Language is a powerful tool, a reflection of who we are and where we come from. It shapes the way we connect with others, express ourselves, and even how we perceive the world around us.
Tumbuh besar di Jawa Timur membentuk keakraban saya dengan gaya tutur yang lugas—cepat, tegas, dan kadang terdengar keras, meski sejatinya mengandung kehangatan dan kejujuran rasa. Tapi akhir-akhir ini, saya mulai gelisah menyaksikan arah perkembangan bahasa kita, terutama dalam hal makin lumrahnya umpatan dalam komunikasi sehari-hari.
Saya bukan tipe yang gemar memaki, tetapi kata-kata seperti “cuk” atau “jancuk” bukan sesuatu yang asing di telinga. Dalam konteks pergaulan, ungkapan seperti itu kerap muncul sebagai ekspresi spontan yang penuh dengan arti—bisa marah, kaget, geli, lucu, atau akrab. Ada konteks, ada rasa. Namun yang saya amati belakangan, makian mulai kehilangan arti tersebut. Ia bukan lagi sekadar luapan emosi yang muncul dalam kondisi tertentu, namun berbah menjadi bagian tak terpisahkan dari pola bicara generasi muda, seolah-olah setiap kalimat tak lengkap tanpa sisipan umpatan.
Sering kali saya bertanya-tanya, mengapa kini semakin banyak orang yang merasa lumrah mengumpat dengan kata-kata yang secara literal merujuk pada nama hewan, anatomi genital, atau bentuk makian lain yang dulunya dianggap tabu—padahal topik yang dibicarakan bisa jadi hanya seputar hal remeh-temeh. Kata-kata seperti “anjing,” “njir,” “bangke,” “tai,” atau “cok” kini tak hanya akrab terdengar di media sosial, tetapi juga merasuk ke dalam percakapan sehari-hari. Umpatan semacam itu seolah menjadi semacam penyedap wajib dalam komunikasi, yang jika tidak ada, rasanya belum lengkap.
Yang menarik, ini bukan hanya soal siapa yang berkata kasar, tapi bagaimana bahasa tersebut digunakan tanpa pandang konteks atau audiens. Anak muda dengan penampilan clean outfit, wajah glowing hasil tujuh langkah perawatan kulit, sneakers terbaru limited edition—tetap bisa menyisipkan umpatan dengan lancar, nyaris tanpa beban. Kontras antara gaya yang tertata dan bahasa yang kasar justru memperlihatkan pergeseran nilai dalam komunikasi kita hari ini. Mungkin ini bukan lagi soal ekspresi semata, melainkan sinyal bahwa empati perlahan terkikis dalam keseharian.
Yang justru lebih mengusik bagi saya adalah bagaimana kata “cuk”—yang bermakna kultural khas Surabaya atau Jawa Timur—kini digunakan secara luas di luar konteks asalnya. Penggunaannya sering kali tidak lagi menyiratkan kedekatan emosional atau kekhasan lokal, melainkan sekadar diselipkan demi membangun kesan keren, edgy, rebel, atau gaul. Bahkan intonasinya pun terasa dipaksakan, sekadar meniru tanpa memahami rasa yang menyertainya. Misalnya, dalam kalimat seperti, “Duh, gua lupa bawa charger, cok!” makna “cuk” tak lagi hadir sebagai penanda ekspresif bermuatan lokal, melainkan berubah menjadi aksesori bahasa—tempelan gaya yang terasa asing di lidah, namun dianggap tren.
Tentu, media sosial memainkan andil penting dalam membentuk pola komunikasi masa kini. Platform digital seperti TikTok, Instagram, dan X (dulu Twitter) menyediakan ruang ekspresi yang begitu luas, instan, dan nyaris tanpa sekat. Dalam ekosistem ini, kata-kata kasar tak lagi semata-mata cerminan ledakan emosi atau agresivitas, melainkan menjelma menjadi bagian dari gaya bahasa, unsur humor, bahkan penanda keakraban dalam pergaulan virtual. Dalam atmosfer yang serba cepat, penuh tekanan sosial, derasnya informasi, dan benturan opini, umpatan sering berfungsi sebagai katarsis—jalan pintas untuk meluapkan stres secara spontan. Ditambah lagi, tanpa kehadiran lawan bicara secara fisik, batas empati kerap mengendur, membuat siapa pun merasa lebih leluasa mengucapkan apa pun yang melintas di kepala, tanpa terlalu memikirkan dampaknya.
Media sosial tak hanya menyediakan ruang ekspresi, tetapi juga secara halus membentuk pola komunikasi penggunanya. Dengan algoritma yang berperan layaknya kurator pribadi, setiap interaksi—apa yang kita tonton, sukai, atau bagikan—secara otomatis membentuk alur konten yang tampil di linimasa. Inilah yang dikenal sebagai filter bubble, gelembung digital yang mempersempit pandangan kita hanya pada hal-hal yang selaras dengan preferensi sendiri. Dalam konteks bahasa, kondisi ini melahirkan echo chamber—ruang gema sosial yang memperkuat dan mengulang gaya bicara tertentu secara terus-menerus. Jadi, ketika lingkungan pertemanan kita terbiasa menyelipkan kata-kata seperti “anjing”, “tai”, “cok”, atau “njir” dalam obrolan, dan hal itu dianggap wajar, lucu, atau gaul, kebiasaan tersebut pun akan ikut melekat. Umpatan yang dulunya punya konteks emosional atau kultural jadi terdengar datar, dan biasa saja. Lama-lama, kata-kata itu berubah fungsi—bukan lagi untuk mengekspresikan rasa, melainkan sekadar sebagai penanda jeda atau penutup kalimat, tanpa mempertimbangkan kesopanan, konteks, atau sensitivitas rasa sosial.
Kata-kata kasar tak selalu mencerminkan siapa kita secara utuh. Namun, saat frekuensinya meningkat dalam percakapan sehari-hari, tak bisa dimungkiri ada dampak yang terbentuk—terutama dalam cara kita berkomunikasi. Di era digital yang serba cepat dan permisif ini, umpatan kerap hadir bukan sebagai luapan emosi, melainkan sebagai gaya. Ia menjadi tren yang diterima begitu saja. Meski tak selalu dilandasi niat buruk, kebiasaan ini pelan-pelan bisa mengikis empati dan menciptakan jarak yang tak terlihat dalam relasi sosial.
Saya paham, bahasa itu dinamis. Slang, logat, dan ragam tutur akan terus lahir dan berganti rupa. Saya pun tidak menolak perubahan. Tapi mungkin ada baiknya kita berhenti sejenak dan bertanya: apa yang sedang kita normalisasi? Jika segala bentuk umpatan disikapi dengan, “Ah, itu mah biasa. Dari dulu juga ada. Kamu aja yang kurang jauh mainnya,” bukankah itu juga salah satu bentuk kita menyerah pada degradasi rasa? Itulah mengapa, dalam arus perubahan bahasa yang deras ini, penting untuk bertanya ulang: apa sih yang sebenarnya sedang kita rayakan? Apa yang justru mungkin sedang kita tinggalkan tanpa disadari?
Mungkin benar, saya bukan lagi bagian dari generasi yang paling fasih dengan bahasa ‘kekinian’. Atau mungkin telinga saya sudah terlalu vintage. Tapi saya masih percaya bahwa kebebasan berekspresi seharusnya berjalan beriringan dengan kesadaran akan konteks, waktu, dan rasa hormat. Cara kita berbicara mencerminkan cara kita berpikir. Dan ketika umpatan berubah dari ekspresi menjadi kebiasaan, bukankah itu alarm untuk mengevaluasi kembali—apa kabar dengan rasa? Apa kabar dengan batas? Menikmati tren tidak harus berarti melepas nalar kritis kita, kan?
Just my two cents.
-Devi Eriana-
ilustrasi diambil dari shutterstock.com

1 Comment
Menurut saya sih, tentang urusan orang ataupun omongan orang, sebisa mungkin tidak kita pikirkan. Bukan karena apatis, tapi hanya kwatir pikiran terganggu oleh hal yang sama sekali tak penting.