea; di tengah perjalanan yang panjang itu, dia sama sekali nggak rewel. Sekalinya rewel karena ngantuk atau lapar. Selebihnya ya dia ‘sibuk’ main boneka dan main dengan kami dengan berpindah-pindah jok (depan-tengah-belakang, begitu seterusnya), sambil melihat pemandangan dan macetnya jalanan. Perjalanan mudik itu kami tempuh selama hampir 32 jam! Ya maklumlah, sesuai dengan deskripsi di atas agak kurang memungkinkan juga kalau perjalanan kami tempuh kurang dari 24 jam. Kecuali kami punya… baling-baling bambuuu!

Lebaran tahun ini jadi moment yang istimewa kuadrat. Bukan sekadar moment di mana kami bisa bertemu dan bersilaturahim dengan keluarga besar, tapi juga bertepatan dengan ulang tahun Alea yang pertama. Alhamdulillah, gadis kecil yang tahun lalu di tanggal yang sama masih ‘sibuk’ menangis ala bayi di RS, sekarang sudah berusia 1 tahun, sudah punya banyak kebisaan dan kelucuan yang membahagiakan kami.

devi instagram

Oh ya, melihat perkembangan Alea yang pesat ini, ada hal yang ‘menakjubkan’ kami; Alea sudah mulai mengenal mainan di Timezone! Awalnya, dia cuma pengen dititah-titah doang, jalan keliling foodcourt di salah satu mall di Surabaya. Tapi mendadak di depan counter cotton candy yang berbentuk mobil-mobilan, dia nggak mau jalan, maunya jongkok saja di depan counter-nya. Dikirain mainan kali ya. Akhirnya, untuk membujuk dia agar mau jalan, saya belokkan ke Timezone yang kebetulan bersebelahan dengan counter cotton candy itu. Dan you know what bagaimana reaksinya? Semacam takjub gitu. Kan, di sana ada banyak suara, warna-warni wahana, dan hal-hal baru baginya. Alhasil, ketika saya ajak duduk menghadap wahana kereta-keretaan, dianya malah mau manjat pagar pembatas area kereta-keretaan. Yaelah, kamu ini laki apa perempuan sih, Nak? Kok mau manjat-manjat pager? *ajak Alea duduk manis di pinggir pagar-pagaran.

Jadi, ya sutralah ya, karena anaknya terlihat keukeuh pengen main, papanya akhirnya beli perdana juga. Demi menyenangkan Alea, hahahahak. Dan dia ceria banget dong, ketika naik kuda-kudaan, mobil-mobilan, dan kereta-keretaan. Dia juga anteng berdiri di mesin pengambil makanan (apa itu deh namanya), mungkin buat dia itu mesin yang lucu, karena bisa gerak-gerak sendiri, maju/mundur ngambil makanan. Gitu kali, ya? *tepok jidat*
*jidat papanya*

devi instagram_2

Dari pengalaman keberangkatan di mana kami sempat terjebat macet di Brebes dan sekitarnya, pulangnya kami memutuskan untuk mengubah rute perjalanan via jalur selatan. Biar nggak bosen, sekalian mau rekreasi. Alhamdulillah perjalanan pulang menuju Jakarta via jalur selatan ini jauh lebih lancar, ya itu juga karena kami balik ke Jakartanya sudah di tanggal yang off peak juga yaitu 24 Juli 2015. Tapi ya tetap saja sampai di Jakarta hari Minggu siang, tanggal 26 Juli 2015. Lho, kok bisa? Katanya jalanan lancar, nggak macet? Iya, kita sempatkan untuk bermalam di Yogyakarta. Tujuannya selain mau ngajak Alea naik delman (di Jakarta, Alea lagi seneng-senengnya lihat kuda dan naik delman yang keliling di sekitaran Mampang), selain itu juga ingin berwisata belanja di Malioboro, Pasar Beringharjo, dan sekitarnya, hihihihik.

Secara keseluruhan, perjalanan mudik lebaran tahun ini yang via jalan darat dan memakan waktu berhari-hari itu alhamdulillah berjalan lancar. Salut dengan ketahanan tubuh Alea. Di balik perjalanan yang melelahkan itu, dia alhamdulillah dalam kondisi yang sehat. Buat orang dewasa ini merupakan perjalanan yang melelahkan dan bikin stress, apalagi buat bayi seusia Alea.

Semoga lain kali bisa kumpul dan seru-seruan lagi bareng keluarga. Tapi semoga nggak pakai macet lagi kali..

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading