“His heritage to his children wasnt words or possessions, but an unspoken treasure, the treasure of his example as a man and a father.
— Will Rogers Jr. —
—
Pagi itu, jalanan Jakarta tak seperti biasanya, lengang. Wajar, karena hari itu bertepatan dengan libur nasional, 1 Juni 2018. Di saat yang sama saya juga tengah menjalankan tugas di kantor sebagai pembawa acara di upacara peringatan Hari Lahir Pancasila. Walaupun jalanan lengang, namun tak demikian halnya dengan pikiran dan benak saya. Ada kecamuk rasa galau di sela menjalankan tugas, terutama setelah mendengar Papa kembali masuk rumah sakit untuk yang kedua kalinya pasca pulang umrah.
Selepas umrah di tanggal 5 Mei 2018, kondisi Papa pelan-pelan mulai menurun. Diawali dengan keluhan di lambung yang menurut diagnosa dokter mengalami peradangan, berlanjut ke keluhan-keluhan kesehatan lainnya. Namun yang membuat hati saya tidak tenang adalah, kali ini Papa sempat tak sadarkan diri sehingga harus dirawat di ruang ICU.
Selepas upacara, saya pun segera memesan tiket sembari mengemasi beberapa barang bawaan dan pakaian seperlunya untuk dibawa pulang ke Sidoarjo, dengan harapan semoga Papa segera pulih.
Sesampainya di rumah sakit, nyatanya bukan hal yang mudah saat menyaksikan tubuh yang dulu gagah perkasa, kini terbaring lemah digerogoti penyakit hingga tak berdaya, pasrah dalam bantuan alat-alat medis. Dan ketika perawat mengizinkan saya masuk ke ruang High Care Unit tempat Papa dirawat, saat itu pulalah air mata tak mampu saya bendung. Laksana mendapat tamparan keras yang bertubi-tubi, tangis saya pun pecah.
“Maafkan Devi yang tidak mampu menjaga Papa dengan baik, ya…”
Tiba-tiba kenangan bersama Papa satu persatu berlompatan dalam ingatan saya. Kenangan tentang bagaimana Papa mengenalkan bahasa Inggris kepada saya, mengiringi saya menyanyi dengan menggunakan gitar kesayangannya, membelikan buku-buku dongeng dan kaset Sanggar Cerita. Tentang bagaimana Papa merespon pertanyaan konyol saya di tengah malam buta tentang kemungkinan saya jadi seorang model kelak ketika saya dewasa nanti. Tentang bagaimana ekspresi kekhawatiran Papa ketika melihat saya menangis dengan jari telunjuk yang berdarah-darah, gara-gara saya jepret sendiri dengan menggunakan stapler. Saking penasarannya saya tentang fungsi alat ini.
Dan yang paling mengharukan adalah bagaimana perjuangan Papa menyediakan air bersih untuk kami sekeluarga lantaran hampir di setiap malam air di rumah kami selalu mati. Terbayang bagaimana Papa harus berjuang mengalahkan dinginnya malam, menempuh jarak 1 km bolak-balik, mengisi jeriken demi jeriken hingga penuh, menaikkannya ke atas motor, menuangnya ke dalam bak kamar mandi kami hingga penuh supaya bisa kami pakai untuk kebutuhan sehari-hari esok pagi. Itu semua dilakukan setiap hari tanpa mengeluh. Teringat pula saat Papa mengantar jemput saya ketika masih sekolah, bahkan ketika saya pulang kerja. Iya, waktu saya masih kerja di Malang. Dan bahkan pernah, ketika motor kami hilang, Papa pun tetap menjemput saya dengan naik angkot. Masyaallah, sesayang, sepeduli, dan semelindungi itu Papa sama saya
Dan, malam itu pahlawan keluarga kami meringkuk dalam balutan selimut rumah sakit warna cokelat. Sosok yang dulunya gagah tegap itu kini nyaris tinggal tulang berbungkus kulit. Dengan penuh perjuangan menekan emosi, saya bisikkan lembut ke telinga Papa,
“Pa, ini Devi datang sama Alea dan Echa. Pa, besok papa harus sehat, ya. Kan besok aku ulang tahun. Aku nggak minta kado apa-apa selain besok Papa bangun dalam keadaan sehat. Ya, Pa, ya…Nanti kalau Papa udah sehat, kita jalan-jalan lagi, yuk! Sekarang Papa bobo aja dulu, besok pagi pas aku ke sini Papa bangun, ya…”
Kalimat-kalimat yang meluncur dari bibir saya malam itu sesungguhnya untuk memberi sugesti pada diri saya sendiri. Sugesti bahwa Allah masih memperkenankan saya punya Papa esok hari. Sugesti bahwa besok pagi, saya bisa diberikan kesempatan untuk berulang tahun bersama Papa. Saya percaya walaupun dalam keadaan tidak sadar, Papa mendengar apa yang saya bisikkan tadi. Malam itu saya pasrahkan segenap doa dan harapan saya kepada Tuhan. Karena di saat seperti ini hanya keajaiban doa dan perkenan Tuhan saja yang mampu membangunkan Papa keesokan hari.
Keajaiban itu nyata adanya. Di pagi buta, adik saya Echa yang semalaman menjaga papa di rumah sakit mengabari via pesan singkat Whatsapp kalau Papa sadarkan diri, sempat membuka mata, dan bahkan sempat menitikkan air mata.
Masyaallah… Tuhan mendengar ‘obrolan’ saya dengan Papa semalam. Tuhan memperkenankan Papa bangun di hari istimewa saya, 2 Juni 2018. Dengan penuh semangat saya pun bergegas menuju rumah sakit yang kebetulan jaraknya tak jauh dari rumah. Cukup berjalan kaki selama 10 menit saja saya sudah tiba di rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, emosi saya teraduk-aduk. Ada banyak rasa yang berkecamuk. Semacam paduan rasa bahagia, haru, namun sekaligus sedih luar biasa. Entah kenapa, jauh di sudut hati saya merasa inilah ulang tahun terakhir saya bersama Papa. Semacam firasat yang ingin saya enyahkan jauh-jauh.
Papa melihat kedatangan saya dari balik gordyn pemisah pasien. Beliau tersenyum samar di balik alat bantu pernapasan. Terlihat ada setitik air yang menggulir di sudut mata, yang segera dihapus oleh Echa, adik saya.
“Assalamualaikum, Papa…”
“Waalaikumsalam… Vi, selamat ulang tahun, ya. Semoga panjang umur, sehat selalu, dan
dilindungi Allah SWT. Aamiin…”
Kalimat-kalimat itu terucap dengan susah payah, meluncur di antara lidah yang sudah kelu, suara Papa nyaris tak terdengar. Saya mengamininya dalam keharuan luar biasa dan dalam tangis yang setengah mati saya tahan agar tidak tumpah ruah. Saya peluk lembut tubuh ringkih berbalut selimut cokelat itu, sembari menyelipkan ucapan terima kasih karena Papa sudah menyempatkan diri untuk sadar, siuman, bahkan mengucapkan selamat ulang tahun. Kado yang luar biasa indah dari Papa sekaligus Tuhan.
Hari itu kami bertiga berada di sisi Papa lengkap. Di moment itu kami saling mengungkapkan apapun yang selama ini tidak pernah (sanggup) kami ungkapkan di depan Papa. Rasa sayang kami, rasa cinta kami, rasa terima kasih dan penghargaan kami kepada Papa atas semua yang telah beliau berikan kepada keluarga. Walaupun lebaran masih kurang beberapa hari, tapi kami sudah saling meminta maaf dan memaafkan lebih dulu. Sembari menata dan mempersiapkan hati jika hari itu ternyata menjadi hari terakhir kebersamaan kami bersama Papa.
Ibarat nyala lilin yang sesaat sebelum padam, nyalanya akan membesar sesaat. Seperti itulah yang terjadi pada Papa. Fenomena lilinnya Papa itu ternyata di hari ulang tahun saya. Hasil ngobrol bareng Mastein , fenomena lilin itu semacam sebuah kondisi pasien yang sedang sakit parah, terlihat seolah-olah membaik, bisa diajak ngobrol, dll, sebelum akhirnya kondisinya kembali menurun, dan lalu berpulang.
Setelah dirawat kurang lebih 6 hari lamanya, Papa mengembuskan napasnya yang terakhir tepat setelah saya selesai membacakan surat As Sajdah di samping beliau, diiringi bisikan kalimat syahadat yang tak putus-putus di telinga beliau oleh kedua adik saya secara bergantian, di hari Rabu, 6 Juni 2018, pukul 16.24 di Rumah Sakit Umum Daerah
Sidoarjo, dalam usia 72 tahun.
Walaupun kami sudah menyiapkan mental sedemikian rupa, tetap saja bukan hal yang mudah untuk menerima kenyataan bahwa kami sekarang sudah menjadi anak yatim. Bahkan untuk menceritakannya kembali di blog ini pun saya butuh waktu yang lama sekali.
Tapi di balik ini semua kami bersyukur bahwa ada banyak kebaikan yang menyertai kepergian Papa. Papa pergi sepulang umrah, tidak terlalu lama sakit, dan alhamdulillah diberikan sakratul maut yang mudah. Bahkan kami yang mendampingi Papa pun nyaris tak sadar kapan Papa mengembuskan napasnya yang terakhir. Dan yang membuat terharu adalah sampai pukul 2 dini hari pun masih banyak yang takziah mendoakan, baik dari
tetangga, kerabat, teman SMA Papa, dan teman-teman dari Persaudaraan Setia Hati Terate. Masyaallah…
Konon, rindu paling menyakitkan adalah merindukan seseorang yang telah tiada. Tapi kami yakin dan percaya, bagaimana pun pedih dan sakitnya sebuah rasa kehilangan, Tuhan selalu ada untuk mendengarkan segala doa dan harapan.Tuhan selalu menyediakan cara untuk memulihkannya kembali.
Terima kasih untuk segala hal baik yang telah Papa lakukan semasa hidup untuk kami. Walaupun raga Papa tak lagi ada bersama kami, doa kami tak akan pernah putus buat Papa. Istirahatlah dengan tenang di sana ya, Pa. Jangan pernah khawatirkan kami, karena percayalah, para malaikat kecilmu ini telah menjadi anak-anak tangguh lebih dari yang Papa bayangkan.
Selamat beristirahat. Semoga kelak kita bertemu di surga-Nya ya, Pa…
[devieriana]
PS: ditulis tepat di hari ke-40 kepergian Papa