Kisah Bapak Tua dan Sejarah Masa Lalu

Di pagi menjelang siang hari ini, ada seorang bapak tua yang berbaju rapi, berpeci hitam, berjaket hitam yang di sisi dada kanannya terbordir logo Veteran Republik Indonesia, dan dada jaket sebelah kiri terbordir gambar lingkaran bendera beberapa negara, datang ke biro saya. Bapak itu sebenarnya sudah pernah ke kantor beberapa waktu yang lalu untuk menyampaikan berkas surat berkaitan dengan dirinya. Kalau dibaca, surat beliau alur ceritanya ‘lompat-lompat’, maksudnya tidak kronologis, kurang runut, dan sedikit membingungkan. Tapi kalau mendengarkan cerita beliau, saya agak pahamlah maksudnya.

Bapak itu curhat sekitar 30 menit; kelihatannya sebentar ya, tapi kalau 30 menit itu untuk mendengarkan orang bercerita tentang sejarah dan setengah marah-marah itu kok agak gimana, ya. Mau memotong nggak tega, kalau didengarkan kok ya kerjaan pas banyak. Tapi ya sudah, hitung-hitung nostalgia jadi customer service-lah. Kalau marah-marah sih sebenarnya beliau bukan marah sama saya, tapi sama pemerintah, sama pelaku sejarah lainnya yang menurut beliau tidak semestinya berbuat ‘dzalim’ (kepada beliau), tidak seharusnya mengubah, menghilangkan, dan memodifikasi sejarah seenak perut. Masih menurut cerita beliau, dulu beliau adalah orang dekat Presiden Soekarno. Tapi karena satu dan lain hal beliau tidak bisa lagi dinyatakan sebagai pegawai negeri, dan bahkan dinyatakan sebagai anggota komunis. Kesal, sedih, marah, dan kecewa, itulah yang dirasakan bapak ini, karena melekatnya label komunis itu menjadikan bapak itu tidak lagi bisa mendapatkan hak-hak keuangannya.

Emosional, itu yang saya tangkap dari sepanjang cerita di pertemuan pertama dan kedua ini. Ya wajarlah, siapapun tidak ada yang mau bernasib seperti itu. Tapi ‘ajaibnya’ ekspresi emosional itu bisa seketika lumer ketika beliau bercerita tentang keluarga; isteri, anak, dan cucu. Pun ketika beliau bertanya tentang anak dan keluarga saya nadanya berubah menjadi jauh lebih hangat.

Seperti halnya keluarga yang lain, semenjak tidak lagi mempunyai pekerjaan tetap, beliau tetap berusaha memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, suami, dan kepala keluarga yang baik. Demi cintanya kepada keluarga, demi memberikan pendidikan yang layak kepada kedelapan buah hatinya, akhirnya menjadi seorang supir taksi adalah pilihan pekerjaan selanjutnya. Hasil jungkir baliknya sebagai seorang supir taksi itu tidak sia-sia, karena selain beliau bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, beliau juga bisa membeli tanah di sekitaran Pancoran. Tapi dari semua itu ada saat yang membahagiakan sekaligus membanggakan; ketika dia bisa menuntaskan pendidikan kedelapan putra/putrinya. Bahkan matanya tampak berbinar ketika menceritakan keberhasilannya mengantarkan salah satu putra/putrinya menjadi dokter spesialis kandungan.

Entah kenapa, ketika mendengarkan kisah hidup bapak itu, terlepas dari benar tidaknya cerita yang sudah disampaikan, mata saya tiba-tiba terasa panas dan berair. Terharu. Saya membayangkan sosok di depan saya ini adalah Papa saya. Seorang yang sudah setua ini masih harus jungkir balik memperjuangkan keadilan atas hak-haknya sebagai manusia, dan meluruskan apa yang dia ketahui tentang sejarah. Dia tidak lagi peduli ketika berkas-berkas dan laporannya itu masuk dalam klasifikasi surat yang tidak ada harganya oleh berbagai instansi. Menurutnya, selama it worth fighting for, semua akan dijabanin.

Di akhir ‘sesi’ curhat, sambil memasukkan kertas-kertas yang tadinya dikeluarkan untuk ditunjukkan pada saya, bapak itu berpesan,

“Buat kamu, buat siapapun yang menerima kunjungan saya di setiap instansi, saya selalu berpesan. Siapapun kalian, apapun jabatan dan pekerjaan kalian, lakukan semuanya dengan hati, dengan tulus, ikhlas. Berikan yang terbaik untuk bangsa ini. Sisa umur saya paling tidak lama, tapi selama saya mampu, sebelum saya mati, saya ingin apa yang saya perjuangkan ini ada hasilnya, ada titik terangnya. Satu saja cita-cita saya, saya ingin orang Indonesia bisa tahu sejarah bangsa mereka yang sesungguhnya; bukan hasil rekayasa seperti yang sekarang ini kalian pahami. Itu saja…”

Suaranya sedikit parau. Tenggorokan saya tiba-tiba tercekat, tak mampu berkata-kata.

“Saya pamit dulu. Terima kasih sudah diterima baik di sini. Salam buat keluargamu ya, Devi… MERDEKA!”

Saya pun tersenyum. Mau tak mau, saya pun mengepalkan tangan kanan saya sambil berujar hal yang sama, “Merdeka!”

Hati-hati di jalan, Pak. Semoga Tuhan senantiasa menyertai segala usaha, dan perjuanganmu…

 

 

[devieriana]

Continue Reading

Suatu sore di belakang Setiabudi Building

Sore itu jalanan di belakang Setiabudi Building itu lengang, basah setelah diguyur hujan sejak siang tadi. Lelaki renta yang bungkuk itu berdiri di pinggir jalan di samping plastik besar yang berisi barang pulungannya. Kakinya telanjang, bajunya kumal & berlubang. Usianya mungkin sekitar 70an. Badannya kecil, tulang belulang & tubuhnya yang ringkih mengintip di sela bajunya yang compang-camping. Dia diam sambil tertunduk, bertahan dengan penyangka tongkat ditangan kirinya, menggigit bibir bawahnya seolah sedang menahan sakit yang luar biasa. Ya, kaki kanannya dibebat perban warna coklat, kakinya timpang. Badannya seolah ingin menumpu pada tongkat yang dipegang di tangan kanannya. Dia sendirian. Dia kesakitan. Entah apa yang sedang dirasakannya. Nyeri? Perih? Ngilu?

Saya berlalu. Walau sejurus kemudian saya kembali menoleh, jauh setelah saya meninggalkannya sendiri. Aduh, kenapa sih saya ini? Lambat sekali otak saya bereaksi. Kenapa setelah jauh saya baru ingin kembali?

“mas, kamu lihat bapak yang tadi gak?”, tanya saya pada suami yang menjemput saya sore tadi
“kenapa? kamu mau ke bapak itu?”, tanyanya. Ah dia bisa membaca pikiran saya rupanya..
“iya.. kasian dia mas, kaya orang kesakitan gitu. Sudah tua, sendirian pula. Mas keberatan gak kalau kita berbalik arah?”
“ya udah kita balik ke bapak tadi yuk..”

Ketika saya sampai di tempat bapak tua itu, posisinya ternyata masih sama. Menunduk dengan salah satu kaki setengah diangkat bertopang pada kayu yang dipegangnya sambil menahan sakit. Tas plastik besar itu masih teronggok di samping trotoar belakang Setiabudi Building. Saya turun dari motor, menghampiri dia. Saya raih pelan tangannya ..

“Pak, ini buat Bapak.. buat beli makan ya pak..”, saya menggenggamkan beberapa lembar uang ke tangannya yang dingin. Dia menatap saya seolah tak percaya. Mendadak matanya berkaca-kaca, dia menangis..Ya menangis, tergugu, sambil mengucap alhamdulillah berkali-kali.. Airmata saya meleleh pelahan. Dia menggenggam tangan saya, tulus dia berkata, “terimakasih banyak Neng, alhamdulillah, Allahu akbar.. Alhamdulillah ya Allaah..Neng, ..”, dia masih menggengam tangan saya. Saya meraih bahunya, menepuknya perlahan, “maaf ya pak, saya mungkin ngasihnya ga banyak.. “, bisik saya pelan, bingung & tak mampu lagi berkata-kata..
“Ya Allah.. terimakasih banyak Neng. Bapak doakan Neng dapat berkah yang banyak ya.. Semoga Allah memberikan segala kemudahan buat Neng.. Alhamdulillah ya Allah”, serunya parau sambil tak henti-hentiย  mengucapkan alhamdulillah & mendoakan kami. Kali ini airmatanya meleleh deras..

Saya menangis, kami bertiga menangis di pinggir jalanan yang sepi. Entah kenapa tidak ada seorang pun yang melintas saat itu. Mungkin salah satu cara Tuhan menyampaikan rezeki untuk bapak itu melalui kami ya.

Ini bukan cerita fiksi atau rekayasa. Pengalaman pribadi saya sore tadi selama beberapa menit bersama seorang bapak tua yang miskin & (sepertinya dia sedang) sakit ๐Ÿ™ . Belum pernah sekalipun selama hidup saya mengalami kejadian seemosional ini dengan orang asing yang entah itu pemulung atau pengemis.ย  Selama ini kalau pengen ngasih ya sekedar ngasih, ngga pakai nangis, mewek, apalagi sampai meninggalkan kesan yang mendalam seperti tadi. Sepanjang jalan sampai di rumah saya masih menangis. Cengeng banget ya? Sedikit menyesal karena saya hanya bisa memberinya uang sekedarnya, mungkin nilainya tak seberapa.. ๐Ÿ™

Jujur saya jadi malu pada diri saya sendiri. Seolah barusan Allah menyadarkan saya, betapa beruntungnya saya telah diberi kemudahan dalam mencari rezeki, kesehatan, kesempatan baik, keluarga & teman-teman yang menyayangi saya. Seperti merasa ditampar, ketika saya banyak mengeluh, terlalu banyak menuntut, kok sepertinya kurang bersyukur sekali saya ini..

Ah, jadi kangen sama kedua orangtua saya nih .. ๐Ÿ™

[devieriana]

Continue Reading