Ekspresi(f)

expression

Pernah memperhatikan gaya dan ekspresi kita/orang lain sewaktu berbicara, nggak? Kalau saya sih selalu. Saya sering diam-diam memperhatikan lawan bicara saya ketika bicara atau menjelaskan sesuatu. Ternyata gayanya bermacam-macam; ada yang sangat ekspresif, biasa saja, tapi ada juga lempeng banget (nyaris tanpa ekspresi).

Saya termasuk orang yang cenderung ekspresif ketika berbicara, mungkin sudah settingannya seperti ini sejak kecil. Bukan hanya ketika ngobrol dengan sesama orang dewasa saja, tapi ke anak-anak kecil pun gayanya juga sama. Di rumah sering ada anak-anak kecil, entah keponakan atau anak tetangga. Kalau sedang bermain/ngobrol/membacakan buku dongeng saya sering berekspresi aneh-aneh menyesuaikan tema obrolan/cerita saat itu. Mereka sontak menatap saya sambil terlongong-longong. Tapi begitu saya selesai bicara mereka seperti tersenyum lega. Entah lega karena saya akhirnya selesai bicara, atau ada yang lucu dengan kata-kata atau ekspresi saya. Semoga mereka nggak menganggap saya aneh, ya…

Kurang lega rasanya kalau menceritakan sesuatu secara lurus-lurus saja, tanpa ada penekanan kata, ekspresi, dan gerakan tangan. Bahkan untuk menyatakan kata ‘jauh’ atau ‘banyak’ saja rasanya kurang mantap kalau cuma bilang, “rumahnya jauh banget’. Jadi harus ditekankan lagi “rumahnya tuh, gila… jauhhhh banget!”. Itu untuk menggambarkan waktu tempuh yang berjam-jam dan jarak tempuh yang berkilo-kilometer jauhnya. Pun halnya dengan menceritakan jumlah; kalau sekadar bilang ‘banyak’ atau ‘sedikit’ tanpa ada penekanan kata rasanya belum lega. Itu belum dengan gerakan tangan yang ke mana-mana, ekspresi wajah yang sedemikian rupa, dan masih harus ditambah dengan pembedaan warna suara dan ekspresi kalau sedang bercerita tentang karakter orang lain. Heboh, ya? Iya! 😆

Sebaliknya, saya punya teman yang kalau bercerita ekspresi mukanya datar saja. Untuk menggambarkan rumah yang jauh tidak ada pembedaaan antara jarak yang cukup jauh dan jauh banget. Pun untuk menggambarkan perasaan sedih, senang, gembira, dan takut, cuma ada satu level ekspresi. Lempeng banget.

“Aku kemarin abis kecopetan di bus dong, Dev”

Kok pakai ‘dong’, ya? Kesannya abis kecopetan kok sombong amat? :mrgreen:

“Hwaaa… trus, trus?”

“Ya udah, mau gimana lagi? Aku lagi lengah, kali”

“Yah, kasian :(. Trus?”

“Ya sedih sih, tapi mau gimana lagi, namanya juga musibah. Pelajaran, harus lebih hati-hati lagi. Habis ini mau ke kantor polisi, mau bikin surat kehilangan”

Semua itu diceritakan dalam nada dan ekspresi yang datar, lurus, dan biasa saja. Kalau diibaratkan dengan handphone, mungkin dia adalah sejenis HP monophonic. Tapi memang sejak dulu gaya berbicaranya setelannya sudah seperti itu sih. Dia memang bukan tipikal orang yang butuh ekspresi berlebihan ketika menceritakan sesuatu. Padahal kalau saya mungkin sudah sambil kayang dan salto segala.

Begitu juga ketika menjelaskan tentang rute menuju suatu tempat. Nggak ada tuh yang namanya tangan berbelok-belok, lurus, naik, turun, melebar/menyempit. Penggambaran lewat tangannya hanya berhenti di satu titik saja; di tengah. Entah itu mau lurus, belok kanan/kiri, naik, turun, posisi tangannya hanya bergerak di titik itu saja. Berbeda dengan saya yang kalau bercerita tentang rute menuju ke sebuah tempat bisa sambil saya gambar di udara/tanah. Berasa main dam-daman…

Seperti ketika saya menceritakan ulang tentang betapa ribetnya seorang penumpang pesawat di sebelah saya, yang sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Surabaya sibuk sendiri itu juga saya peragakan di depan teman-teman saya lho. Mulai dari dia mengeluarkan permen, mengeluarkan roti. Makan sebentar, lalu mengeluarkan buku. Benerin jilbab. Mengalungkan tas ke leher. Tasnya diilepas lagi lalu dipangku. Mengeluarkan obat batuk, dibuka tutupnya, nggak jadi diminum. Memasukkan lagi obat batuknya ke dalam tas. Memasukkan buku di saku tas belakang. Resleting tasnya ternyata nggak bisa ditutup, tas dibuka lagi, buku dikeluarkan, ditekuk jadi dua, ternyata tetap nggak bisa masuk. Buku dimasukkan ke dalam tas plastik. Diam sebentar, mengeluarkan permen, nawarin ke tetangga kiri/kanan, nggak ada yang mau, permen dimasukkan kembali ke dalam tas. Batuk-batuk, tutupin pakai syal. Buka tas lagi, mengeluarkan buku yang tadi, dan bermaksud untuk dibaca. Belum ada satu halaman sudah ngobrol sama teman di kursi sebelah. Lipat lagi bukunya… dst. Sampai akhirnya tiba di Surabaya..

“Liat kamu cerita kenapa aku jadi ikut capek ya, Dev…”

Ih, situ baru denger saya cerita aja capek. Gimana saya yang mengalami langsung.

Bagaimana dengan gaya bercerita/berkomunikasi kalian? Ekspresif, biasa saja, atau cenderung tanpa ekspresi? 😀

 

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

 

Continue Reading