Love is composed of a single soul inhabiting two bodies.
– Aristotle –
Pernikahan. Sebuah kata yang di satu sisi menyenangkan, namun sisi lainnya cukup “horor”. Perkawinan adalah sebuah bagian dari serangkaian proses kehidupan manusia. Semua manusia normal pasti berkeinginan untuk menikah, memperoleh keturunan, dan seterusnya. Proses ketika dua manusia menjadi satu dalam ikatan resmi di hadapan Tuhan dan negara. Yang didalam semua prosesnya pasti akan ada adjustments (penyesuaian) yang akan menuju ke sebuah muara. Akan kemanakah kehidupan perkawinan itu akan bermuara tentu hanya kita dan Tuhan yang tahu. Namun harapannya pastilah mendapatkan kehidupan perkawinan yang langgeng hingga ajal memisahkan, ya. Aamiin..
Siapa sih yang tidak bahagia kalau akhirnya hubungan yang dibina sekian waktu lamanya berujung di pelaminan, berlanjut dalam kehidupan berkeluarga? Siapa sih yang tidak bahagia jika akhirnya dalam pernikahan itu akhirnya dikaruniai putra-putri yang tumbuh lucu dan menggemaskan, yang akan semakin menambah manisnya hidup berumah tangga. Siapa sih yang tidak ingin hidup rukun selamanya dengan pasangan dan hanya maut yang mampu memisahkan? Ada beberapa tokoh yang kekuatan cintanya patut dijadikan panutan, sebut saja B.J. Habibie & Ainun, atau pasangan sejati Sophan Sopiaan dan Widyawati.
Namun ada kalanya ketika mahligai perkawinan yang dibentuk harus putus di tengah jalan. Karena satu dan lain hal ternyata setelah diusahakan dengan segala cara untuk bertahan namun ternyata tidak ada jalan yang baik bagi keduanya, dan jalan “terbaik” satu-satunya yang harus ditempuh adalah berpisah, ya mau bagaimana lagi. Walaupun pasti ada resiko yang harus diambil tapi kita yakin bahwa orang-orang yang akhirnya menempuh jalan perpisahan pasti memiliki alasan masing-masing dan hanya itulah satu-satunya solusi bagi mereka.
Saya ketika memutuskan menikah pun sudah melalui pemikiran panjang. Selama masih tinggal serumah bersama orangtua pasti saya juga sempat melihat beda argumentasi antara kedua orangtua saya. Namun seiring dengan makin bertambahnya usia saya, makin dewasa ketika menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada dalam sebuah keluarga, akhirnya saya menyadari bahwa memang itulah seni hidup berumah tangga. Tidak mungkin dua kepala, dua pikiran yang berada dalam satu rumah harus selalu sama terus. Ada kalanya pasti berbeda.
Tepat di hari ini, ketika saya menuliskan postingan ini, usia perkawinan kedua orangtua saya genap memasuki usia 37 tahun. Sebuah usia perkawinan yang sudah sangat matang, dan alhamdulillah masih tetap bersama dalam suka dan duka hingga saat ini. Saya yakin tidak mudah mempertahankan mahligai perkawinan hingga selama itu. Hidup bersama dalam satu atap dengan orang yang sama, dengan karakter yang mungkin saja mengalami perubahan seiring dengan waktu dan usia. Yang jelas berbagai masalah hidup telah menempa fisik dan mental mereka berdua. Hingga akhirnya menjadikan keduanya sebagai orang yang tidak hanya dewasa secara kronologis (chronological age), namun juga dewasa secara mental dan spiritual (mentally age), yang menjadi panutan bagi kami bertiga (saya dan kedua adik saya).
Memang saya tidak selalu melihat hal-hal positif dari kedua orangtua saya, karena lumrah dan manusiawi mereka hanyalah sepasang manusia yang tak luput dari alpa, salah dan lupa. Namun ada banyak hal yang bisa saya jadikan pelajaran dan saya aplikasikan dalam kehidupan perkawinan saya. Tentang bagaimana mengelola emosi, tentang bagaimana belajar memaafkan, tentang bagaimana perjuangan mereka menjadi orangtua, mendidik dan mendampingi kami bertiga, bagaimana mereka saling mendukung dan menopang kekurangan masing-masing, tentang bagaimana tetap menghargai pasangan, tentang bagaimana menegakkan disiplin, dan lain-lain yang jika diuraikan satu persatu akan lengkap menjadi sebuah buku ;)).
Ada salah satu nasehat perkawinan yang hingga saat ini masih saya ingat dan saya akan terus saya jadikan pegangan dalam kehidupan perkawinan saya :
“Lean on each other’s strengths, and forgive each other’s weaknesses..”.
Tidak mudah memang menerima kekurangan pasangan, namun ingat bahwa kita pun memiliki kekurangan yang sama.
Dengan hati tulus dan penuh rasa sayang, saya (kami berlima) sampaikan untuk Papa Mama yang hari ini sedang berbahagia :
“Happy 37th Wedding Anniversary Dear Mom & Dad. May God bless you both with good health & happiness in life..”
>:D<
Doa kami bersama Mama & Papa.. :-*
[devieriana]
ilustrasi fotobank.com
9 Comments
nice blog….
terimakasih atas sharing nasehatnya ….i love my mom&dad
so sweet :’)
bapak ibuku-pun sudah melewati masa 40th pernikahan.. dan dengan sukses tidak ada yang diteruskan oleh anak2nya :))
yah namanya juga jodoh… moga2 daku bisa langgeng on my next event *lha kok event*
*pasang konde*
*nyinden*
37 tahun?? nitip selamat ya mbak buat ortu 🙂
saya dan istri baru 2 tahun dan semoga bisa langgeng juga 😀
Mbak-e ….. nasehat-e uapik tenan …
bapakku suka banget ma berita dan realita
ibuku suka banget nonton sinetron
bapakku ga suka klo jalan2
ibuku, klo ada yang ngajak pegi..tancaaappppp
bapakku suka pake baju yang itu2 aja
ibu sellau bilang “bapak, jangan pake itu2 lagi..ayo ganti, bajunya dah tak siapin i atas kasur”
aahhh…bapak-ibuku yang sdh bersama selama 30 tahun.. 🙂
Ikut berbahagia Mbak..
Saya juga ikut mendoakan semoga Mama dan Papa-nya Mbak senantiasa bahagia..
Mbake anak berbakti juga bahagia sama Kangmase.. hehehee
kadang suka ngamati bapak sama ibu di rumah, lucu deh kalo mereka nonton OVJ kesukaan mereka dan ketawa bareng sampe ngekek :)) ah rasanya someday saya bakal rindu saat-saat itu. pasti….
happy anniversary om dan tante…
sebuah pernikahan yang istimewa, bisa bertahan selama 37 tahun dan insya Allah selamanya. semoga kelak pernikahan jeng devi dan pernikahan saya bisa seperti itu 🙂
jadi terharu. Abah dan mamaku telah meliwati usia 35 tahun perkawinan mereka sebelum Abah berpulang. Devi kamu beruntung masih memiliki kedua orang tua lengkap. Happy anniversary ya buat mereka.