Kalau ditanya paling dekat dengan Papa atau Mama, saya akan dengan mudah menjawab, Mama. Padahal kalau anak perempuan kan biasanya lebih dekat dengan ayah, daripada dengan ibunya, ya? Sebenarnya saya dekat-dekat saja sih dengan Papa, tapi mungkin karena Mama lebih banyak waktu di rumah dan jauh lebih komunikatif dengan anak-anaknya sehingga menjadikan kami bertiga lebih dekat dengan Mama daripada Papa.
Seperti tipikal ayah pada umumnya, Papa cenderung pendiam dan kurang ekspresif. Hampir tidak pernah secara terang-terangan bilang, “Papa sayang kalian…”. Beda dengan Mama, selain “lebih rame” juga ekspresif sekali. Kalau saya kebetulan pulang ke Surabaya, saya sengaja meluangkan waktu untuk ngobrol dengan Papa. Sekadar menanyakan tanaman-tanaman apa saja yang baru, kegiatan apa saja yang dilakukan Papa saat ini, dan koleksi perabotan apa saja yang sudah bertambah. Oh ya, Papa suka bercocok tanam, kadang sering diminta menjadi MC di beberapa resepsi perkawinan, dan beli pernak-pernik ini-itu untuk sekadar dikoleksi.
Waktu kami kecil dulu, Papa adalah orang yang paling sering memberikan hiburan. Membelikan kami kaset lagu, kaset Sanggar Cerita, buku cerita, dan majalah anak-anak. Belum lagi sebelum tidur, Papa selalu menyempatkan untuk mendongeng —selelah apapun beliau— walaupun tokohnya dari kancil ke kancil. Kancil yang dimodifikasilah. Tokoh kancil sering tiba-tiba dimunculkan walau itu di dongeng Cinderella sekalipun ;))
Kebiasaan saya dulu, sebelum tidur, selalu menyisipkan tangan saya diantara bantal dan leher Papa hingga saya tertidur. Nggak tahu kenapa bisa begitu, berasa hangat aja. Hanya Papa yang “tahan” lehernya saya pegangi selama tidur. Anggota keluarga yang lain? Boro-boro. Alasannya sih geli.
Ada hal lucu yang sampai sekarang masih saya ingat. Kata Papa, pernah suatu malam saya tiba-tiba terbangun dan membangunkan beliau hanya untuk menanyakan hal absurd macam ini, “Pa, kalau aku udah besar nanti aku bisa jadi peragawati, nggak?” Kalau saya pikir-pikir, buset, demi apa saya tanya begitu doang malam-malam? :)) Papa hanya tersenyum —kalau tidak boleh dikatakan menahan tawa— mengiyakan pertanyaan saya sambil menyuruh saya tidur lagi. Anehnya, habis itu saya melanjutkan tidur lagi dengan pulas. Jadi, ternyata saya ngelindur ;)).
Tumbuh sebagai anak sulung, perempuan pula, Papa selalu menjaga dan mengawal saya bak seorang bodyguard. Menjemput kalau saya pulang malam, sekalipun harus naik angkot. Motor kami habis dicuri maling, sehingga kemana-mana terpaksa harus naik angkutan umum.
Kami dulu juga pernah merasakan bagaimana sulitnya mendapatkan air karena aliran air dari PDAM mati total selama berhari-hari, dan kalau pun sempat menyala itu hanya beberapa jam habis itu mati lagi berhari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan air, setiap malam terpaksa Papa mengambil air dengan menggunakan jerigen yang diangkut dengan menggunakan motor. Mengambil airnya pun tidak tanggung-tanggung, ke kantor beliau yang berjarak satu kilometer dari rumah. Sendirian Papa mengangkat jerigen, mengisi bak hingga penuh supaya besok kami bisa mandi, dan airnya bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Itu dilakukan setiap hari mulai pukul 10 malam hingga pukul 2 dini hari tanpa mengeluh. Kalaupun Papa pernah terlihat meringis nyeri sambil memegang perut bagian bawah itu juga nyaris tidak pernah dikatakan secara langsung. Kami yang tanpa sengaja melihatnya.
Setelah saya pindah ke Jakarta, saya jadi jarang ngobrol lagi dengan Papa. Entah, rasanya nggak pernah kuat berlama-lama ngobrol dengan beliau, selalu ingin menangis. Seolah ada kerinduan yang terselip di setiap kata-kata yang terucap oleh beliau yang sengaja tidak diucapkan. Seperti halnya percakapan di telepon kapan hari.
Saya : Pa, sekarang Papa lega dong ya, Adek kan sudah dapat pekerjaan yang layak dan sesuai sama bidang pendidikannya di Bank Jatim, insyaallah sudah enak, ya? 🙂
Papa : iya, alhamdulillah.. Papa lega banget Adek kemarin lulus ujian masuk di sana. Papa bangga sama Adek, sama kamu, sama Echa. Doa Papa akhirnya satu persatu dikabulkan sama Allah….
Saya : mmh, emang Papa berdoa apa?
Papa : tiap malam Papa tahajud, berdoa buat kita sekeluarga, terutama buat kalian bertiga. Papa berdoa semoga kita diberikan kesehatan dan dijaga keselamatannya. Kamu dan Echa semoga hidup rukun bersama keluarga kalian dan segera diberikan momongan, Adek supaya diberikan pekerjaan yang tetap dan lebih baik daripada sebelumnya. Tiap malam Papa tahajud dan berdoa tanpa putus. Alhamdulillah satu-persatu doa Papa didengar dan dikabulkan sama Allah..
Saya : ….
Papa : lebaran nanti kamu pulang kan, Vi?
Saya : iya, insyaallah pulang, Pa… *menahan tangis*
“… I have learned over the years that love is sometimes unspoken. Love’s actions can speak louder than words. Unconditional love is often simple and unassuming. When you think about the men in your life, don’t think about the words they have spoken, but remember the love they have shown you in what they do and who they are….” – Anonymous
Terima kasih untuk semuanya ya, Pa. I love you.. :-* >:D<
[devieriana]
ilustrasi diambil dari sini