Ladies and Gentleman, Ricad Hutapea!

ricad hutapea

 

Saya mengenal saxophonist satu ini secara tidak sengaja. Berawal dari twitter, lalu disambung dengan obrolan di email dan watsap tentang permusikan, hingga akhirnya kakak satu ini memberikan saya sebuah CD.

“Eh, serius ini buat aku?”

“Iya, buat Kakak…”

“Aww, terima kasiiih…”

Yaaay! Senang! Ya senanglah, lha wong dikasih ๐Ÿ˜† Nggak ding, kebetulan saya juga penggemar smooth jazz; dan kebetulan dia bermain di aliran musik yang sama dengan selera musik saya. Jadi rasanya kok gatel kalau nggak di-review ya ๐Ÿ˜€

Pertama kali saya mendengarkan secara utuh CD-nya Ricad yang bertajuk Jalan Pertama ini saya langsung terkesan. Apalagi lagu pembukanya yang berjudul Struggle. Kalau mendengarkan lagu itu rasanya kita sedang dibawa ke suasana kafe, dengan suasana lampu yang temaram, sambil ngobrol-ngobrol dan ngopi-ngopi cantik. Permainan saxophone-nya smooth dan luwes, layaknya seorang saxophonist yang sudah lama malang melintang di jagad musik tanah air.

Siapa sangka kalau sebenarnya dulu Ricad tidak pernah bercita-cita menjadi seorang pemain saxophone. Waktu SD dia lebih suka ikut paduan suara ketimbang bermain alat musik. Baru ketika dia sudah menginjak bangku SMP ketertarikannya terhadap penguasaan alat musik mulai tumbuh. Dia mulai menyukai keyboard; dan ternyata ketertarikannya ini didukung penuh oleh keluarganya. Oleh karenanya, untuk mendalami alat musik keyboard Ricad pun dimasukkan ke lembaga pendidikan musik Sonora. Tak heran kalau akhirnya ketika dia mulai masuk ke tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi dia memilih untuk masuk di SMK Musik Perguruan Cikini dan mengambil jurusan piano klasik di bawah bimbingan Raras Miranti. Di sinilah awal mula dia mulai berkenalan dengan alat musik saxophone karena dia merasa jenuh terus-terusan bermain piano klasik ๐Ÿ˜€ . Akhirnya untuk memaksimalkan penguasaan alat musik saxophone, selama 3 bulan Ricad belajar secara intensif di Sekolah Musik Farabi, pimpinan Dwiki Darmawan.

Jiwa Ricad rupanya sudah mulai berlabuh ke saxophone. Itulah yang menjadi alasan Ricad untuk meneruskan pendidikannya di Institut Kesenian Jakarta dan mengambil jurusan saxophone klasik di bawah bimbingan Irianto Suwondo. Tak hanya sampai di situ, Ricad juga mengasah kemampuan bermain saxophone kepada guru-guru musik lainnya, yaitu Arief Setiadi, F.A. Talafaral, dan Yoseph Sitompul. Merekalah yang mengajarkan Ricad bagaimana memainkan saxophone dengan tone yang soulful.

Mengusung aliran jazz, Ricad membentuk Music Voyage Quartet di tahun 2011. Kemampuan bermusiknya dapat disaksikan dalam beragam event jazz tanah air, seperti Java Jazz, JakJazz, Indonesian Jazz Festival, dan pagelaran Jazz Gunung. Tak hanya di atas panggung, Ricad ternyata juga terlibat dalam pembuatan album beberapa musisi tanah air, seperti Monita Tahalea dan Tohpati. Oh ya, dia juga berhasil menciptakan 2 buah single hasil kolaborasi dengan DJ Andez .

Bagaimana kok akhirnya dia bisa kenal dengan beberapa dedengkot musik jazz Indonesia? Ternyata itu awalnya juga secara tidak sengaja. Ricad bercerita kalau sebenarnya di sekitar tahun 2012-2013 dia diajak ngobrol dan bermain bareng di kafenya Indra Lesmana yaitu Red White Lounge oleh Chaka Priambudi (pemain bassnya Monita Tahalea). Ketika mereka tampil, ternyata Indra Lesmana tertarik dengan permainan saxophone-nya Ricad. Nah, dari situlah akhirnya Ricad diajak untuk menggarap project Tribute To Chick Corea untuk ditampilkan di Red White Lounge. Chick Corea ini adalah salah satu musisi jazz kawakan Amerika.

Di penghujung tahun 2014 ini, Ricad merilis albm instrumental pertamanya yang bertajuk Jalan Pertama. Di album ini ada 10 lagu yang kebetulan semuanya diaransemen sendiri oleh Ricad. Selain Struggle, saya juga suka lagu Someone To Watch Over Me yang dinyanyikan secara ringan oleh Monita Tahalea dan tentu saja diiringi permainan saxophone-nya Ricad. Kerenlah pokoknya!

Oh ya, sementara ini, untuk membangun engagement dengan fans, CD sengaja dipasarkan sendiri oleh teman saya ini. Jadi, kalau kalian ada yang berminat membeli CD-nya Ricad, atau mengajak berkolaborasi, ingin mendengarkan seberapa kerennya permainan kakak yang satu ini, silakan mention dia di twitter @ricadhutapea atau langsung ke email ricadhutapeamusic@gmail.com deh, dia pasti akan senang hati menyapa dan melayani kalian ๐Ÿ˜€

Buat temanku, Ricad. Terima kasih ngobrol-ngobrolnya. Sukses terus buat karir bermusiknya. Teruslah berinovasi dan memberi warna baru bagi musik Indonesia.

Semangat ya! ๐Ÿ˜‰

 

 

[devieriana]

 

gambar diambil dari twitternya Ricad

Continue Reading

Euphoria: Java Jazz Festival

jazz-wallpaper

Event Java Jazz sudah berakhir beberapa hari yang lalu. Tapi gaungnya masih dirasakan oleh sebagian orang, terutama yang berkesempatan datang ke acara tersebut. Euphorianya pun sudah mulai terasa sejak beberapa minggu menjelang perhelatan acara yang diprakarsai oleh Peter F. Gontha itu.

Jujur, saya sendiri belum pernah datang ke acara Java Jazz, padahal saya punya grup band beraliran jazz, ihihihik. Tahun ini pun saya melewatkan datang ke acara ini karena kondisi badan sedang kurang memungkinkan halesyan. Kalau suami masih sempat datang ke acara ini beberapa kali bersama teman-temannya. Kalau dia sih wajar, karena kebetulan dia salah satu penggemar jazz, terlihat dari koleksi lagu di hampir seluruh peralatan elektronik yang mengandung audio. Untungnya koleksi jazz dia masih termasuk yang easy listening jazz, belum jazz yang ‘black’ banget, jadi saya masih bisa mengikuti selera musiknya. Maklum, sebenarnya saya kan nggak punya selera musik selera musik saya kan random. Jenis lagu apapun asalkan easy listening ya bakal masuk-masuk saja di telinga saya.

Keriuhan status tentang Java Jazz Festival turut meramaikan timeline beberapa akun social media saya. Ada yang dengan bangga memamerkan tiket yang sudah dibeli di timeline, ada yang live tweet penampilan artis ini/itu, ada yang dengan polos menulis di status kalau dia ada di tengah crowd Java Jazz karena cuma diajak teman/gebetan, dll. Saya sendiri cuma sebagai pengamat saja. Lha ya mau komentar apa, wong nggak nonton, lagi pula pengetahuan jazz saya juga masih setengah-setengah, seperti aliran band saya yang masih angin-anginan mau main genre musik apa. Ini semua ‘gara-gara’ Tafsky Kayhatu (putra musisi jazz kenamaan Indonesia Alm. Christ Kayhatu) yang ‘menjerumuskan’ grup band saya menjadi grup band jazz, padahal awalnya band saya lebih banyak memainkan lagu-lagu Top 40 :mrgreen: . Tapi ada bagusnya juga sih, karena dari Tafsky dan teman-teman ngeband saya yang lainnya akhirnya saya bisa mendapatkan tambahan ilmu bermusik.

Teringat obrolan menggelikan dengan seorang teman yang setahu saya bukan penggemar jazz tapi berhubung sudah terlanjur dibelikan tiket oleh teman lainnya jadilah dia ‘terdampar’ di venue penyelenggaraan Java Jazz.

Him: “Jujur, gue nggak ngerti musik jazz. Kenapa gue kemarin bisa ada di Java Jazz ya gara-gara gue udah terlanjur dibeliin tiket sama Si Richard.”

 

Me: “Oh, pantes! Makanya aku heran, sejak kapan kamu antusias datang ke Java Jazz. Ternyata… ๐Ÿ˜† ”

 

Him: “Ah, tapi gue nggak berkecil hati, Devi. Gue yakin 100% kalau yang dateng ke Java Jazz itu nggak semuanya ngerti dan suka musik jazz; kaya gue gitulah. Jujur nih ya, kadang gue bingung, banyak orang yang nggak ngerti musik, tapi giliran ada Java Jazz aja pada ribut banget nyari tiketnya. Kayanya kalo nggak bisa dapet tiket Java Jazz harga diri bakal turun, gitu. Buat apaan coba? Mending duitnya dipake buat yang lain, kan? Eh, itu sih kalo gue…”

 

Me: “Nah, kamu juga ngapain mau-maunya ada di situ, udah tahu kamunya nggak ngerti musik jazz”

 

Him: “Nah, kan gue udah bilang, gue disuruh nemenin Si Richard nonton, Malih! Jadi ya udahlah sekalian sambil hunting foto aja deh. Lagian gue juga nggak selalu di depan panggung buat nonton musiknya kok. Sesekali gue ambil gambar artis yang gue kenal, selebihnya gue lewat aja. IMHO ya; Java Jazz itu kalau buat anak musik adalah event yang bagus, karena bisa jadi ajang meet up sekaligus menambah wawasan musik mereka. Tapi kalau buat yang nggak ngerti musik kaya gue contohnya, Java Jazz itu ya cuma jadi ajang ketemuan sama temen, foto-foto, melepaskan stress di kantor, walaupun di venue itu pun gue jadi stress sendiri karena nggak ngerti sama musiknya, hahaha. Trus, bisa jadi ajang modus buat ngajak gebetan (gue batuk boleh, ya?), jadi ajang buat menaikkan gengsi, biar dibilang selera musiknya keren, gitu. Eh, percaya nggak, kalau ada yang sengaja nonton cuma pengen liat muka artisnya doang. Malah kapan hari ada yang keselip nyebut Depapepe jadi Depe. Padahal dandanannya udah keren banget, kaya yang pengetahuan musiknya di atas gue, “Siapa tuh duo gitaris Jepang yang dateng ke Java Jazz? Depe..Depe.. duh gue lupa. Depe, apa?” Gue jawab dalam hati, Dewi Persik?”

Sampai sini saya tertawa. Cerita teman saya yang nyinyir apa adanya ini membuat saya mau tak mau mengiyakan sebagian kalimat-kalimatnya, walaupun terdengar agak satir.

Him: “Keren itu adalah ketika lo nonton Java Jazz tapi lo ngerti dan tahu apa yg lo tonton bukan karena lo pengen foto-foto di depan banner yang bertuliskan Java Jazz!”

 

Me: “Nah, kemarin kamu foto di depan banner Java Jazz, nggak?”

 

Him: “Lhoo, ya foto dong yaaa! Gimana sih, masa udah jauh-jauh datang ke Java Jazz kok nggak foto di depan bannernya. Impossible dong, Devi!”

Caranya menjawab membuat saya ingin menampol mukanya pakai sandal refleksi. Mengkritisi orang lain, tapi kok dia sendiri melakukan apa yang diomongin. Hih! ๐Ÿ˜

Terlepas dari motivasi apapun para penonton Java Jazz, saya mencoba memodifikasi pemikiran saya tentang mereka. Jazz itu seperti kopi. Dia sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat urban. Ketika kita sekadar ingin menikmati secangkir kopi di sebuah kedai kopi, bukan berarti kita harus datang sebagai seorang penggemar kopi murni yang pekat. Kalau tidak suka dengan kopi murni yang pekat toh masih ada varian kopi lainnya. Begitu juga dengan musik jazz; kalau memang tidak paham dengan jazz yang ‘black’ nan rumit, nikmati saja versi lainnya yang lebih easy listening. Toh banyak kok lagu-lagu yang bukan murni jazz tapi sengaja dibuat versi jazznya supaya pas dengan moment, acara, dan penonton musik yang tidak semua penggemar musik jazz. Kalau masih belum mengerti juga ya sudah, kan masih ada genre musik yang lain. Sama saja seperti perhelatan konser musik yang lain juga deh, belum tentu semua penontonnya paham dan menikmati apa yang mereka tonton. Siapa tahu mereka datang ke sebuah konser musik hanya karena ingin menikmati histeria dan crowd-nya saja. Tapi kalau saya boleh memilih sih, saya akan datang ke sebuah acara musik yang musiknya jelas bisa saya nikmati, daripada dana terbuang sia-sia, Kak :mrgreen:

Just my two cents ๐Ÿ™‚

 

– devieriana –

 

 

ilustrasi dipinjam dari sini

 

Continue Reading

Selera Yang Menular

Boleh dibilang selera musik saya sangat gado-gado; karena segala jenis musik yang menurut saya terdengar catchy atau syairnya bagus bisa langsung masuk dalam list lagu favorit. Genrenya pun bisa bermacam-macam, tergantung mood & selera saya saat itu :D. Bisa dilihat sebagianย  di sini , atau di sini ,dan masih banyak sederetan lagu yang bergenre musik yang berbeda jauh dari selera musik suami saya.

Berbeda dengan suami yang konsisten dengan koleksi lagu di jalur jazz (mulai yang sentimental romantic jazz, instrumental, sampai yang jazz banget). Hampir semua koleksi lagunya jazz atau instrumental yang mengandung saxophone atau lagu-lagu slow yang kalau didengarkan kapan saja masih bisa masuk & nggak ketinggalan jaman. Kadang kalau didengarkan dalam suasana syahdu bisa berasa seperti sedang makan di kafe-kafe yang romantis. Jangankan gitu deh, di suatu malam bertepatan dengan acara gathering temen-temen saya di salah satu villa di Puncak sambil menemani kita yang sedang mempersiapkan makan malam dia langsung memainkan koleksi lagu-lagunya. Asli, berasa lagi di mana gitu. Berasa lagi di Puncak, gitu ;))

Koleksi macam Dave Koz, Kenny G, David Benoit, Dave Grusin, Incognito, Earl Klugh, Lee Ritenour, Michael Buble, Barry White, Al Jarreau, Jammie Cullum nangkring dengan manis di rak CD, ipod, blackberry. Saya yang awalnya kurang peduli dengan selera dan koleksi musik suami saya lha kok sekarang-sekarang malah ketularan. Ringtone saya jadi jazz banget. Ya kalaupun iya sekarang jadi suka dengerin yang jazzy tunes, sukanya sama yang ringan-ringan sajalah, sama kaya dia juga. Nggak sampai yang jazznya ‘black’ banget, ilmunya belum sampai sana saya mah ;))

Salah satu lagu favorit saya yang adem banget buat didengerin malem-malem sambil hujan kaya gini, yang versi aslinya dibawakan bareng David Benoit – Know Youย by Heart. Tapi versi yang bareng ย Jim Brickman juga ok banget lho, kaya gini:

atau ringtone saya, David Benoit – Watermelon Man yang tersohorย  ini :

atau mau yang anak muda banget, Photograph – Jammie Cullum yang ini:

Kalau urusan musik mungkin masih bisa ketularan, tapi kalau sudah masalah hobby sudah masing-masing. Saya sibuk apa, dia ribet apa ๐Ÿ˜€

[devieriana]

gambar pinjam dari sini

Continue Reading