Sering kali sambil iseng saya memperhatikan gaya berbusana orang-orang di sekitar saya secara random. Bukan hanya di mall, tapi juga di kantor, bus, halte, terminal, di stasiun, di jalanan, di meet up-meet up acara tertentu. Anywhere. Bahkan dari sanalah justru kadang inspirasi menjahitkan baju dengan model tertentu berawal.
Kadang saya juga sengaja mengunjungi toko-toko buku yang berinterior bagus, berpencahayaan lembut, dengan tata ruang yang sengaja dibuat spacious. Tujuannya selain memang mencari buku, sekaligus rekreasi jiwa dan mata. Namanya saja ruang publik tentu yang berkunjung pun beragam. Dari kesimpulan hasil pandangan mata secara random, rata-rata mereka yang datang ke sana pun berjenis yang sama dengan tatanan toko buku. Maksudnya sama rapinya, sama-sama enak dilihatnya, sama-sama stylish-nya. Entah mereka di sana benar-benar akan membeli buku, sekadar ingin membaca, menunggu seseorang, atau cuma ingin nongkrong sambil meeting. Semacam cara membunuh waktu dengan cara yang stylish, gitu.
Ngomong-ngomong, apakah kemampuan untuk tampil keren (bukan mahal) itu bakat, naluri, ‘taste‘, atau sesuatu yang tercipta karena life style, situasi, dan kondisi? Karena sering saya lihat seseorang yang tampil keren itu bukan selalu karena busana yang mahal, atau memakai produk branded dari atas sampai bawah. Tapi bisa karena mereka pandai memadu padan, pandai memilih gaya yang sesuai dengan bentuk badan, atau mereka bisa tampak stylish karena life style yang mereka ‘bawa’. Seperti misalnya berada di toko buku yang stylish, nongkrong di tempat yang menarik/gaul, padahal mungkin cuma pakai tshirt, jeans, postman bag/tas jinjing, flat shoes/keds/sneakers. Ah, saya sudah lama sekali tidak nongkrong di tempat beginian. Kalau pun harus nge-mall sekarang pilih mall yang ada nursery room yang nyaman buat Si Kecil. Life changing.
Sama seperti yang tertuang dalam buku seorang fotografer Douglas Kirkland, “Coco Chanel Three Weeks 1962”, kita pun bisa melihat seorang Coco Chanel, seorang ikon fashion paling penting di dunia, yang hanya mengenakan setelan jaket dan rok. Di foto tersebut dia pun sudah terlihat tua, jauh dari kesan seksi. Tapi, mengapa Coco Chanel masih terlihat sangat stylish? Semua karena life style yang dilakukan Coco di antara para jetsetter, serta kesibukannya di studio jahit yang eksklusif.
Mungkin jiwa mengamati orang lain sudah ada sejak saya masih kecil. Mama saya dulunya adalah seorang penari klasik. Ternyata, menjadi seorang penari yang tampilannya harus terlihat paripurna di atas panggung mempengaruhi cara berbusana mereka di luar panggung. Prinsip mereka, tidak harus berbusana mahal, asalkan nyaman, rapi, dan pantas dilihat. Kebanyakan mereka lebih menerapkan prinsip, “ajining diri saka lathi, ajining salira saka busana”. Layaknya adagium mulutmu harimaumu, harga diri seseorang tergantung dari apa yang diucapkan, harga jasmani tergantung dari apa yang dikenakan. Ajaran ini tidak bermaksud untuk menghargai seseorang hanya dari kulit luar atau pakaiannya saja, tetapi justru mengajarkan agar kita menjadi seorang yang valuable.
Menutup postingan saya yang random ini, saya akan mengutip kata-kata Coco Chanel:
“Fashion is not something that exists in dresses only. Fashion is in the sky, in the street, fashion has to do with ideas, the way we live, what is happening”
[devieriana]
gambar dipinjam dari sini