Sang Orangtua Tunggal

Ketika seseorang yang tadinya menikah lalu terpisahkan oleh oleh ajal atau selembar akte cerai, jika keduanya memiliki anak maka sebutannya adalah single parents. Ya, saya lebih suka menyebut dengan istilah “single parents”, ketimbang duda atau janda sekalipun ya memang itu benar status mereka  secara umum. Tapi secara konotasi kok saya merasa lebih nyaman dengan menyebut mereka seperti itu ya 🙂  . Siapa pun pasti tak pernah berharap menjadi orang tua tunggal (single parent). Keluarga yang lengkap dan utuh merupakan idaman setiap orang, ya kan?

Ok, saya nggak akan terlalu dalam membahas tentang sisi seorang single parents, mengupasnya sampai detail. Saya cuma ingin berbagi sebuah cerita yang buat saya menarik..

Saya punya teman seorang single parent yang masih muda. Usianya kini belum genap 25 tahun. Bukan.., dia bukan berpisah karena cerai, tapi suaminya meninggal ketika menjalankan tugas. Almarhum suaminya adalah seorang pilot, dan meninggalkan dia beserta si kecil yang waktu itu masih berusia 5 bulan. Lalu setelah kejadian yang menewaskan suaminya itu apakah lantas dia ber-mellow pillow sorrow, berlama-lama larut dalam kesedihan?

Tidak seperti yang kita bayangkan. Dia yang awalnya sempat down selama beberapa waktu, hanya kurun waktu sebulan setelah kejadian itu dia up lagi dan mulai menjalankan aktivitas seperti biasa. Kembali mencari pekerjaan, kembali berkarir sebagai karyawati.

Memang bukan hal yang mudah untuk begitu saja melupakan kejadian menyedihkan dan lalu larut dalam aktivitas seperti biasa. Tapi kalau dituruti justru malah bikin kita berlarut-larut dalam kesedihan bukan? Rupanya Tuhan memang sudah merencanakan segala sesuatu buat kita. Diberinya kita sesuatu/seseorang yang kita sayang, lalu seketika diambil begitu saja. Jelas bukan tidak ada maksud, justru hikmah dibalik dengan kejadian itulah yang membuat kita (insyaallah) jadi manusia yang lebih baik.

Kemandirian & ketegasan membentuk pola pikir & cara bertindak si ibu satu itu. Kemana-mana sendiri mengendarai mobil hitamnya. Mengatur keuangan sendiri, menyiapkan masa depan buah hatinya sendiri, membagi waktu & konsentrasi antara keluarga & buah hati yang masih balita. Bukan sebuah tugas yang mudah. Tapi saya justru salut melihat dia. Di usia semuda itu dia bisa menangani kehidupannya sendiri, tanpa harus tergantung pada orang lain, itu yang membuat saya salut. Ya memang sih terkadang orangtua kandung & mertuanya masih memberikan bantuan, tapi diluar bantuan itu dia berusaha sendiri. Dia mencoba berbisnis dengan teman semasa kuliahnya, untuk mendapatkan income tambahan. Jadi jika ada keperluan mendadak masih ada dana yang dicadangkan & bisa dipergunakan sewaktu-waktu ketika dibutuhkan.

Yang membuat kasihan kadang melihat “sepak terjangnya” sendirian terpikir untuk menyarankan dia mencari pasangan lagi. Karena di usia yang semuda itu, punya anak balita pula, dia masih membutuhkan figur suami & ayah bagi putri semata wayangnya. Seperti ketika dia harus mengurus ini itu kemana-mana sendiri, termasuk ketika si kecil mengalami panas tinggi & mendadak kejang (stuip) pukul 2 dini hari, dia harus buru-buru melarikan anaknya sendirian ke rumah sakit terdekat. Itu membuat saya trenyuh. Dia selalu berdoa, “Ya Allah, semoga anakku kalau demam nggak sampai stuip.. Kasihan dia..”. Karena menurut dokter stuip itu bisa terjadi pada anak usia 6 bulan s/d 6 tahun.

Dulu saya sempat tanya kenapa nggak tinggal sama orangtua saja sementara? Dia sendiri kurang setuju, karena orangtuanya di Bandung. Sementara mertuanya di Cijantung. Tinggal bersama orangtua akan membentuk mental dia bukan sebagai orang yang tegar & mandiri, karena apa-apa masih diurusin. Oh, saya langsung menciut. Saya yang terpaut 8 tahun sama dia mendadak kalah dewasa pemikirannya.

Tapi walau bagaimanapun seorang wanita masih membutuhkan kehadiran seorang lelaki yang akan melindungi dia & buah hati, yang kelak mampu menjadi contoh, pemimpin & kepala keluarga yang baik. Cinta kepada orang yang kita kasihi memang tidak akan pernah terganti. Namun segala sesuatunya perlu dikompromi ketika kita bicara masa depan & perkembangan psikologis sang buah hati..

[devieriana]

Continue Reading

Think Before You Speak

Dalam keseharian pasti kita pernah mengeluarkan kata-kata yang menurut kita lucu, tapi belum tentu buat orang lain juga sama maknanya dengan kita. Maksudnya menghibur tapi malah jatuhnya ngajak berantem. Hal-hal seperti inilah yang membuat kita harus lebih hati-hati dengan pernyataan atau bahkan jokes kita sendiri.

 

Masih ingat kan dengan “stop using words autis for your daily jokes”? Sudah lama saya meninggalkan kata-kata itu sebagai bahan becandaan. Bukan hanya kata-kata autis, tapi juga kata-kata lain yang berisi tentang ejekan untuk menunjukkan kekurangan orang lain. Baik itu fisik, mental, maupun status seseorang. Apa untungnya juga kita menggunakan bahasa-bahsa macam itu? Akankah kita akan jauh merasa lebih baik & sempurna setelah mengucapkannya? Apakah lantas derajat kita akan jadi lebih tinggi setelah menggunakan kata-kata itu sebagai guyonan sehari-hari? Bagaimana jika ternyata kita sendirilah yang menyandang segala keterbatasan & ketidakberuntungan itu? Apa yang akan kita rasakan ketika ada orang lain yang menggunakan bentuk kekurangan fisik/psikis kita sebagai lelucon? Perih, pedih, sedih, marah, tersinggung, atau justru legowo menerima dengan  pasrah? Selegowo-legowonya orang pasti masih akan tersembul rasa pedih ketika ada kekurangannya yang disinggung orang lain, apalagi digunakan sebagai lelucon atau cela-celaan.

 

Sebelum saya menuliskan inti tulisan ini, saya ingin bertanya, apa sih yang terlintas dalam pikiran Anda ketika mendengar kata-kata “JANDA”? Apakah mata Anda langsung membulat, imajinasi Anda berputar pada sosok wanita tanpa suami, yang masih muda, cantik, seksi, yang image-nya sering dilekatkan dengan perusak rumah tangga orang? Atau seorang sosok wanita tanpa suami yang tegar, berjuang sendiri membesarkan buah hatinya, pontang-panting mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup, berperan menjadi ayah & ibu sekaligus?

 

Beberapa hari lalu saya mendapati status facebook seorang teman yang merasa dilecehkan karena orang lain menggunakan status pernikahan (baca : janda) sebagai guyonan. Dia adalah seorang single mother sekaligus wanita karir yang cerdas dengan dua buah hati yang menjelang remaja. Sebut saja dia Mbak Cantik. Sebagai seorang ibu yang sangat tough menjaga keluarganya dia memang berjuang sendirian, tanpa didampingi oleh seorang suami. Kehidupan pernikahannya hancur ditengah jalan karena adanya prinsip yang sudah tak bisa lagi sejalan. Perannya sekaligus menjadi ibu & ayah membentuknya sebagai a half mother & a half father. Sosok ibu yang hangat & penyayang, sekaligus sebagai ayah yang melindungi & mencari nafkah.

 

Saya pribadi mengenalnya sebagai sosok yang keras & tegar. Jauh dari gambaran seorang “janda” yang image-nya di masyarakat selalu saja dikonotasikan negatif. Padahal siapa yang ingin hidup sendiri? Siapa yang dulunya menjawab ketika ditanya “apa cita-citamu?” dengan lantang menjawab “menjadi janda!”. Siapa yang sengaja memilih kehidupan perkawinannya tidak utuh, membesarkan buah hatinya sendiri tanpa didampingi seorang suami? Rasanya tidak ada. Semua pasti bercita-cita hidup secara complete, utuh, dengan didampingi seorang pasangan.

 

Lantas apa yang membuat beliau sedemikian marah? Lagi sensitifkah dia? Saya kurang tahu pasti, tapi yang jelas semua itu berawal dari celoteh salah satu presenter acara talkshow di TV yang sempat membuat jokes dengan kata-kata “janda”. Tentu saja lengkap dengan konotasi negatif yang sudah melekat didalamnya. Membuat seisi studio tertawa terpingkal-pingkal mungkin merupakan sebuah prestasi besar buat dia sebagai seorang presenter, komedian, entertainer. Tapi tak sadarkah dia bahwa leluconnya itu telah melukai hati seorang perempuan yang terpaksa harus hidup tanpa suami seperti Mbak Cantik tadi? Bersyukurlah dia yang keluarganya masih utuh. Tapi apa lantas sang presenter itu berhak mengeluarkan jokes semena-mena dengan kata-kata “janda” tadi? Well, katakanlah teman saya ini sedang sensitif, not in the good mood. Tapi saya juga tidak berhak untuk menyuruhnya diam, jangan protes. Itu hak dia untuk suka atau tidak suka dengan lelucon yang sebenarnya tidak lucu untuk dijadikan bahan tertawaan.

 

Tidak ingin menggurui siapapun, hanya sekedar ingin mengajak Anda semua berbagi, berpikir, merenungkan. Sudah sempurnakah kita sebagai manusia? Kepuasan macam apakah yang sebenarnya kita cari ketika berhasil mentertawakan kekurangan & ketidaksempurnaan orang lain? Apakah setelah kita berhasil mengajak orang lain tertawa dengan apa yang kita pikir lucu padahal bodoh itu lantas akan membuat derajat kita jadi lebih tinggi daripada orang yang kita hinakan? Apakah kita tahu bagaimana sulitnya menjadi seorang single mother yang berjuang menghidupi buah hatinya? Hidup ditengah terpaan & cibir miring akan stereotype yang sudah terbentuk dalam masyarakat kita tentang status seorang “janda”. Belum lagi media yang juga ikut menambah kuat image “janda” sebagai sosok penggoda rumah tangga orang. Memang, kalau mau cuek, nggak usah mikirin, sebodo teuing juga bisa. Tapi apa yang bisa kita lakukan sebagai sosok diluar beliau? Apakah kalau beliau cuek-cuek saja berarti hatinya ikhlas menerima? Apakah kalau dia juga ikut tertawa hatinya juga demikian adanya? Belum tentu, teman. Dalamnya laut memang bisa kita ukur, tapi dalamnya hati manusia siapa yang tahu?

 

Semoga ada hal baik yang bisa kita ambil & renungkan bersama. Sehingga kedepannya kita bisa lebih bijaksana dalam berbuat & berkata-kata. Terutama sebelum kita melontarkan pernyataan atau lelucon untuk orang disekitar kita…

 

Think your thoughts & choose your words carefully

 

 

[devieriana]

 

Continue Reading