The Hurt Locker : Drama Perang Irak

Sebenarnya genre film perang tidak termasuk dalam genre film favorit saya. Pun halnya seperti film horor maupun thriller. Namun kadang dalam case tertentu selera saya mendadak improvisasi secara tiba-tiba, seperti halnya ketika saya yang biasa menonton film-film komedi romantis dan “tertantang” untuk menonton film Final Destination kapan hari yang full darah sana sini X_X . Saya memang suka angin-anginan kalau nonton film ;)) . Tapi belum pernah berani menantang diri sendiri untuk sengaja nonton film horor. Udah deh, makasih banyak, sudah kenyang.. X_X

Film The Hurt Locker atau yang jika diterjemahkan secara “bahasa perang” adalah danger zone bukan hanya ingin menyampaikan pesan tentang superioritas Amerika yang (seperti biasa) selalu ber-image superb. Namun ada sisi kemanusiaan lain yang ingin disampaikan oleh Kathryne Bigalow sang sutradara & Mark Boal sebagai penulis skenarionya. Memang sih menurut banyak orang film ini kental sekali dengan “arogansi” ala Amerika ketika melakukan ekspansi ke Irak beberapa tahun lalu dengan misi menumpas rezim Saddam Hussein yang dituduh (katanya) memiliki senjata pembunuh massal yang akan membahayakan umat manusia di dunia itu lho. Padahal sampai saat ini tidak terbukti sama sekali tuh mereka punya senjata itu. Jadi kesimpulan sementara, film ini menang karena berusaha memamerkan kepada dunia bahwa ada sisi positif militerisme Amerika di Irak? Err, nggak tahu juga denk.. *takut dikeplak*  :-s

Ada beberapa sudut pandang yang (semoga) membuka hati kita sebelum memberikan judgement film ini begini, begitu, dsb. Coba ya, dari sudut pandang orang Amerika pro George Bush dulu (karena perang ini kan salah satu akibat dari kebijakan Mr. Bush beberapa waktu yang lalu kan ya?). Buat mereka pasti ini adalah salah satu film yang membanggakan. Ya betapa tidak, gambar-gambar di dalamnya seolah ingin menunjukkan bahwa Amerika adalah negara yang penuh sisi kemanusiaan, siap berkorban nyawa untuk keselamatan manusia, yang digambarkan melalui sosok tiga manusia pemberani yang mempertaruhkan nyawanya di tengah ancaman bom yang bisa saja meledak sewaktu-waktu. Demi apa? Ya demi nyawa masyarakat sipil-lah.. :>

Dari sudut pandang keluarga tentara Amerika yang keluarganya berangkat dan gugur di medan laga. Pasti sedih banget. Film ini seolah membuka luka lama mereka, memutar kembali memori detik-detik kematian keluarga mereka dalam misi militer itu :((  *sedih*

Dari sudut pandang orang Irak, tentu juga sangat memilukan bila disuguhi dengan film ini. Perang, selalu saja identik dengan kehilangannya keluarga mereka. Bukan hanya dari keluarga militer, tapi juga rakyat sipil. Saya saja nangis waktu lihat adegan yang memperlihatkan seorang warga yang menghiba minta dibebaskan dari bom bunuh diri yang dililitkan dibadannya oleh seorang teroris dan akhirnya meledak  :(( . Disini sang lakon digambarkan sebagai seorang pragmatis ketimbang jagoan yang siap mengorbankan segalanya. Takut mati juga sebenernya. Tapi masih ingin mati dengan cara yang “layak” , seperti yang dibilang oleh sersan William James,  “There’s enough bang in there to blow us all to Jesus. If I’m gonna die, I want to die comfortable..”

Ah tapi sudahlah, kalau kita berkutat dengan opini masing-masing ya nggak akan pernah menjadikan film sebagai hiburan, malah debat kusir nantinya (saya sosok yang netral rupanya ya? ;)) ). Karena buat saya nonton itu ya buat hiburan, bukan buat menjadikannya perdebatan. Kalau buat saya yang penting ada nilai moral yang bisa diambil dari sebuah film. Mau ada nilai politisnya, mau ada khayalnya, mau ada ini itunya, buat saya nonton itu bagian dari meng-entertain diri. Itu aja sih. Ya yang beda pendapat sih monggo ya, masih dihalalkan lho.. ;). It’s a movie not a documentary..

Tagline film ini adalah : War is a drug. Kutipan dari buku War Is A Force That Gives Us Meaning ini menjadi pembukaan bagi The Hurt Locker. Heran? Sama seperti saya ketika berusaha menerjemahkan bagaimana mungkin sebuah pengalaman di tengah medan perang menjadi sesuatu yang diinginkan. Wah, pasti dia punya beberapa lembar nyawa kalau sampai bicara begitu. Karena buat saya, perang itu selalu saja menimbulkan efek traumatis, ketakutan, dan phobia bagi yang pernah terlibat didalamnya. Tapi di film yang dibintangi oleh Jeremy Renner, Anthony Mackie, Bryan Geraghty, dan Evangeline Lily ini berbeda. Berada dalam gabungan tim elit penjinak bom Amerika Serikat, Explosive Ordnance Disposal (EOD) dan bertugas di medan perang Irak, tempat yang layak disebut sebagai “hell on earth” sama saja artinya dengan mempertaruhkan nyawa kita setiap harinya. Hidup biasa-biasa saja di kota Baghdad bagi tentara Amerika sudah sangat berbahaya, apalagi masuk dalam regu penjinak bom? Arisan nyawa itu namanya. Hidup dalam medan dimana semua orang terlihat sebagai musuh dan setiap benda adalah bom mematikan.. :-ss

Hidup para tentara berubah saat atasan yang baru, Sersan William James ternyata mengabaikan semua prosedur untuk menjinakkan bom. Dia adalah seorang serdadu muda yang tampil mencuri perhatian para seniornya. Nekat mengambil alih usaha penjinakan salah satu bom paling berbahaya. Aksinya, langsung membuat kedua seniornya, Sanborn dan Eldridge kebat-kebit, ulahnya yang seenaknya itu tentu saja menimbulkan friksi, hingga salah seorang dari tentara ini berniat membunuhnya. Namun friksi internal itu mereda setelah sebuah peristiwa terjadi. Sikap James memang “tidak biasa”, cenderung nyeleneh dan berperilaku seolah-olah dia tak gentar dengan kematian, tapi justru itu yang membuat dia makin disegani. Bila yang lain takut, ia justru selalu merangsek maju. Menjinakkan lebih dari 873 bom selama karirnya, membuatnya selalu merasakan adanya ketegangan tersendiri yang hanya bisa ia puaskan apabila ia berhasil menonaktifkan bom itu. “War is a drug”.

Pertama kali saya lihat karakternya saya nyaris berpikir, “nih orang kayanya “sakit” deh”. Masa iya menjadikan ladang yang penuh dengan ranjau bom dimana-mana sebagai hal yang “menyenangkan”, medan perang yang justru buat dia “feels like home”. Sinting, pikir saya. Adrenaline junkie bener nih orang. Tapi setelah saya ikuti lagi ceritanya, ah ironic banget ternyata. Ada pertempuran batin & tuntutan pekerjaan yang membuatnya harus berada dalam tiga pilihan yang sulit. Perang, misi sosial, dan kehidupan nyata sebagai suami/ayah dalam keluarganya.

Sosok karakter Jeremy Renner memang menjadi fokus utama dalam film ini, namun keberadaan Anthony Mackie dan Brian Geraghty juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Chemistry ketiganya dalam sebuah tim menghasilkan sebuah kolaborasi nyata yang terasa mengalir tanpa terkesan dibuat-buat. Keren sekali.. =D>

Efek yang ditampilkan di film ini terlihat sangat realistis. Untuk mendapatkan setting perang Irak yang “hidup”, film ini memilih tempat syuting di Yordania dan Kuwait, hanya beberapa kilometer dari perbatasan negara tersebut dengan Irak sehingga suasana perang benar-benar terasa, setelah sebelumnya dipindahkan dari Pangkalan Militer AS di Kuwait karena tidak mendapatkan ijin. Semua adegannya, mulai dari menonaktifkan bom sampai duel sniper, setiap adegan perang dalam film ini terasa mencekam. Keren sekali penyutradaraan wanita satu ini :-bd .

Sekali lagi terlepas dari opini positif-negatif dari film ini, pesan utama the Hurt Locker yang saya tangkap adalah :
1. Perang bisa menjadikan sebuah candu. Seorang tokoh pernah berkata, “syukurlah perang itu begitu mengerikan bila tidak, manusia akan lebih suka berperang”.
2. Tak peduli peralatan semodern apapun, tak peduli sehebat apapun dirimu, semuanya takkan bisa menyelamatkanmu bila maut memang mengancam dan menjemputmu dari setiap penjuru.


” You love playing with that. You love playing with all your stuffed animals. You love your Mommy, your Daddy. You love your pajamas. You love everything, don’t ya? Yea. But you know what, buddy? As you get older… some of the things you love might not seem so special anymore. Like your Jack-in-a-Box. Maybe you’ll realize it’s just a piece of tin and a stuffed animal. And then you forget the few things you really love. And by the time you get to my age, maybe it’s only one or two things. With me, I think it’s one..”


(Staff Sergeant William James, speaking to his son)

gambar dipinjam dari sini

[devieriana]

Continue Reading