Sebenarnya saya pernah menulis tentang tema ini sebelumnya, tapi karena sesuatu dan lain hal yang terjadi pada blog saya, akhirnya postingan itu lenyap sebelum sempat saya back up :((
Ngomong-ngomong tentang tukang pijat, dulu saya sempat trauma sama tukang pijat. Bukan apa-apa, gara-gara habis dipijat, siklus bulanan saya mendadak jadi kacau balau, walaupun akhirnya kembali stabil setelah 4 bulan. Ya, meskipun nggak kenapa-kenapa namanya perempuan tetap khawatirlah. Sampai akhirnya setelah menetap di Jakarta, dan menemukan tukang pijat yang cocok, barulah saya mau dipijat lagi. Itu pun terpaksa karena saya habis jatuh; biasalah, kalau kebanyakan pecicilan kan begini, Kak. Ibu itu kalau mijat nggak langsung pakai minyak, Kak. Tapi seluruh badan dilemaskan dulu dengan pijatan tanpa minyak, baru kalau seluruh urat dirasa sudah lemas dia pijat pakai minyak khusus pijat.
Nah, suatu hari, ketika saya sedang butuh dipijat karena merasa badan sedang kurang ‘presisi’, kok ya ndilalah ibu tukang pijatnya pulang kampung ke Lampung. Ada rekomendasi di sana, ternyata tukang pijatnya sedang ke luar kota. Di tempat lain, ternyata tukang pijatnya lagi out of order karena sakit. Dan yang parahnya, ternyata tukang pijat yang satu lagi dan saya gadang-gadangkan dia ada, ternyata sudah meninggal. Ah, yang ngasih info kurang up date, nih. Untung belum berangkat ke sana…:|
Alhasil setelah ‘berburu’ tukang pijat sana sini saya pun akhirnya terpaksa pergi ke salah satu tukang pijat yang rumahnya agak jauh, dengan membawa harapan sepulang dari sana badan saya kembali ‘lurus’ dan jadi segar ceria seperti sedia kala.
Akhirnya, sampailah saya di sebuah rumah bercat hijau, dengan pepohonan rindang di depan halaman. Terlihat ada beberapa perempuan setengah baya sedang berkumpul, sepertinya mau pergi. Setelah bertanya ini itu, ternyata benar di sana ada tukang pijat, seorang nenek berperawakan kecil, dan kurus. Setelah menunggu beberapa saat, saya pun dipersilakan masuk ke ruang belakang rumah tersebut. Sebuah ruangan luas berlantai semen, dengan sekat-sekat mirip bilik kamar. Sementara di pojok ruangan itu bertumpuk ember-ember di atas dipan bambu. Saya sempat celingukan; di ruangan manakah kira-kira saya akan dipijat? Ternyata saya ke-GR-an, Sodara.
Nenek itu membentangkan tikar di lantai, menyiapkan sarung sebagai alas pijat, minyak kelapa di sebuah mangkuk kaca, meletakkan sebuah bantal, dan menyuruh saya untuk segera berbaring.
“Mari, Neng. Silakan berbaring di sini…”
Jujur saya agak ragu, bakal nyaman nggak ya tubuh saya nantinya beradu dengan lantai begitu? Lha wong kadang dipijat di atas kasur saja masih ada nggak nyamannya, apalagi langsung di lantai. Tapi ya sudahlah, saya buang jauh-jauh keragu-raguan saya. Saya pun menurut dan segera membaringkan diri sambil menunggu nenek itu ‘beraksi’.
Tanpa banyak bicara dia segera membalurkan minyak kelapa ke seluruh kaki saya, dan mulai memijatnya dengan kekuatan penuh. Beberapa kali tanpa sadar saya mengaduh sampai gaduh berlari ke hutan lalu ke pantai.
Proses pijat berdurasi kurang lebih 1 jam setengah itu pun diakhiri dengan diraupnya wajah saya dengan minyak kelapa, ditambah dengan kepala dan rambut yang diuyel-uyel tak beraturan. Sempat membatin dalam hati, “Ya Tuhan… ini muka saya diapain sih sebenernya? Ditotok bukan, dipijat juga kayanya dulu nggak gini-gini amat…” *mulai mewek*
“Yak, sudah selesai, Neng… Gimana? Badannya jadi enakan, kan? :)”
“Nnng, iya… enakan. Enakan, Nek. Terima kasih… “
Saya menjawab dengan ekspresi yang sulit untuk digambarkan dengan emoticon apapun. Jangan ditanya apa yang saya rasakan sepulang dari sana. Badan rasanya semakin nggak ‘presisi’, pegal linu bukan main, dan sampai rumah saya nangis dong. Ya habisnya, bukannya malah baik, malah sakit semua, Kak :((
Apakah selesai sampai di situ saja pengalaman saya dengan para tukang pijat? Oh, belum selesai, Kak. Masih ada lagi. Entah kenapa, di saat sedang butuh-butuhnya pijat, ibu tukang pijat langganan saya itu pas nggak ada. Jadilah saya kelimpungan mencari tukang pijat lain yang available. Salah satu yang belum saya coba jasanya adalah tukang pijat yang satu ini. Seorang ibu berpostur gemuk, berusia setengah baya, cara jalannya pun sudah sangat lambat karena dia pernah kena stroke. Tapi jangan salah, dia tukang pijatnya atlet, Kak. Saya sih kalau nggak terpaksa banget kayanya nggak bakal pakai jasa ibu itu, deh. Bukan apa-apa, belum-belum saya sudah parno duluan; treatment pijatnya bakal disamakan dengan treatment para atlet sepak bola, bulu tangkis, dan lain-lain nggak, ya? 😕
Akhirnya saat itu pun tiba. Sebelum saya berangkat ke Singapore kemarin, engsel badan saya beneran kaya mau lepas semua. Pegel linu nggak jelas. Berhubung tukang pijat yang available cuma dia, ya sudahlah ya, saya pasrah sajalah. Siapa tahu mijatnya enak. Toh katanya dia juga langganannya Meriam Bellina dan beberapa artis lainnya. Kalau mereka saja cocok, barangkali nanti saya juga bakal cocok; kan sesama artis :-”
Pagi-pagi sekali, ibu itu sudah datang. Saya pikir dia sudah membawa ‘perlengkapan perang’ untuk pijat, ternyata enggak. Sesuai permintaan, saya pun menyediakan semangkuk minyak kelapa yang dicampur dengan minyak kayu putih. Selama dipijat, beberapa kali saya meringis menahan sakit. Untuk ukuran sebayanya, tenaga ibu itu luar biasa kuat. Betis saya diurut dengan durasi pijat yang lumayan lama, katanya urat betis saya kaku banget. Hmm, padahal saya sudah lama nggak narik becak lho, kok masih tetap kaku, ya? 😕
Ketika saya mulai jejeritan nggak jelas dia bilang kalau pijatannya itu belum seberapa.
“Wah, ini sih belum seberapa, Neng. Kemarin saya mijat di Pelatnas, tenaga yang saya keluarkan lebih kuat dari ini, dan mereka nggak protes tuh… “
“Ibu mijat atlet apa?”
Asli, feeling saya mulai nggak enak, nih…
“Bulu tangkis, sepak bola, ya macem-macem Neng…”
Tuh, benar, kan? Ya iyalah mereka nggak protes. Uratnya kan beda sama urat saya yang unyu-unyu ini [-(
Ternyata ‘penderitaan’ saya tak cukup sampai di situ saja, Kak. Tak lama setelah urat betis saya dirasa sudah cukup lemas, dia mengeluarkan sebuah kayu berwarna hitam sepanjang jengkal orang dewasa. Sungguh, perasaan saya makin nggak enak.
“Itu apaan, Bu? :-s”
“Kayu buat terapi pijat telapak kaki, Neng…”
Belum selesai saya melontarkan pertanyaan berikutnya, titik-titik tertentu di telapak kaki saya sudah ditusuk-tusuk dengan kayu itu. Sesi jejeritan pun dimulai lagi; berasa heboh sendiri, kaya habis diapain sama tukang pijatnya. Selesai pijat saya malah nggak bisa jalan enak, Kak. Ya gimana mau jalan enak kalau telapak kaki masih ngilu semua gitu.
Akhirnya, setelah beberapa kali menjalani sekaligus membandingkan hasil treatment pijat beberapa tukang pijat yang berbeda, sepertinya saya nggak akan pindah ke lain hati dengan ibu yang langganan saya semula. Ya, daripada hasilnya malah ngilu-ngilu nggak jelas, kan?
Berbeda lagi dengan pengalaman adik saya menggunakan jasa tukang pijat dari sebuah yayasan tukang pijat yang beroperasi 24 jam, dan kebetulan rekomendasi teman-teman di kantornya. Adik saya cerita kalau para pemijat di yayasan itu adalah tukang pijat profesional, kebanyakan berasal dari Jawa Tengah, dan mereka tukang pijat beneran (bukan tukang pijat ‘plus-plus’ ). Kalau ada order pijat tengah malam pun mereka siap meluncur ke lokasi dengan diantar-jemput oleh karyawan di yayasan itu juga.
Di tengah sesi pemijatan, adik saya sempat mengobrol dengan Si Mbak tukang pijat itu.
Adik: “berarti mbak-mbak harus posisi stand by terus, dong?”
Si Mbak: “iya, bahkan pernah ada order jam 2 pagi, ya saya tetap berangkat…”
Adik: “wuidih, Mbak ini luar biasa. Emang pelanggannya nggak ada yang iseng, Mbak? Misalnya minta service di luar pijat, gitu?”
Si Mbak: “ya,sering, Mbak. Tapi ya kita kan bukan tukang pijat kaya gitu. Niatnya kita kerja beneran, mijat. Pernah saya lari dari kamar seorang klien gara-gara dia mau maksa saya untuk melayani dia…”
Adik: “terus, kalau ada order malam gitu kan serem tuh, Mbak. Kan kita nggak tahu itu order beneran atau bohongan, maksudnya cuma iseng. Mbak diantar atau berangkat sendiri?”
Si Mbak: “ada yang mengantar kita ke lokasi, dan menunggu sampai kita selesai kerja, Mbak. Jadi ya insyaallah amanlah. Lagian feeling kita lama-lama terasah kok, bisa membedakan mana yang iseng, dan mana yang beneran butuh jasa kita”
Mereka benar-benar pemijat profesional, dan kata adik saya sih hasilnya pun tidak mengecewakan. Badan terasa kembali segar, dan tidak ada keluhan-keluhan lebay setelah dipijat kaya saya. Selesai memijat mereka pun dibayar sesuai tarif yang berlaku di yayasan tersebut, jadi kita tidak menentukan sendiri tarif pijatnya.
Hmm, ternyata profesi tukang pijat itu unik, ya?
Kalau kata mama saya nih, cari tukang pijat itu sama seperti mencari jodoh, cocok-cocokan… 😀
[devieriana]
ilustrasi dipinjam dari sini