Penari Trotoar

penari trotoar

Hampir di setiap Jumat, ketika shuttle bus yang saya naiki berhenti di depan trotoar Sarinah-Thamrin, saya selalu melihat lelaki paruh baya ini sedang menari. Penampilannya khas; surjan lurik, celana hitam longgar, blangkon, kacamata hitam, dan kadang dia juga menggunakan sampur (selendang) berwarna hitam yang dililitkan di pinggang. Lelaki ini menari dengan gemulai, ditambah dengan ekspresi wajah yang ceria dan jenaka, diiringi dengan gending/langgam Jawa yang mengalun dari seperangkat stereo yang ditumpangkan di atas motornya. Terlihat sebuah botol plastik berisi air minum yang menemaninya menari.

Kalau bertemu dengan penari jalanan yang berkelompok sih sudah lumayan sering. Dulu, mereka sering lewat di depan gang rumah; berhenti dari warung makan yang satu ke warung makan yang lain, dari toko yang satu ke toko yang lain, dan seterusnya. Biasanya dalam satu kelompok terdiri dari 1-2 orang penari yang mengenakan kostum tari. Dandanan mereka pun lumayan niat, karena mereka berdandan seolah akan pentas di sebuah panggung. Rambut yang tersasak dan bersanggul rapi dengan selipan bunga mawar dan roncean melati artifisial yang diuntai di sanggul mereka, kemben dan jarid wiron yang membungkus torso mereka, ditambah dengan sampur transparan dengan ujung bermote yang diikat di pinggang. Make up mereka pun ‘lengkap’, ala pertunjukan panggung. Biasanya di belakang para penari ini ada seorang pria yang membawa semacam tape recorder yang menyetel gending tari bagi penari di depannya. Apakah mereka menari for free? Tentu tidak. Pertunjukan keliling itu adalah salah satu cara mereka bertahan hidup di ibukota; cara mengamen dengan gaya yang berbeda. Ya, selama ini mengamen itu selalu diidentikkan dengan menyanyi, padahal tidak semua orang bisa menyanyi. Itulah mengapa orang-orang dengan nyali dan kemampuan lebih ini memilih untuk menari di jalanan.

Namun ada yang sedikit berbeda dengan lelaki yang satu ini. Dia selalu tampil sendiri, tidak berkelompok. Kalau dia sedang menari di depan Sarinah, dan kebetulan bus saya sedang berhenti untuk menaikkan penumpang, selalu saya sempatkan untuk menikmati tariannya walaupun cuma sebentar, karena bus saya harus segera jalan.

Uniknya lagi, selalu ada tulisan yang sengaja diletakkan di badan motornya agar terbaca oleh orang lain. Tema tulisannya pun berganti-ganti, misalnya: “Hiburan Tombo Stress”, “Melestarikan Budaya Bangsa”, “Kesenian zaman kuno jangan dilupakan. Milik bangsa Indonesia terbaik di dunia”, dan beberapa tulisan/pesan lainnya.

Kalau dilihat dari keluwesannya menari, kostum yang digunakan, dan musik yang dipilih untuk mengiringinya menari, sepertinya beliau ini bukan asli penduduk Jakarta; mungkin pendatang dari Jawa Timur atau Jawa Tengah.

Seolah tidak peduli dengan tatap mata orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya, dia terus menari walaupun peluh membasahi sebagian wajah dan tubuhnya. Bahkan tak jarang dia melempar senyum ramah kepada beberapa orang yang berjalan sambil lalu di depannya sambil melihatnya menari.

Mungkin karena singkatnya waktu yang saya miliki untuk mengamati penari yang satu ini, hingga sampai sekarang saya belum paham dengan motivasi beliau menari. Apakah untuk menunjang ekonomi keluarga, atau hanya untuk faktor yang lain, misalnya penyaluran hobby atau murni untuk hiburan. Ah, tapi kalau untuk hiburan semata kok sepertinya bukan, ya? Hari gini, di Jakarta pula?

Anggap saja dulu ini adalah salah satu cara beliau untuk mencari nafkah dan bertahan hidup di Jakarta. Lelaki paruh baya ini membuat saya tercenung. Bukan hanya buat beliau; mungkin buat semua kaum pendatang di ibukota; Jakarta masih menjadi salah satu magnet bagi para pengejar mimpi, karena di sinilah mereka menggantungkan harapan tentang kehidupan yang jauh lebih baik ketimbang di kampung halaman. Di sinilah mereka rela berjungkir balik melakukan apapun untuk bertahan hidup dan meraih mimpi, dengan mengandalkan segenap kemampuan yang mereka miliki. Memang tak selalu harus bekerja disektor formal memang; tapi ketika ada celah yang bisa menampung kreativitas mereka, di situlah mereka akan mengais rezeki.

Terlepas dari apapun motivasi Bapak menari di atas trotoar; saya salut sama Bapak. Di usia Bapak yang mulai menapak senja, Bapak masih gigih mencari nafkah di jalur yang halal. Bapak juga masih punya semangat untuk mempertahankan budaya bangsa melalui tarian-tarian Bapak (walaupun bisa dimaklumi gerakannya tentu saja jauh dari pakem dasar sebuah tari). Tapi ah, apalah arti sebuah pakem tari, toh tak semua orang adalah penari dan paham pakem sebuah tarian, bukan? Satu hal yang membuat saya tetap salut sama Bapak. Bapak bukanlah peminta-minta yang cuma menengadahkan tangan, berharap akan jatuhnya iba dari orang di sekeliling Bapak. Semoga hasil keringat dan kerja keras Bapak tidak pernah sia-sia, dan senantiasa bermanfaat bagi keluarga Bapak di rumah.

Terus menari ya, Pak! 😉

[devieriana]

 

Continue Reading

Bangku Taman

bangku taman 1

Sudah sejak bulan Oktober tahun 2013 di di sepanjang trotoar jalan protokol di Jakarta dihiasi oleh bangku-bangku taman yang sandarannya terbuat dari kayu jati dipadu dengan besi cor yang dicat putih. Tampak indah dan tidak mengganggu pemandangan.

Saya sendiri baru merasakan manfaat keberadaan bangku-bangku taman itu ketika akhir-akhir ini saya lebih suka naik shuttle bus milik salah satu mall dibandingkan Transjakarta yang uyel-uyelan. Jadwal shuttle bus lewat depan kantor saya sekitar pukul 16.00-16.30/16.45-an, jadi ya lumayanlah kalau berdiri selama 30-45 menitan. Jadi, kalau cuaca sedang cerah, daripada saya terlalu lama berdiri di depan gerbang kantor, saya sering berjalan kaki menuju ke arah Monas untuk menunggu sambil duduk di bangku taman 😀

Lumayan nyaman, karena saya bisa menunggu bus sambil membaca buku atau mendengarkan musik. Deretan pohon yang teduh dan trotoar yang lebar juga menambah kenyamanan bagi siapa saja yang duduk di sana. Apalagi di daerah Sudirman-Thamrin, jika jam pulang kantor, bangku-bangku taman tersebut penuh diduduki oleh para pekerja yang pulang kantor dan sedang menunggu jemputan/bus sambil mendengarkan musik di earphone, membaca buku, atau mengobrol. Kapasitas bangku tersebut sekitar 3-4 orang.

Tapi sayangnya di sekitaran Monas itu sepertinya jarang tempat sampah, deh. Alhasil sampah-sampah sering terlihat teronggok begitu saja di sekitaran bangku taman. Sayang banget, kan?

Oh ya, ada sedikit pemandangan ‘aneh’ di sekitaran Museum satria Mandala dan Gedung Telkom Merah Putih tadi pagi. Ternyata salah satu bangku itu yang sandarannya hilang. Hihihihi, kok bisa, ya? Iya, sandaran kayu yang tertempel di besi cor itu hilang, sekaligus besi cor-coran sandarannya. Semoga yang duduk di sana tidak bersandar, ya. Nanti nggeblag ke belakang gimana… :mrgreen:

Lha iya, besi dan kayunya bangku taman saja bisa hilang, apalagi kalau bangku tamannya dikasih nyaman-nyamanan berupa bantal, ya.. :mrgreen:
*dianggap sofa ruang tamu*

[devieriana]

Continue Reading