Hmm, kayanya saya harus bersih-bersih sarang laba-laba dulu, ya. Kelamaan nggak posting blog, Kak, hampir sebulan penuh… #-o
——————–
Ah ya, beberapa hari yang lalu (tepatnya mulai tanggal 24 Februari – 2 Maret 2013) saya berkesempatan mengikuti diklat keprotokolan di Singapore. Diklat ini merupakan lanjutan dari diklat keprotokolan yang sudah dilaksanakan tahun sebelumnya di Pusdiklat Sekretariat Negara. Kebetulan yang terpilih mengikuti diklat ini sebanyak 14 orang, terdiri dari 11 orang dari Kementerian Sekretariat Negara, 2 orang dari Arsip Negara Republik Indonesia, dan 1 orang dari Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno. Diklat yang bertajuk Protocol Training Programme for Indonesia ini diselenggarakan oleh Ministry of Foreign Affairs Singapore (MFA) bekerja sama dengan Pusdiklat Sekretariat Negara selaku penyelenggara Diklat Keprotokolan di Indonesia.
Hari Minggu (24 Februari) siang, Garuda Indonesia membawa kami dalam penerbangan selama kurang lebih 1.5 jam menuju negara bersimbol Merlion itu. Sesampai di Changi kami sudah langsung dijemput oleh Liaison Officer dari MFA Singapore, seorang pria bertubuh tambun yang ramah, jenaka, dan fasih berbahasa Indonesia, yang belakangan lebih akrab kami panggil Uda Faizal. Kok seperti panggilan orang Indonesia? Iya, karena ibunya kalau tidak salah orang Indonesia, jadi di separuh tubuhnya mengalir darah Indonesia.
Selama di Singapore kami menginap di Landmark Village, sebuah hotel yang berdiri di kawasan Victoria Street, yang dekat dengan Bugis Market, stasiun MRT, dan Arab Street. Hotel yang strategis, karena memberikan kami kemudahan akses ke mana-mana secara cepat, selain itu di sana lebih mudah ditemukan makanan halal karena dekat dengan Arab Street. Alhasil beberapa kali kami makan nasi Padang, nasi Briyani, dan martabak ;))
Kalau di dunia bisnis kita mengenal istilah Business Etiquette, kalau di pemerintahan kita mengenal istilah Protocol. Kenapa sih ada protokol-protokolan segala?
“Protocol is a set of rules prescribing good manners in official life and in ceremonies involving governments and nations and their representatives. Protocol is a recognised system of international courtesy. Protocol observes good manners and procedures aimed at making your superior and guests “look good”
Jadi antara manner dan protocol itu berhubungan erat karena keduanya sama-sama dalam core yang sama yaitu etika, yang ditinjau dari dua sisi yang berbeda. Bedanya, kalau di dunia bisnis, manners/etika yang kita gunakan bisa diaplikasikan jauh lebih luwes, sedangkan di dunia pemerintahan, penerapan manner-nya disebut dengan protocol; penerapannya jauh lebih strict karena lebih menekankan pada perilaku yang baik dan sesuai dengan prosedur, yang bertujuan agar pimpinan kita dan tamu negara looks good.
Training yang semula kami bayangkan akan berlangsung serius karena sebagian besar pengajarnya adalah pejabat-pejabat Kemlu Singapore itu ternyata justru menjadi ajang diskusi dan studi banding yang menarik tentang keprotokolan Indonesia dan Singapore. Jika dibandingkan dengan keprotokolan di Indonesia, Singapore menganut sistem keprotokolan yang jauh lebih sederhana. Selain karena negaranya tidak sebesar Indonesia, juga adanya alasan tersendiri mengapa mereka memberlakukan sistem keprotokolan yang lebih simple dibanding negara lainnya.
Dalam sebuah kesempatan jamuan makan siang bersama mereka di Stamford Hotel, saya mengobrol dengan salah satu protokol di sana, mereka menyebutkan jumlah tim protokol di Kementerian Luar Negeri Singapore hanya 20 orang; itu pun sudah all in one; artinya mereka melayani keprotokolan untuk Presiden, Perdana Menteri, para menteri, sekaligus para pejabat di sana. Berbeda dengan di Indonesia yang tim protokolnya yang jumlahnya jauh lebih banyak. Ada tim keprotokolan khusus Kepresidenan, yang terdiri dari tim advance, main group, dan Paspampres. Begitu pun di Sekretariat Wakil Presiden, ada tim keprotokolan sendiri. Demikian pula halnya dengan para menteri; masing-masing punya tim keprotokolan di kementerian mereka masing-masing.
Anggota tim protokol di Singapore hampir semuanya adalah PNS Kementerian Luar Negeri, sedangkan di Indonesia selain PNS, sebagian berasal dari militer. Oh ya, jangan membayangkan busana yang mereka gunakan sehari-hari sama seperti seragam PNS di Indonesia, ya. Busana mereka jauh lebih casual. Bahkan di hari terakhir kami diklat di sana, kami sempat diajar oleh instruktur yang menggunakan busana model you can see, lho 😉 *uhuk! batuk rejan*. Sampai-sampai team leader kami berbisik pada saya, “Mbak, hadeeuh… mendadak pusing nih gue :|” :))
Sempat bertanya-tanya juga mengapa keprotokolan mereka jauh lebih simple dibandingkan dengan keprotokolan di Indonesia. Jawabannya ternyata semua bermula dari PM Lee Kuan Yew yang dari dulu kurang menyukai tatanan protokoler yang (menurut beliau) serbakaku. Beliau lebih menyukai hal-hal yang praktis. Sejak saat itulah seluruh keprotokolan yang berlaku di Singapore dijalankan dengan aturan yang sangat simple. Tetapi sesederhana-sederhananya keprotokolan ala Singapore mereka tetap memperhatikan kaidah dan tatanan keprotokolan yang berlaku secara internasional, artinya mereka tidak lantas membuat aturan sendiri yang berlawanan dengan tatanan keprotokolan yang berlaku secara internasional. Ya beda-beda sedikit, tapi masih tolerable-lah 😉
Selain adanya ‘keunikan’ di Photograph Standing Positions masih ada lagi uniknya. Di Singapore, tim Patwal untuk motorcade ternyata dikomandoi oleh seorang perempuan cantik berperawakan kecil, yang sepintas lebih mirip anggota girl band ketimbang tim protokol apalagi seorang komandan motorcade. Tapi jangan salah, di balik perawakan kecilnya itu ternyata dia ‘gahar’ juga ketika bertugas di lapangan. Tercetus sebuah pertanyaan kami kepadanya tentang bagaimana kalau misalnya jika ada seorang kepala negara yang menginginkan patroli pengawalan selama mereka di Singapore menggunakan standard pengaturan motorcade ala negara mereka? Dengan tegas dia menjawab dalam bahasa Inggris yang sangat fasih:
“I dont care who you are, how old you are, and what’s your position, selama kalian ada di Singapore, dan itu berhubungan dengan patroli pengawalan, it becomes my responsibility. Kalau seandainya ada protokol yang insist ingin menggunakan standard motorcade sesuai dengan yang berlaku di negaranya, it’s easy for me … I will not run that motorcade! B-)”
Keren, kan? Tapi bagus sih, berarti dia mewakili protokol Kemlu punya prinsip dan standard. Ya iyalah, masa tamu mau bikin aturan sendiri di negara orang? 😕 Ah, coba di Indonesia ada satu aja mbak yang kaya gini 😕
Oleh Kementerian Luar Negeri Singapore kami tidak hanya diberi materi yang bermanfaat sebagai bahan perbandingan di bidang keprotokolan, juga yang tak kalah pentingnya kami dijamu secara layak sehingga jarum timbangan pelan namun pasti bergeser ke kanan, dan yang paling ‘hore’ adalah kami diajak ke Night Safari ! Ternyata program acaranya kurang lebih sama dengan yang di Taman Safari Indonesia kok. Lumayan makin bikin mampet hidung saya, karena kebetulan memang sedang flu berat, berangkatnya pun waktu hujan, acaranya di malam hari (namanya juga Night Safari), dan berangkat+pulangnya naik bus ber-AC yang superdingin :-&
Ah ya, bukan hanya itu, kami juga diberikan kesempatan untuk masuk dalam Changi VIP Complex. Sebuah kompleks bandara VIP lengkap dengan ruang tunggu/inap kelas hotel bintang 5 yang ada di Changi International Airport, yang digunakan sebagai ruang tunggu sementara dan tempat pendaratan pesawat kepala negara atau kepala pemerintahan. Selain itu, Changi VIP Complex bisa digunakan on case to case jika ada permohonan dari kedutaan masing-masing negara. Jadi intinya Changi punya bandara tersendiri yang bisa digunakan untuk pendaratan eksklusif tamu negara (kepala negara/kepala pemerintahan), tanpa mengganggu jadwal penerbangan reguler di Changi Airport.
Secara keseluruhan diklat kemarin berjalan lancar dan menyenangkan. Lebih banyak waktu diklatnya sih ketimbang jalan-jalannya. Kalau sempat jalan-jalan itu ya karena kita sempat-sempatkan, sekalian beli makan malam sih biasanya. Bersyukur karena teman-teman tidak ada satupun yang jaim, hampir semuanya lucu. Kalau di dunia keprotokolan yang sbenarnya penggunaan honorific ‘Her Royal Highness’, ‘Her Majesty’, dan berbagai salutation penghormatan yang hanya layak dipergunakan untuk kepala negara/pemerintahan, tapi di sana kami justru menggunakannya dengan semena-mena, misalnya untuk menyebut diri sendiri atau teman yang lain ;)). Bahkan kami juga suka mempraktikkan pengawalan untuk ‘ibu negara’ dengan berpura-pura sebagai Paspampres sambil berjalan menuju stasiun MRT. Ibu negaranya siapa? Ya salah satu teman kami juga yang ngomongnya suka ceplas-ceplos dan kocak banget. Kenapa dia yang kita jadikan ‘ibu negara’? Karena dia yang paling sering ke Singapore, jadi dia yang paling tahu jalan. Kita angkat sebagai ‘ibu negara’ lebih karena kita butuh dia sebagai guide selama di Singapore :)) *sungkem dulu ke Mbak sesepuh*
Kalau boleh dibilang, diklat di sana selama 5 hari itu kurang banget. Bagaimana tidak, ketika kita sudah mulai berhasil membangun chemistry antara kita dengan Singapore, eh kitanya malah pulang :((
Ah ya, cerita lainnya akan saya share di postingan berikutnya saja, ya. Karena kalau dijadikan satu di sini kepanjangan, Kak 😉
[devieriana]
foto: koleksi pribadi