Lelaki yang sama, berdiri di sudut perempatan lampu merah. Tua, badannya bungkuk, bajunya lusuh & kusut. Bertopi kupluk usang yang sudah tak jelas warnanya. Tangan & suaranya gemetaran karena usia, kulitnya bertekstur kerut tak lagi kencang, matanya pun mulai rabun & sedikit berair.
Sengat tajam sang mentari tak jadi masalah. Pun hirau rintik hujan & helai dinginnya malam. Sepasang kaki renta menopang tubuh ringkihnya. Telapak kaki yang lebar & kehitaman beralas sandal yang sudah tak lagi berbentuk, berjalan tersaruk-saruk menghantam debu pun beceknya jalanan.
Senin, Selasa, hingga Ahad tiba, tak bosannya dia berdiri ditepian jalan itu, menjaja kantung-kantung plastik transparan berisi botol-botol plastik yang dipegang erat di tangan keriputnya. Gelembung demi gelembung ditiupnya untuk mendulang keping rupiah. Tawaran di tengah getar suara yang menua, yang hampir pasti berujung gelengan.
Ah, senyum itu Pak.. Masih bisa kau tersenyum diantara sulitnya hidup yang kau jalani? Entah ada berapa banyak anggota keluarga yang menunggumu pulang. Atau hanya tinggal kau sendiri?
Hanya itu yang bisa dia lakukan. Bertahan untuk mengisi sisa usia, kala mengemis bukan pilihan bagi hidupnya. Akankah dia menjual gelembung udara hingga ajalnya tiba?
[devieriana]
22 Comments
@Cefer : betul, mesti banyak bersyukur klarena di luar sana masih banyak orang-orang yang kehidupannya tidak seberuntung kita 🙂
@Silentpurple a.k.a Titin : Amieen.. Paling kita juga cuma bisanya ikut mendoakan ya say.. Moga-moga Bapak itu dan keluarganya diberikan rezeki yang berkah & diberikan kemudahan dalam menjalani hidupnya ya..
@Warm : sama-sama Om.. Semoga bermanfaat.. 🙂
huhuhu.. terharu mba..
waktu itu saya juga pernah membaca cerita tentang anak penjual keripik singkok di bandung, sampe netes air mata waktu baca itu.. sungguh harus bersyukur dengan apa yang sudah ada sekarang karna memang diluar sana masih banyak yang jauh lebih sakit berjuang menjalani hidupnya..
@Zulhaq : nulis ini berasa kaya waktu nulis yang ini : http://www.devieriana.com/2009/07/suatu-sore-di-belakang-setiabudi-building/ :((
Salam kenal juga Zul *keplak-keplakin!* ;))
Sedih mba :(( aku juga sering banget liat bapak-bapak tua yang masih harus kerja untuk keluarganya, nggak tega, dan ikut berdoa mudah2an mereka nggak mengalami kesusahan yang jauh lebih berat lagi. Amiin
@Diah : Amien.. doa yang sama buat orang-orang tua yang masih berusaha buat hidupnya dan keluarga, padahal seharusnya di usia mereka itu sudah layak untuk beristirahat menikmati sisa usia ya.. 🙁
Salam kenal juga ya jeng 🙂
@Dedet : hiks, iya sama.. apalagi saya yang ngeliat :((
@Wiwied : iya, lumayan sih berat karena postingannya udah banyak ;)). Tapi berhubung yang mindahin bukan saya jadi ya nggak begitu terasa ;))
Ceritanya sih tentang bapak-bapak yang udah tua sedang menjajakan gelembung sabun.. :((
Hiks, kasian :((
@kucing_usil : bwahahahah, too fast you reading, Nak.. :))
Gelembung, bukan Gemblung =))
Gitu itu apa nggak mending dia tinggal di panti jompo ya? Ya suka kasian aja sama orang-orang laya mereka, nggak ada yang merawat.. Daripada terlantar di jalanan 🙁
jadi malu sama si bapak
makasih udah mengingatkan untuk lebih bersyukur ya 🙂
@Wongiseng : mungkin sudah pasrah sama keadaan, Mas. Orang-orang yang kaya begitu sudah nggak tahu mesti berusaha gimana lagi. Kurang susah gimana lagi coba? Ya namanya pengen survive, apapun akan dijalani.. :(( . Sedih ya 🙁
@Juminten : sosok kaya begini sebenernya banyak Jeng.. kadang kitanya yang nggak ngeliat. Saya suka nggak tega sama orang-orang kaya begini.. 🙁
@clingakclinguk : iya, saya justru lebih simpati sama mereka-mereka yang memilih untuk berusaha dulu, nggak langsung mengemis. Walaupun kadang masih suka saya kasih karena memang iba, terutama yang sudah sepuh banget & tampak tak berdaya. Tapi kalau masih sehat & segar bugar saya kok nggak kasian ya..
Entah sampe kapan dia menjual gelembung itu. yang jelas, dia akan tetap tersenyum hingga hembusan napas yang terakhir. karena tak ada lagi derita yang membuat hidupnya terbebani. karena derita, kerasnya hidup, sudah menjadi sahabat baginya.
Salam kenal ya mbak 🙂
*siap siap disambit pohon kelapa*
sungguh tangguh sang Bapak ini, salute buatnya, dan saya lebih senang orang yg spt ini ketimbang dipake buat ngemis 🙁
semoga Bapak itu sehat selalu 🙂
*salam knal mbak* 🙂
sedih -.-
Wah mbak…. blognya tambah cantikk…. ^-^v kayak yang empunya jugah… berat gak pindahannya kemaren?? ^____^v
huhu…. cerita yang ehem… kalbu terenyuh… kenapa gerangan… ^__^v
dedikasi dan perjuangan. dua hal penting untuk bisa bertahan hidup 🙂
oot: anu, lagi lapar siang-siang kebacanya tadi penjual gemblung. ternyata gelembung ;;)
Hebat ya bapak ini masih bisa tersenyum, walaupun hidupnya jauh lebih berat dari orang yang sering terdengar mengeluh.
duh, terharu bacanya mbak…
aku pernah jg nemu bapak2 seperti ini di depan mesjid tempat aku biasa ngaji dulu waktu masih kecil.
sampe sekarang masih inget wajahnya.
entah gimana kabar bapak itu sekarang… 🙂
hampir di setiap perempatan lampu merah kita bisa menemui orang semacam lelaki penjual gelembung udara itu, dengan segala keterbatasannya tapi tak menyerah pada keadaan, tidak mau mengemis, memanfaatkan belas kasihan orang lain, juga tak pernah memaksa orang untuk memberinya uang, hanya berdiam di perempatan itu dengan harapan seseorang akan datang menghampiri dan membeli barang dagangannya.