Balada Online Shopping

online-shop

Dulu, saya bukan termasuk orang yang gemar berbelanja secara online. Buat saya, kalau mau beli barang ya lihat secara langsung; kalau cocok dibeli, kalau enggak ya enggak beli. Pun ketika saya sudah tinggal di Jakarta, yang notabene hampir semua barang tersedia dan bisa didapatkan dengan mudah. Dulu waktu trend belanja via online baru muncul, sempat ragu juga. Alasan utamanya ya takut ditipu. Ya wajarlah, secara, barang yang ditawarkan cuma bisa kita lihat dalam bentuk foto, bagusnya tampilan barang belum tentu bisa menjamin kualitas barang, kan? Belum lagi kalau sudah di-retouch dengan photoshop di sana-sini. Barang yang sebenarnya nggak kinclong-kinclong amat aja

Saya baru sedikit tune in dengan yang namanya online shopping itu ketika saya ngeblog di multiply.com sekitar tahun 2006-2007-an, ketika ada beberapa teman di friend list saya yang awalnya membuat akun pribadi, lama-lama berubah menjadi akun jualan. Perubahan ini memang tidak drastis; awalnya mereka menawarkan produk baju, kain, kosmetik, atau bahkan barang second yang secara fisik masih layak guna dalam jumlah yang terbatas. Tapi ketika melihat respon teman yang lain ternyata bagus, mulailah mereka menambah jumlah koleksi dan meng-update-nya secara berkala.

Lantaran keseringan buka situs multiply.com dan melihat tampilan update koleksi jualan mereka, akhirnya kekukuhan saya untuk tidak berbelanja via online pun pelan-pelan runtuh. Apalagi ketika bentuk badan saya masih melar ke mana-mana pascamelahirkan, jadi yang saya butuhkan masih berupa baju-baju berpotongan longgar untuk menyembunyikan’ kelebihan sisa lemak yang masih tertimbun di sana-sini, sementara untuk sengaja beli baju ke mall kok pas males. Sejak saat itulah saya mulai keranjingan berbelanja via online dan setia menunggu update koleksi terbaru dari salah satu lapak langganan saya.

Nah, saya pikir semua online shopping kalau sudah berani buka lapak, ya berarti pelayanannya juga maksimal (sama seperti online shopping langganan saya). Tapi toh ternyata tidak semuanya begitu. Pernah juga saya mengalami kejadian kurang menyenangkan dengan online shopping sekitar 6 tahun yang lalu.

Berawal dari sekadar ‘window-shopping’ di facebook. Dari sana ternyata ada sepasang baju batik sarimbit yang warna dan modelnya lucu. Seperti prosedur yang biasa saya lakukan ketika belanja online, saya pun melakukan pemesanan, berkomunikasi dengan penjualnya, dan melakukan pembayaran. Kebetulan lokasi tokonya ada di Jawa Tengah (saya lupa tepatnya di mana). Tunggu punya tunggu, kiriman yang seharusnya paling lama sudah saya terima dalam jangka waktu 3 sampai 7 hari kerja itu kok nggak muncul-muncul ya; padahal janjinya barang akan segera dikirim. Si Penjual kok sepertinya juga adem ayem saja, nggak ada info apa-apa, ya? Mulai khawatir dong. Jangan-jangan ini modus penipuan, atau paket hilang di jalan. Ah, tapi kan ada resi pengiriman, jadi barang bisa dilacak keberadaannya di mana. Lha tapi saya juga nggak dikasih tahu nomor resinya, gimana saya bisa melacak? Saya juga sudah konfirmasi ke orang rumah apakah ada paket buat saya, tapi nyatanya memang belum ada paket apapun yang apa-apa yang tiba di rumah.

Usut punya usut, setelah saya konfirmasi via sms/e-mail (karena yang bersangkutan susah sekali ditelepon), ternyata barang belum dikirim! Lhah, kok bisa? Alasannya klise dan terdengar sedikit kurang profesional.

“Maaf Mbak, barang memang belum saya kirim karena saya kan packing, kirim sendiri, sementara pesanan menumpuk. Apalagi tempat ekspedisinya jauh dari rumah saya, dan saya nggak punya kurir. Besok deh saya usahakan kirim, Mbak. Maaf ya…”

Lho, gimana tho? Ya kalau memang belum dikirim atau ada kendala pengiriman hambok ya diinformasikan ke pembeli, biar pembeli nggak harap-harap cemas menunggu kiriman datang. Walaupun dengan kening sedikit berkerut, tapi saya coba berpikiran positif dan memaklumi. Ya sudahlah, toh bajunya nggak urgent-urgent amat, nggak segera dipakai ini, dan saya pun mulai menunggu kembali.

Tak terasa waktu pun bergulir, dan hampir seminggu setelah komunikasi terakhir saya dengan Si Mbak itu, akhirnya ada konfirmasi sms darinya:

“Mbak, barang pesanan Mbak dikembalikan lagi ke saya karena alamat Mbak tidak jelas dan itu rumah kosong”

Lah, gimana bisa rumah kosong, sih? :-o. Aduh! Saya pun mengelus dada dan mengucap istighfar berkali-kali. Sekali lagi, usut punya usut ternyata Si Mbak itu yang salah tulis alamat. Salah/kurang menulis angka romawi VIII menjadi VII ya akhirnya fatal nyasar ke mana-mana… 😥

Jujur, dengan banyaknya alasan yang disampaikan oleh Si Mbak itu, saya nyaris putus asa dan memutuskan untuk membatalkan pesanan saya saja. Tapi entah kenapa kok saya malah kasihan sama Si Mbak itu. Dalam pikiran saya, mungkin dia baru mencoba membuka usaha, jadi masih kelimpungan dengan delivery, administrasi, dll. Tapi ya itulah risiko bisnis, IMHO seharusnya sudah dipertimbangkan sebelum memulai usaha. Jadi ya sudahlah ya, saya kembali mencoba bersabar untuk ke sekian kalinya.

Ah, akhirnya, setelah drama panjang yang telah saya lalui selama sebulan lebih itu pun, pesanan saya akhirnya datang juga, Sodara! Pffiuh! Leganya… *usap peluh*. Rasanya ini adalah pengiriman barang dengan delivery paling lama sedunia, padahal Mama saya kalau kirim paket dari Surabaya paling lama 3 hari sudah saya terima, ini yang cuma di provinsi sebelah saja kok ya pengirimannya ngalah-ngalahi pengiriman paket dari luar negeri.

Dengan antusias saya mulai buka paket yang masih terbungkus kertas cokelat lusuh itu. Tapi antusiasme saya mendadak kuncup seketika, saya pun kembali harus menelan kekecewaan, barang yang tiba ternyata bukan sepasang batik yang saya pesan, baik warna, model, maupun ukurannya. Hwaaaa! 😥 Duh, Mbak. Niat jualan nggak, sih? *jambak-jambak rambut*. Sudah pengirimannya lama, sempat salah alamat, pas sudah sampai kok ya salah kirim jenis barangnya. Itulah terakhir kali saya protes ke Si Penjual, dan langsung berjanji dalam hati untuk tidak lagi berbelanja di online shop satu ini.

Semakin banyaknya online shop yang bermunculan, saya pun semakin selektif dalam berbelanja online. Terhitung saya hanya berbelanja di 3 situs belanja terpercaya saja, itu pun setelah melalui proses seleksi dan perbandingan dengan online shopping-online shopping yang lain, dan kebetulan barang-barang yang ditawarkan di sana sesuai dengan selera saya, hihihik :mrgreen: . Pernah saking lapar matanya melihat koleksi barang yang mereka tawarkan, saya pun kalap, dan besoknya… saya puasa. Ter-la-luh! 😐 😆

Seperti hari ini pun, saya harus menahan diri untuk tidak membuka situs salah satu online shop (padahal email notifikasi up date-nya sudah terbuka di depan mata), pertimbangannya sih selain belum gajian juga karena ada prioritas lain yang jauh lebih penting dari sekadar belanja baju yang lucu-lucu itu. Ya sedang mencooba belajar jadi smart shopper, nih. Ihik! 😉

“Tapi tenang, kalau kita berjodoh, kalian pasti jadi milikku…”
*ngomong sama salah satu barang inceran*

Lhoh!

 

 

[devieriana]

sumber ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading