Di sebuah sore, di sudut sebuah kedai kopi, saya sedang terlibat percakapan serius dengan seorang sahabat. Sebenarnya topiknya tidak terlalu serius, tapi justru dari situ saya belajar tentang kekuatan sebuah motivasi.
“Lo pernah diremehin sama orang nggak, Dev?”
“Pernah…”
“Terus, gimana rasanya? Apa respon lo?”
“Ya reaksiku sih spontan seperti manusia kebanyakan; sakit hati, tersinggung, menye-menye, galau, hahahak. Tapi itu dulu…”
“Nah, gue punya cerita tentang ‘remeh-temeh’ itu…”
Lalu mengalirlah cerita tentang teman di kantornya yang lama; seorang karyawan andalan di sebuah divisi. Sebut saja namanya Luna. Perempuan enerjik, berusia early thirty, dengan karir yang bagus, cantik, pintar, dan menyenangkan itu menjalani semua pekerjaannya dengan penuh semangat.
Awalnya kehidupan Luna berjalan normal dan baik-baik saja, hingga akhirnya ada sebuah kejadian yang mengubah hidupnya 180 derajat. Dia mengalami kecelakaan yang menyebabkan tangan kanannya cedera dan lumpuh. Dunia yang semula ramah seolah berbalik memusuhi. Beban pekerjaan yang ditanganinya sedikit demi sedikit mulai dikurangi, dan mulai dialihkan kepada karyawan lain yang dianggap lebih cakap. Level pekerjaan yang diberikan pun menjadi lebih sederhana. Sejak mengalami kelumpuhan, dia tidak lagi dianggap mumpuni di bidangnya. Ada kekhawatiran-kekhawatiran di benak para atasannya, jangan-jangan pekerjaan yang dilimpahkan pada Luna bukannya malah selesai tapi justru akan menumpuk dan malah menjadi beban bagi divisinya.
Pelan-pelan dia mulai menarik diri dari pergaulan, bahkan sempat akan mengajukan surat resign karena merasa putus asa dengan dirinya sendiri. Beruntung supervisornya mampu meredam kegalauan di hatinya. Sedikit demi sedikit Bu Supervisor mulai mempercayakan beberapa pekerjaan padanya, dengan bantuan dan pengawasan Bu Supervisor. Benar saja, dalam waktu yang tidak terlalu lama Luna pun mulai terbiasa dengan kondisi barunya. Dia mulai merasa dipercaya.
Hingga akhirnya, tanpa sengaja dia mendengar pembicaraan tentang dirinya. Samar-samar dari ruang bos besarnya terdengar kata-kata yang membuatnya bagai tersambar petir di siang bolong.
“Luna? Emang dia sekarang bisa apa? Paling juga nggak bisa kerja, tangan kanannya lumpuh gitu….”
Seketika air matanya meleleh. Berbagai perasaan berkecamuk di benaknya, antara terluka, marah, sakit hati, tersinggung, dan kurang berguna. Ternyata belum semua bisa menerima secara positif kehadirannya pascakecelakaan, apalagi ketika dia datang dengan ketidaksempurnaan.
Lagi-lagi dia beruntung punya seorang supervisor bisa memahami kondisi fisik dan mentalnya saat itu. Melalui dialog intensif bersama supervisornya, pelan-pelan Luna mulai kembali termotivasi bahkan lebih dahsyat efeknya. Dia ingin membuktikan bahwa dia masih bisa bermanfaat bagi tempatnya bekerja, dan bukan sekadar tukang fotokopi.
Luna dikenal dengan ketelitian dan perhatiannya terhadap setiap detail pekerjaan. Dengan konsentrasi dan ketelitian yang dimilikinya itu pekerjaan-pekerjaan yang diserahkan padanya selesai. Begitu seterusnya hingga akhirnya Luna mulai merasa nyaman dan terbiasa dengan kondisi diri, pekerjaan, dan lingkungan kerjanya. Berkat kegigihannya untuk mendapatkan kembali kepercayaan para atasannya itu akhirnya dia kembali dipercaya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang dulu menjadi bagian pekerjaannya.
“Dia pasti punya seorang muse, contoh, role model, kan?” Tanya saya sambil menyesap secangkir Earl Grey hangat yang sudah hampir dingin.
“Sure. Bukan hanya kontemplasi dan perenungan diri saja yang dilakukannya, tapi dia juga mencoba mencari referensi tokoh yang juga mengalami disabilitas permanen sepertinya…”
“Siapa? Jessica Cox? Nick Vujicic?” Tanya saya lagi.
“Salah satunya itu memang. Hei, how come you know that?” Teman saya bertanya dengan mata yang membulat.
Siapa yang tidak mengenal Nick Vujicic (yang dulu pernah saya tulis juga di sini), seorang motivator asal Autralia yang terlahir tanpa lengan dan tungkai; hanya kepala, leher, dan badan saja. Tapi mengapa dia bisa melakukan segala sesuatunya secara mandiri, seperti layaknya seorang manusia yang memiliki anggota fisik lengkap? Hidupnya pun tampak normal-normal saja.
Pun kisah seorang pilot perempuan yang terlahir tanpa lengan, bernama Jessica Cox. Jessica percaya bahwa disabilitas yang disandangnya itu sama sekali bukan penghalang untuk meraih apa yang dicita-citakan; menjadi seorang pilot! Sama seperti Nick Vujicic, dia pun melakukan segala kegiatan sehari-harinya secara mandiri. Sama seperti perempuan berfisik normal lainnya, dia juga begitu terampil menggunakan maskara, bulu mata palsu, kuteks, hingga soft lense hanya dengan menggunakan jari-jari kakinya. Sungguh Tuhan betul-betul Mahaadil. Di balik keterbatasan fisik umatnya, Dia juga memberikan kemampuan lain yang levelnya jauh melebihi kemampuan umatnya yang berfisik normal.
Sesungguhnya kata-kata negatif yang diucapkan kepada seseorang tanpa sadar akan menginstal hal-hal negatif pula di pikiran orang tersebut. Tapi semua itu tidak akan berpengaruh selama di pikiran orang tersebut tertanam pernyataan positif. The last but least, sebaik-baiknya motivator, bahkan yang bayarannya paling mahal sekalipun, tidak ada yang memotivasi sebaik diri sendiri. Kurang lebih seperti itu.
“Jadi penasaran, siapa sih ibu supervisor yang baik hati itu?”
Mendadak dia tertawa keras, hingga pandangan beberapa pasang mata mengarah pada kami.
“Heh, kok malah ketawa. Aku ini serius nanyanya…”
“Luna itu mantan anak buahku, sebelum aku pindah ke perusahaan yang sekarang :D”
“Oh, jadi supervisor baik hati itu kamu?”
Senyum saya seketika pecah ketika menyadari bahwa saya punya sahabat yang sebaik, dan sebijak dia 🙂
[devieriana]
sumber ilustrasi dipinjam dari sini