Anak vs Sinetron

Sebagai orang yang tidak menggemari sinetron, saya terbilang kurang update tentang sinetron apa saja yang sedang tayang, masuk episode berapa, ceritanya tentang apa, aktrisnya siapa saja. Yang saya ingat cuma sinetron jaman tahun jebot yang waktu itu ngehits banget : TERSANJUNG, yang sekuelnya dibuat sampai season enam (belas) mungkin? Dari cerita yang awalnya menarik sampai jadi aneh dan nggak masuk akal. Mulai dari cerita wajah asli sampai kecelakaan dan harus operasi plastik padahal itu untuk menggantikan pemain yang tidak diperpanjang lagi kontraknya oleh rumah produksi #-o

Cerita sinetron kita identik dengan kehidupan yang “bumi langit”. Perbedaan mencolok antara si kaya dan si miskin, yang kalau kaya bisa jadi kaya banget, kalau miskin ya miskin banget. Atau penokohan “hitam-putih”, kalau yang baik ya baik banget, kalau yang jahat ya jahat banget. Padahal kan kalau di dunia nyata yang jahat itu justru “abu-abu” ;)) . Adegan yang sepertinya ada kemiripan satu sama lain di setiap sinetron, misal : kecipratan lumpur dari mobil si kaya yang mengotori baju si miskin nanti ujung-ujungnya ketemu lagi & lama-lama mereka saling jatuh cinta, atau adegan ibu tiri yang jahat banget yang lebih mengingatkan saya pada bintang jadul Joyce Erna (kisah Arie Hanggara) atau ibu tirinya bawang putih ;)).

Memang nggak semua sinetron ceritanya begitu. Ada sinetron yang ceritanya membumi dengan pemain-pemain yang berakting sangat natural, misalnya : Si Doel, Keluarga Cemara. Ceritanya dekat dengan kehidupan sehari-hari dan akting para pemainnya pun juga alami. Ketimbang sinetron jaman sekarang yang kadang kurang realistis, banyak memunculkan kejahatan & kelicikan. Tapi kenapa justru sinetron yang seperti itu yang justru disukai masyarakat ya? Apakah memang masyarakat kita lebih suka dijejali dengan tontonan-tontonan berbau mimpi dengan lakon yang sangat hitam putih? 😕

Dulu saya pernah berdiskusi dengan salah satu teman jurnalis televisi yang kurang lebih bilang begini :

“tema yang nggak akan pernah basi walau sudah dibahas berulang-ulang di televisi atau novel ada 3 : seks, (perebutan) harta, dan cinta (segitiga). Itu cerita yang luas banget kalau dikembangkan jadi sebuah cerita..”

Terbukti memang, cerita yang kita temukan sehari-hari di televisi atau buku ya temanya nggak jauh-jauh dari itu. Saya pun akhirnya manggut-manggut.

Nah yang lucu nih (entah saya harus tertawa atau prihatin) pas sepupu saya kemarin cerita tentang keponakan saya yang baru berusia 2 tahun, yang mau tidak mau lihat tivinya se-acara dengan yang ditonton orang-orang dewasa yang ada dirumahnya, akhirnya terpengaruh dengan adegan yang ada di televisi. Sampai akhirnya diputuskan untuk berlangganan tv kabel khusus di stel film kartun. Karena sang ibu terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulut si kecil yang walaupun saya waktu dengar ceritanya bisa ngakak-ngakak, tapi lama-lama mikir segitu parahnyakah efek tontonan yang tidak tersortir itu?

Kalau dengar percakapan antara si kecil dengan mbak pengasuhnya yang ini saya nggak tahu mesti tertawa atau prihatin ya,

“Mbak, mbak mau mati nggak? Ayo sini masuk kulkas..”.

Nah lho, si Mbak disuruh masuk kulkas. Emangnya dia semacam buah-buahan? Atau, percakapan telenovela banget ketika si kecil menjawab dengan formal :

“entahlah Bunda, aku tidak tahu.. aku benar-benar bingung..”

Padahal cuma ditanya hari ini mau pakai baju warna apa? ;))

Memang sih untuk beberapa tontonan tertentu pihak televisi sudah menyertakan kode tertentu untuk jenis tayangannya. Misal : BO (Bimbingan Orangtua), R (remaja), SU (Semua Umur). Tapi yang namanya orang dewasa kadang suka terlewat, tidak sengaja menonton acara kegemaran mereka sementara ada anak-anak yang juga ikut menonton. Tidak bisa dipungkiri karena memang porsi acara anak-anak jauh lebih sedikit dibandingkan dengan acara untuk orang dewasa. Bahkan tayangan yang sebenarnya dikhususkan untuk anak-anak pun juga masih berbau konten orang dewasa, misalnya acara Idola Cilik. Bener sih yang nyanyi anak-anak, tapi lihat dong materi lagunya.. lagu dewasa semua. Karena memang lagu anak-anak juga sudah jarang terdengar. jadilah lagu orang dewasa yang dimodifikasi sedemikian rupa, diubah beberapa syairnya menjadi syair yang “lebih anak-anak” :-”

Kita juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan media televisi sebagai kambing hitam berubahnya perilaku anak-anak menjadi lebih agresif & menjadi “kurang anak-anak” alias dewasa sebelum waktunya. Karena yang lebih penting sebenarnya adalah faktor lingkungan. Bagaimana pun mereka lebih banyak bergaul dengan lingkungan sekitarnya ketimbang televisi. Jadi kontrol memang sebaiknya tetap dari para orang tua terutama dalam menyortir tayangan-tayangan mana saja yang pantas & boleh dikonsumsi oleh anak-anak, tayangan mana saja yang butuh pendampingan orangtua, dan tentu saja memilih tayangan mana saja yang aman dari segala bentuk kekerasan baik verbal ataupun tindakan. Karena anak-anak ibarat kertas putih, isinya akan tergantung dari siapa yang menuliskan & apa isi tulisannya.. 😉

[devieriana]

Continue Reading