Tentang Belanja di Pasar Murah

shopping-cartoon

Ting tung! *buka pesan di whatsapp*
“Eh, ada bazar Dharma Wanita di Gedung 3? Ke sana yuk!”
– read –

Ting tung! *buka pesan di grup ibu-ibu biro*
“Besok ultah kantin Kayumanis, ada bazar sembako, yang mau pesen bawang merah, bawang putih, gula, beras, dll, buruan pesen ya, kuatir kehabisan…”
– read –

Ting tung! *buka pesan di whatsapp emak-emak*
“Up date harga Indongapret dan Lapamidi. Diskon minyak goreng, pampers, susu anak, beras…”
– read, delete –

“Eh, ada pasar ikan segar tuh di depan toko souvenir, Kak Devi nggak ke sana?”

Hampir semua ajakan belanja ini itu berakhir dengan gelengan kepala, atau penolakan halus. Entah kenapa, sejak zaman dulu, setiap kali ada broadcast whatsapp tentang program belanja ini itu, diajak pergi ke bazar, atau pasar murah, selalu tidak pernah tertarik atau antusias. Kalau pun iya pernah beli di bazar kantor itu tahun 2011, beli mukena berbahan parasit warna cokelat tua seharga 120 ribu dan itu juga hasil komporan teman.

Beda dengan hampir semua teman kantor saya yang perempuan terutama, kalau ada bazar hampir dipastikan kembali ke ruangan dalam keadaan dua tangan yang penuh dengan jinjingan belanjaan. Entah itu sembako, jilbab, mukena, sepatu/baju anak, atau makanan siap saji. Beberapa kali saya ‘paksakan’ pergi ke bazar yang diadakan kantor, tapi ndilalah selalu kembali ke ruangan dengan tangan kosong.

Entahlah, apa mungkin belum pernah ‘nemu’ barang yang pas dengan apa yang saya butuhkan, atau belum nemu yang kebetulan lucu, dan atau harus dibeli. Tapi kalau soal sembako, saya orangnya praktis saja sih. Kalau habis ya beli, tapi kalau masih ada ya dihabiskan dulu. Ya tipe orang seperti saya mungkin ada negatifnya, kalau mendadak butuh dan persediaan sedang habis, ya bakal kelimpungan. Ya tapi daripada numpuk dan makan tempat, gimana dong? Apalagi rumah saya tipe-tipe imut minimalis yang bisanya buat menyimpan stok barang secukupnya. Tapi biasanya sih saya selalu cek apa saja yang sudah hampir habis, baru saya belikan stoknya. Atau kalau memang sudah waktunya belanja bulanan ya dicatat apa saja yang habis dan perlu dibeli, supaya nggak kalap belanjanya. Ah, dicatat saja masih suka kalap, apalagi nggak dicatat *self keplak*.

Kadang saya mikir juga, kok saya nggak kaya ibu-ibu lainnya yang selalu riang gembira memborong sembako murah, atau kalap beli pernak-pernik buat bocah ya? Sudah pernah saya paksakan untuk ke bazar pun hati ternyata tidak tertarik sama sekali. Jangan-jangan event organizer-nya yang kurang kreatif nih sehingga barang-barang yang dijual kurang menarik perhatian saya ya… *ngomong sama tembok*

Bukannya nggak butuh sembako juga sih, pasti butuh dong. Emang kita anak debus, yang makannya beling sama gabah, hahaha. Ya bayangkan, di rumah kami cuma bertiga; saya, suami, dan Alea (usia 22 bulan). Kebetulan saya dan suami bukan tipe orang yang makannya banyak. Suami juga bukan orang yang makan apa saja cocok, cenderung picky. Picky-nya cocok-cocokan sama lidah dia, misal untuk masakan, dia kurang suka sama yang olahan ikan, apapun bentuknya. Trus, masakan yang mengandung kecap, atau yang terlalu pedas. Sementara saya adalah pemakan apa saja. Jadi kadang saya yang menyesuaikan dengan lidah suami. Begitu juga dengan Alea yang makannya belum seberapa. Jadi kalau harus menimbun sembako kok rasanya agak ribet gimana gitu. Menurut saya sih…

Kalau soal belanja pernak-pernik anak, biasanya saya cenderung beli kalau memang sreg pengen beli atau beneran nemu yang lucu. Anak seusia Alea kan cepat numbuhnya ya, jadi saya biasanya beli seperlunya saja, kalau kebetulan Alea belum punya, atau ada barang yang lucu, atau memang sudah waktunya beli. Bukan apa-apa, khawatir mubadzir, sudah beli banyak baju, belum sempat dipakai eh tahu-tahu sudah nggak muat karena anaknya tambah besar.

Jadi, kalau saya jarang beli di bazar atau pasar murah, bukan berarti saya sok-sokan anti bazar atau pasar murah lho ya, mungkin belum nemu pas butuhnya saja.

Makanya ayo dong, ajak saya ke mana gitu, yang barangnya lucu-lucu dan harganya miring, dan biar saya bisa kalap belanjanya… *lho*

[devieriana]

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Balada Online Shopping

online-shop

Dulu, saya bukan termasuk orang yang gemar berbelanja secara online. Buat saya, kalau mau beli barang ya lihat secara langsung; kalau cocok dibeli, kalau enggak ya enggak beli. Pun ketika saya sudah tinggal di Jakarta, yang notabene hampir semua barang tersedia dan bisa didapatkan dengan mudah. Dulu waktu trend belanja via online baru muncul, sempat ragu juga. Alasan utamanya ya takut ditipu. Ya wajarlah, secara, barang yang ditawarkan cuma bisa kita lihat dalam bentuk foto, bagusnya tampilan barang belum tentu bisa menjamin kualitas barang, kan? Belum lagi kalau sudah di-retouch dengan photoshop di sana-sini. Barang yang sebenarnya nggak kinclong-kinclong amat aja

Saya baru sedikit tune in dengan yang namanya online shopping itu ketika saya ngeblog di multiply.com sekitar tahun 2006-2007-an, ketika ada beberapa teman di friend list saya yang awalnya membuat akun pribadi, lama-lama berubah menjadi akun jualan. Perubahan ini memang tidak drastis; awalnya mereka menawarkan produk baju, kain, kosmetik, atau bahkan barang second yang secara fisik masih layak guna dalam jumlah yang terbatas. Tapi ketika melihat respon teman yang lain ternyata bagus, mulailah mereka menambah jumlah koleksi dan meng-update-nya secara berkala.

Lantaran keseringan buka situs multiply.com dan melihat tampilan update koleksi jualan mereka, akhirnya kekukuhan saya untuk tidak berbelanja via online pun pelan-pelan runtuh. Apalagi ketika bentuk badan saya masih melar ke mana-mana pascamelahirkan, jadi yang saya butuhkan masih berupa baju-baju berpotongan longgar untuk menyembunyikan’ kelebihan sisa lemak yang masih tertimbun di sana-sini, sementara untuk sengaja beli baju ke mall kok pas males. Sejak saat itulah saya mulai keranjingan berbelanja via online dan setia menunggu update koleksi terbaru dari salah satu lapak langganan saya.

Nah, saya pikir semua online shopping kalau sudah berani buka lapak, ya berarti pelayanannya juga maksimal (sama seperti online shopping langganan saya). Tapi toh ternyata tidak semuanya begitu. Pernah juga saya mengalami kejadian kurang menyenangkan dengan online shopping sekitar 6 tahun yang lalu.

Berawal dari sekadar ‘window-shopping’ di facebook. Dari sana ternyata ada sepasang baju batik sarimbit yang warna dan modelnya lucu. Seperti prosedur yang biasa saya lakukan ketika belanja online, saya pun melakukan pemesanan, berkomunikasi dengan penjualnya, dan melakukan pembayaran. Kebetulan lokasi tokonya ada di Jawa Tengah (saya lupa tepatnya di mana). Tunggu punya tunggu, kiriman yang seharusnya paling lama sudah saya terima dalam jangka waktu 3 sampai 7 hari kerja itu kok nggak muncul-muncul ya; padahal janjinya barang akan segera dikirim. Si Penjual kok sepertinya juga adem ayem saja, nggak ada info apa-apa, ya? Mulai khawatir dong. Jangan-jangan ini modus penipuan, atau paket hilang di jalan. Ah, tapi kan ada resi pengiriman, jadi barang bisa dilacak keberadaannya di mana. Lha tapi saya juga nggak dikasih tahu nomor resinya, gimana saya bisa melacak? Saya juga sudah konfirmasi ke orang rumah apakah ada paket buat saya, tapi nyatanya memang belum ada paket apapun yang apa-apa yang tiba di rumah.

Usut punya usut, setelah saya konfirmasi via sms/e-mail (karena yang bersangkutan susah sekali ditelepon), ternyata barang belum dikirim! Lhah, kok bisa? Alasannya klise dan terdengar sedikit kurang profesional.

“Maaf Mbak, barang memang belum saya kirim karena saya kan packing, kirim sendiri, sementara pesanan menumpuk. Apalagi tempat ekspedisinya jauh dari rumah saya, dan saya nggak punya kurir. Besok deh saya usahakan kirim, Mbak. Maaf ya…”

Lho, gimana tho? Ya kalau memang belum dikirim atau ada kendala pengiriman hambok ya diinformasikan ke pembeli, biar pembeli nggak harap-harap cemas menunggu kiriman datang. Walaupun dengan kening sedikit berkerut, tapi saya coba berpikiran positif dan memaklumi. Ya sudahlah, toh bajunya nggak urgent-urgent amat, nggak segera dipakai ini, dan saya pun mulai menunggu kembali.

Tak terasa waktu pun bergulir, dan hampir seminggu setelah komunikasi terakhir saya dengan Si Mbak itu, akhirnya ada konfirmasi sms darinya:

“Mbak, barang pesanan Mbak dikembalikan lagi ke saya karena alamat Mbak tidak jelas dan itu rumah kosong”

Lah, gimana bisa rumah kosong, sih? :-o. Aduh! Saya pun mengelus dada dan mengucap istighfar berkali-kali. Sekali lagi, usut punya usut ternyata Si Mbak itu yang salah tulis alamat. Salah/kurang menulis angka romawi VIII menjadi VII ya akhirnya fatal nyasar ke mana-mana… 😥

Jujur, dengan banyaknya alasan yang disampaikan oleh Si Mbak itu, saya nyaris putus asa dan memutuskan untuk membatalkan pesanan saya saja. Tapi entah kenapa kok saya malah kasihan sama Si Mbak itu. Dalam pikiran saya, mungkin dia baru mencoba membuka usaha, jadi masih kelimpungan dengan delivery, administrasi, dll. Tapi ya itulah risiko bisnis, IMHO seharusnya sudah dipertimbangkan sebelum memulai usaha. Jadi ya sudahlah ya, saya kembali mencoba bersabar untuk ke sekian kalinya.

Ah, akhirnya, setelah drama panjang yang telah saya lalui selama sebulan lebih itu pun, pesanan saya akhirnya datang juga, Sodara! Pffiuh! Leganya… *usap peluh*. Rasanya ini adalah pengiriman barang dengan delivery paling lama sedunia, padahal Mama saya kalau kirim paket dari Surabaya paling lama 3 hari sudah saya terima, ini yang cuma di provinsi sebelah saja kok ya pengirimannya ngalah-ngalahi pengiriman paket dari luar negeri.

Dengan antusias saya mulai buka paket yang masih terbungkus kertas cokelat lusuh itu. Tapi antusiasme saya mendadak kuncup seketika, saya pun kembali harus menelan kekecewaan, barang yang tiba ternyata bukan sepasang batik yang saya pesan, baik warna, model, maupun ukurannya. Hwaaaa! 😥 Duh, Mbak. Niat jualan nggak, sih? *jambak-jambak rambut*. Sudah pengirimannya lama, sempat salah alamat, pas sudah sampai kok ya salah kirim jenis barangnya. Itulah terakhir kali saya protes ke Si Penjual, dan langsung berjanji dalam hati untuk tidak lagi berbelanja di online shop satu ini.

Semakin banyaknya online shop yang bermunculan, saya pun semakin selektif dalam berbelanja online. Terhitung saya hanya berbelanja di 3 situs belanja terpercaya saja, itu pun setelah melalui proses seleksi dan perbandingan dengan online shopping-online shopping yang lain, dan kebetulan barang-barang yang ditawarkan di sana sesuai dengan selera saya, hihihik :mrgreen: . Pernah saking lapar matanya melihat koleksi barang yang mereka tawarkan, saya pun kalap, dan besoknya… saya puasa. Ter-la-luh! 😐 😆

Seperti hari ini pun, saya harus menahan diri untuk tidak membuka situs salah satu online shop (padahal email notifikasi up date-nya sudah terbuka di depan mata), pertimbangannya sih selain belum gajian juga karena ada prioritas lain yang jauh lebih penting dari sekadar belanja baju yang lucu-lucu itu. Ya sedang mencooba belajar jadi smart shopper, nih. Ihik! 😉

“Tapi tenang, kalau kita berjodoh, kalian pasti jadi milikku…”
*ngomong sama salah satu barang inceran*

Lhoh!

 

 

[devieriana]

sumber ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Ini Soal Kebiasaan

Sebenarnya ini cerita guyonan antara teman-teman kantor. Awalnya gara-gara beli sarapan kebetulan kok ya pikiran & moodnya sama pengen sarapan indomie rebus pake sayur sama telur. Ealah, kok ya sarapannya indomie-indomie juga ya. Rombongan kami berjumlah 5 orang. Sambil menunggu sarapan kami matang, ngobrollah sana-sini, becanda ini itu & setelah menunggu selama 15 menit akhirnya sarapn kami yang terlihat sangat yummy itu tiba (padahal cuma indomie, dirumah juga sering bikin). Kenapa ya kalau dibikinin selalu terlihat & terasa lebih enak dibanding kalau bikin sendiri? ;)) . Gak ah, saya bikin sendiri juga enak kok. Apalagi kalau nggak ada makanan lain, ya wis mau nggak mau makannya ya itu :))

Kalau soal menyantap makanan mungkin saya yang (selalu) paling cepat, sejak jaman jadi callcentre kayanya. Waktu, menjadi hal yang sangat diperhitungkan saat itu. Betapa tidak, semua serba terukur & terjadwal, mau makan, istirahat, shalat ad jadwalnya dan bergantian dalam jumlah tertentu supaya service level tetap terjaga. Ya itulah kalau kita bekerja di bidang pelayanan pelanggan.

Nah kebetulan ada teman yang ketika semua sudah selesai dia belum selesai dan kalau dilihat kok kaya masih utuh ya ;)) .
Teman 1 : ” Pak, kok makannya lama sih?”

Bapak : “yaa.. saya itu kalau makan harus saya kunyah 33x. Devi tuh, diliatin doang sama dia udah ilang lho makanannya..”

Saya : “jangankan makanan Pak, coba bapak periksa di saku bapak, dompetnya masih ada apa nggak?;)) ”

Bapak : “ah bisa aja kamu :)). Lho, iya’i.. dompet saya mana Dev? Tapi iya ya, mungkin Devi dulu karena orang callcentre ya, jadi makan serba terjadwal waktunya..” *sambil mengunyah & keseretan. Ambil minum*

Saya : “ah ya nggak gitu juga kok Pak, awalnya saya dulu pas kecilnya juga makannya lama. Trus tante saya yang suka nggertak-nggertak saya katanya makan itu cepet dikunyah, nanti biar giginya nggak rusak. Nggak tau ya hubungannya apa, tapi ya saya nurut tuh.. ;)) ”

Bapak : “pantes gigi saya item-item, gara-gara makannya lama ya?”

=)) . Itu sih karena bapak jarang sikat gigi aja kayanya :))

Sarapan yang penuh gelak tawa. Belum lagi si bapak itu masih cerita lagi ditengah kunyahan dan tampang kita yang menunggu dengan tidak sabar karena ditengah kunyahan itu diinterupsi dengan tergigitnya cabe rawit yang membuat muka si bapak itu merah kuning ijo menahan pedas :))

Bapak : “kita itu ya.. beda sama pegawai swasta. Kalau swasta kan waktunya sama kaya kita, tapi kerjaan banyak. Jadi makan tuh mesti cepet. Telat dikit aja kerjaan bisa nggak selesai. Nah kalau kita kan waktunya sama tapi kerjaannya kurang, jadi jangankan makan.. minum aja kalau bisa dikunyah 33x..” =))

Aduh ngakak saya dengernya. Konyol banget nih si Bapak. Itu guyonan ala PNS ya. Padahal kenyataannya ya nggak gitu-gitu amatlah. Wong saya aja kerjanya sudah muter kaya gasing kok. Belum selesai ini, sudah datang itu. Belum lagi yang ini urgent minta didahulukan karena mau tandatangan ke pejabat negara. Jadi ya nggak ada diemnya. Siapa bilang PNS (kaya saya) bisa kelayapan ke mall di jam kerja? Nggak bisa :(( . Ah tapi saya nggak jadi PNS atau pegawai swasta juga nggak pernah ngelayap ke mall di jam kerja kok. Serius :D. Karena menurut saya semua itu ada waktunya sendiri. Kapan mesti ke mall, kapan mesti dikantor. Bukan berarti kalau jam pelajaran..eh jam kerja lagi kosong trus main kabur ke mall. Kan semua itu masih bisa dilakukan pas jam pulang kantor.

“ah males lagi Dev, kalo pulang kantor bawaannya pengen pulang, istirahat, ketemu sama anak.. Kalau bisa ke kantor sambil belanja gitu kan enak..”
“ya kenapa nggak kerja di mall aja sekalian? kan enak tiap hari bisa ke mall, hehehe..”

Bukan mau sok tertib sih. Basilah ya kalau saya ngomong tentang ketertiban, hari gini gitu lho. Yang sudah bekerja pasti umurnya juga bukan anak-anak lagi, seharusnya sudah tahu mana yang bagus mana dan mana yang enggak kan? Nggak perlu lagilah didoktrin masalah ketertiban. Semuanya terpulang pada diri sendiri kok. Inget kan, dulu pas kita masih nganggur, ngoyo pengen banget dapat kerjaan. Sekarang sudah dikasih pekerjaan kok bawaannya pengen kabur melulu :p .

Eh, beneran ini nggak nyindir lho 😉 . Saya cuma ingin menggarisbawahi bahwa peraturan memang harus dibikin biar kita punya batasan dan aturan main yang jelas. Tapi soal nantinya setelah peraturan itu dibuat lalu kita mau patuh atau melanggar peraturan ya monggo, terserah pribadi masing-masing aja 🙂 . Toh nantinya reward & punishment juga pasti akan diberlakukan kan? 🙂

[devieriana]

Continue Reading