Tentang Penerimaan Diri

Beberapa waktu lalu, ada obrolan menarik antara saya dan Alea. Tentang konsep penerimaan diri, dan tentang kalah atau menang. Wah, sepertinya sedikit berat ya untuk obrolan dengan anak TK. Mmmh, tapi tidak seberat yang disangka, kok.

Dulu, Alea bukan anak yang bisa menerima kekalahan. Apapun itu dia yang harus jadi pemenangnya. Kalau sampai kalah, dia akan ngambeg, nangis, atau justru blaming ke teman yang menang. Dan itu terjadi berkali-kali, sejak sebelum dia sekolah hingga awal TK nol besar. Awalnya kami mengira mungkin karena di rumah hanya dia sendiri yang anak-anak, belum ada ‘temannya’ alias adik.

Di sesi Parents & Teachers Meeting, saya dan suami selalu diberi tahu bagaimana perkembangan dan keseharian Alea di sekolah ketika bergaul dengan teman maupun guru. Dan hasilnya masih sama. Banyak cerita ngambegnya, masih kurang percaya diri, dan PR lainnya yang menjadi tugas kami sebagai orang tua untuk memperbaiki.  

Sampai akhirnya saya berkesempatan menjemput dia pulang sekolah, dan ngobrol banyak setelahnya. Iya, ngobrol bareng anak TK. Sebenarnya Alea itu anaknya enak kalau dinasihati asal suasana hatinya pas. Karena kalau kurang pas, pasti akan ada pembelaan sana-sini dulu sebelum akhirnya mengiyakan atau menerima nasihat dari saya, suami, atau eyangnya. 

Seperti misalnya ketika kami ngobrol soal kalah-menang di sekolah.

Kalah menang itu hal biasa, Alea. Apalagi kalau pas lomba, pasti ada yang kalah. Kalau menang semua, bukan lomba, dong.”

“Tapi Alea nggak suka kalau mereka yelling, Mommy!”

“Maksudnya bukan yelling kali, ya. Tapi itu ekspresi kegembiraan, saking happy-nya. Gapapa, semua juga pasti akan begitu kalau menang. Alea masih inget nggak pas Papa dan papanya temen-temen Alea ikut lomba tarik tambang di sekolah kapan hari? Kan mereka menang tuh, gimana? Happy, nggak?”

Dia mengangguk. Tapi matanya mulai memerah menahan tangis yang nyaris tumpah. 

Happy, kan? Terus papa-papa yang kalah gimana? Marah-marah? Nggak, kan? Biasa aja, kan? Malah ketawa-ketawa karena mereka jatuh rame-rame. Ya begitulah, namanya juga permainan. Trus, Alea masih inget nggak video pas Mama sama temen-temen choir Mama menang? Sampai jingkrak-jingkrak, teriak-teriak, dan sampai ada yang nangis juga, kan? Ya gitu emang ekspresi kalau kita menang. Saking happy-nya, Nak…”

Dia diam, walau air matanya masih mengalir di pipinya. 

“Trus, ada lagi… Alea inget kan pas Mama gambar-gambar desain baju buat ikut lomba? Itu Mama nggak menang, lho. Mama kalah. Tapi ya gapapa, Mama santai aja. Kan masih ada lomba-lomba lain yang bisa Mama ikuti nanti.”

Lagi-lagi dia diam, tapi saya percaya sedang ada proses mencerna dan berpikir di situ. Kadang kalau sedang ngobrol sama Alea ya seperti ngobrol biasa saja. Bukan seperti ngobrol dengan anak TK. Bedanya saya beri contoh-contoh sederhana yang mudah dibayangkan olehnya. 

Dan pernah suatu ketika, ketika saya baru pulang dari Pekan Kebudayaan Nasional di GBK, sambil menunjukkan video di handphone, saya (pura-pura) mengadu ke Alea. Sambil ingin tahu bagaimana responnya.

“Alea, tadi kan Mama ikut lomba bakiak. Tapi, Mama sama temen-temen Mama kalah. Mama sedih…”

Responnya adalah, 


“Jangan sedih, Mama. Kalah itu gapapa. That’s okay.”

Dia bangun dari duduknya, dan memeluk saya. Seolah memberi suntikan semangat supaya saya tidak sedih lagi. Hiks, jadi terharu 🙁 

Alhamdulillah, ternyata inti obrolan kapan hari sampai juga maksudnya ke Alea. 

Ada juga baiknya perlu disampaikan kepada anak-anak bahwa hidup itu bukan hanya tentang hal-hal yang menyenangkan saja. Sebaliknya ada kalanya kita akan akan mengalami pasang surut, kekecewaan, kesedihan, dan penolakan.

Untuk anak-anak seusia Alea yang pemahamannya masih terbatas, bisa disampaikan dengan bahasa yang sederhana supaya bisa lebih mudah dicerna. Sekaligus disertai dengan contoh-contoh yang pernah kita alami, dan bagaimana kita menghadapi hal tersebut. Dengan demikian anak akan bisa melihat dua hal sekaligus. Pertama, hal ini memungkinkan mereka melihat kita sebagai role model positif. Kedua, menunjukkan kepada anak bahwa situasi yang sama juga bisa terjadi kepada orang lain.

Tidak perlu menuntut terlalu banyak agar anak berubah cepat sesuai seperti yang kita mau. Sama seperti orang dewasa, anak pun butuh waktu untuk mencerna apa yang kita inginkan, sifat apa yang harus dia ubah, atau bagaimana dia harus bersikap jika suatu hal terjadi. 

Satu hal penting yang kita perlu kita terima bahwa kita tidak sempurna, dan tantangan adalah bagian dari perjalanan hidup. Dan yang paling penting dari semua itu adalah bagaimana cara kita memandang dan merespon mereka.

— devieriana —

ilustrasi diambil dari sini

Continue Reading

Ketika Alea Ikut Ke Kantor

 

Sesungguhnya, membawa anak ke kantor ketika sedang tidak ada support village itu bukan perkara mudah. Apalagi jika itu dilakukan setiap hari selama hampir satu bulan setengah. Banyak cerita yang ‘nano-nano’ ketika membawa anak ikut ke kantor. Tapi bagaimanapun, profesionalisme baik sebagai ibu maupun sebagai pegawai kantoran harus tetap dijaga. Risiko seorang ibu bekerja.

Bukan kali pertamanya saya membawa Alea ke kantor. Sejak Alea balita pun sudah pernah ikut saya ke kantor kalau kebetulan eyangnya harus pulang selama beberapa waktu. Terhitung sudah hampir satu bulan ini Alea saya bawa ke kantor karena eyangnya sedang umroh, plus akungnya juga sedang sakit di Surabaya, jadi otomatis Alea tidak ada yang menjaga/mengasuh.

“Emangnya nggak ribet bawa anak ke kantor?” Pertanyaan itu pasti ada. Jawabannya, ya awalnya pasti ribetlah. Tapi dinikmati saja. Salah satu proses ribetnya menjadi orangtua bekerja itu ketika anak tidak ada yang menjaga di rumah, alternatif solusinya kalau nggak orangtuanya yang cuti, ya anaknya yang dibawa ke kantor. Nah, berhubung saya tidak memungkinkan mengambil cuti sampai sebulan lamanya, ya Alea saya bawa ke kantor. Ribet dikit nggak apa-apalah. Alhamdulillah sejauh ini Alea nggak pernah rewel sih anaknya.

Salah satu cara supaya anak tetap betah di tempat kerja orangtuanya itu mudah saja. Penuhi dulu apa yang jadi kebutuhannya. Bawakan makanan dan mainan favoritnya, insyaallah anak akan nyaman. Tapi sebenarnya hal penting lainnya adalah lingkungan kerja (orangtua) yang nyaman, sih. Jujur ruangan kerja saya sebenarnya tidak nyaman untuk ukuran anak-anak. Penuh berkas, sempit, dan tidak ada lucu-lucunya. Tapi justru di situlah seninya. Semuanya tergantung bagaimana kita menjadikan anak tetap betah sampai waktu pulang tiba.

Nah, selama membawa anak ke kantor ada cerita seru apa? Oh, banyak. Tapi ada satu moment yang tidak akan saya lupakan, yaitu membawa Alea ke acara pelantikan. Deg-degan nggak, tuh? Super!

Dari awal ketika saya tahu kalau akan ada pelantikan pejabat Administrator dan Pengawas pada tanggal 2 Mei 2018, hati saya sudah gamang. Sebagaimana diketahui, hampir di setiap acara pelantikan atau acara-acara lainnya, atasan berkenan meminta saya untuk menjadi pembawa acara. Kalau saya dalam kondisi normal, sedang tidak membawa bocah sih cincay saja. Tapi jelas akan lain cerita ketika saya harus membawa Alea ke sebuah acara yang superformal. Memandu acara tentu jadi saat yang sedikit deg-degan dan mengkhawatirkan.

Durasi acaranya sih cuma 30 menit, tapi sepanjang 30 menit itulah khidmat-khidmatnya acara pelantikan. Apalagi pelantikannya dipimpin langsung oleh Menteri Sekretaris Negara. Kebayang bagaimana khawatirnya saya, kan? Memandu acara sekaligus mengawasi anak.

Jujur, saya was-was. Walaupun Alea sudah saya brief sejak beberapa hari sebelum hingga menjelang acara berlangsung, tetap saja pada praktiknya tidak semudah itu bagi balita usia 3 tahun 10 bulan itu. Apalagi ketika harus berada di tengah-tengah orang asing yang berkumpul dalam satu ruangan. Ketidaknyamanan itu menyergap Alea bahkan sejak awal masuk Gedung 3, menuju foyer Aula Serbaguna

Alea adalah anak yang tidak bisa langsung akrab dengan orang baru. Apalagi jika jumlahnya langsung banyak. Jangankan dicolek, ditanya siapa namanya saja, dia enggan menjawab. Apalagi kalau yang bertanya itu bukan orang yang dikenal. Itulah mengapa saya hanya bisa mempercayakan Alea ke beberapa teman yang kebetulan sudah dekat dengan Alea, untuk mem-back up saya.

Sebelum acara dimulai, saya cium kening Alea, usap kepalanya, dan bisikkan ke telinganya, “Nak, Mama tugas dulu sebentar, ya…”

Sepanjang acara berlangsung, doa dan wirid tak henti-henti saya baca dalam hati. Semoga Alea tidak rewel selama acara berlangsung. Mungkin terdengar egois, ya. Bagaimana mungkin saya menuntut seorang balita untuk bisa memahami acara orang dewasa yang sedang saya pandu. Bagaimana mungkin saya menuntut Alea bersikap sama dengan orang dewasa lainnya, sementara jiwanya jiwa main-main. Saya paham sebesar apa risiko yang harus saya tanggung kalau saya berani membawa Alea ke dalam ruangan pelantikan. Saya harus siap menghadapi risiko tak terduga misalnya Alea tiba-tiba rewel di tengah acara. Tapi entah kenapa, dalam hati saya yang paling dalam, saya percaya kalau Alea memahami tugas ibunya, dia paham kata-kata saya. Mungkin feeling seorang ibu, ya.

Lima menit pertama, aman. Sepuluh menit, lima belas menit berikutnya, aman. Dua puluh lima menit, hingga tiga puluh menit lengkap, alhamdulillah aman.

Luar biasa, Alea! Terima kasih, Nak…

Selama 30 menit itu Alea tidak rewel, tidak uring-uringan. Dia konsen dengan film Mini Mouse di gawai saya, hingga akhir acara. Konon, memberikan gawai kepada anak, sebenarnya kurang baik efeknya. Tapi bagi sebagian orangtua memberikan anak tontonan di gawai mungkin bisa menyelamatkan keadaan ketika dibutuhkan. Tentu saja untuk sementara waktu.

Lalu sudahkah itu saja? Berikutnya, ketika saya diminta mengajar tentang MC dan dirigen oleh Kementerian Sosial di Royal Amarroossa, Bogor. Dilema lagi, kan? Tidak mungkin saya mengajak Alea selama mengajar di kelas, sekalipun itu cuma mini class yang pesertanya cuma 10 orang. Akhirnya, senjata terakhir saya gunakan. Saya minta bantuan adik saya untuk menjaga Alea sementara saya pergi ke Bogor selama setengah hari. Alhamdulillah, adik saya menyanggupi. Pun, ketika saya harus bertugas sebagai pembaca saritilawah di acara buka bersama di lingkungan Sekretariat Lembaga Kepresidenan beberapa waktu lalu. Walaupu ada drama-drama sedikit, tapi alhamdulillah teratasi.

Kalau jadi petugas upacara Hari Kebangkitan Nasional, saya sudah izin belum bisa bertugas sebagai pembawa acara, karena akan lebih tidak mungkin lagi kalau saya harus membawa Alea ikut dalam upacara yang durasi dan prosesinya lebih lama daripada pelantikan.

Bersyukur punya atasan dan lingkungan yang sangat suportif dan kooperatif menyikapi para ibu bekerja yang dalam waktu tertentu terpaksa harus membawa anak mereka ke kantor.

Bagaimana dengan kalian? Adakah moment deg-degan ketika harus membawa Si Kecil ke kantor?

 

[devieriana]

Continue Reading

(Ada Saat) Harus Menahan Diri

Dulu, ketika saya masih belum punya momongan, di sebuah perjalanan pulang bersama dengan seorang teman, dia sempat bercerita tentang sesuatu yang sampai sekarang masih saya ingat dan saya jadikan pelajaran.

Si teman pernah mengeluh betapa dia sangat menyesalkan sebuah kejadian di masa lalu bersama mantan pasangannya yang saat ini sudah berpisah; saat mereka masih berstatus suami istri dengan ego yang sama tingginya, dan sering tanpa sadar bertengkar di depan anak-anak mereka yang masih balita.

Kalau sudah bicara masalah anak, sama saja bicara tentang salah satu concern dalam kehidupan saya. Si teman bercerita, pernah suatu hari, dia dan suaminya sedang bertengkar hebat di dalam mobil dengan kondisi anak-anak sedang ada bersama mereka. Emosi yang tidak terbendung itu menghasilkan kalimat dan umpatan yang sangat tidak nyaman untuk didengar. Di tengah emosi yang tengah memuncak itu mereka sempat tidak sadar bahwa ada anak-anak mereka yang sedang duduk meringkuk berpelukan di jok belakang, menunduk ketakutan mendengar kedua orang tuanya beradu mulut. Di situlah baru muncul rasa penyesalan yang sangat besar di antara keduanya. Iya, penyesalan memang selalu datang belakangan.

Demi ‘menghapus’ memori menakutkan itu, keduanya berusaha ‘membayar’ dengan memberi lebih banyak waktu untuk bersama; mulai menemani mereka bermain/belajar, mengantar mereka sekolah/les, membelikan mainan/makanan favorit, dan kegiatan lain yang bisa mempererat kebersamaan mereka sebagai keluarga. Dan itu masih terus mereka lakukan hingga saat ini, pun ketika mereka sudah tidak lagi terikat status sebagai suami istri.

Mendengar cerita itu, saya langsung sedih, membayangkan bagaimana anak-anak mereka ketakutan, saling memberikan perlindungan dengan cara memeluk satu sama lain.

Sejak mendengar cerita itu, saya punya komitmen bersama suami, kelak ketika kami sudah dikaruniai anak, sebisa mungkin tidak akan bertengkar, berkonflik, atau mengeluarkan kata-kata kasar di depan anak-anak kami, karena kami sadar bahwa trauma atau ingatan seorang anak itu akan terbawa hingga dia tumbuh kembang dewasa.

Begitu pula ketika ada teman lainnya yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Hal pertama yang saya tanyakan adalah, “ada anak-anak nggak pas kamu mengalami KDRT? Mereka lihat, nggak?”. Jawabannya adalah, “kebetulan pas ada, Mbak. Karena posisinya aku pas lagi ada sama anak-anak…”. Makjleb! Langsung sedih. Membayangkan bagaimana rekaman kekerasan yang dialami/dilakukan oleh orang tuanya itu akan terbawa hingga mereka dewasa nanti.

Selain kekerasan fisik maupun verbal, ada hal lain yang juga saya berusaha hindari. Jangan pernah mengajak anak-anak untuk ikut membenci orang lain. Jangan membingkai mereka ke dalam situasi yang mereka sendiri tidak mengerti.

Secara natural, setiap anak memiliki kebaikan. Mereka terlahir dalam keadaan pikiran dan hati yang bersih/suci. Ketika seorang anak kita ajarkan untuk membenci/melukai orang lain, sama saja kita telah mengajarkan kekejaman, karena sesungguhnya sifat/perilaku itu bukanlah sifat dasar seorang anak. Setiap anak pasti pernah mengalami rasa tidak suka kepada seseorang, tetapi sejauh yang saya tahu, biasanya perasaan itu tidak berlangsung lama.

Mungkin akan lebih baik jika mengajarkan kepada mereka sejak dini tentang bagaimana berpikir secara kritis, menumbuhkan empati kepada orang lain, dan rasa saling menyayangi. Kelak dari situ mereka bisa melatih diri untuk memberi penilaian secara objektif/terbuka terhadap orang-orang yang ada di sekitar mereka, sekaligus mengurangi kebencian yang ditimbulkan oleh rasa takut. Dengan mencegah pola pikir yang ‘dehumanisasi’, anak-anak akan memiliki kesempatan untuk memahami hal yang lebih baik lagi di masa depan.

Alea, putri saya, baru berusia 3 tahun. Selama 3 tahun ini saya, suami, dan anggota keluarga yang lain berusaha untuk membangun citra yang positif di depan Alea, mengajarkan kebaikan, menumbuhkan rasa sayang kepada sesama. Sederhana saja harapan kami supaya kelak Alea terbiasa menyerap dan menerapkan hal yang sama positifnya dalam kehidupannya.

Biasanya, cara paling sederhana yang kami gunakan adalah dengan melalui obrolan sederhana tentang bagaimana kita berperilaku atau memperlakukan orang lain, mendongeng/cerita, atau yang paling efektif ya dengan mencontohkannya secara langsung. Anak-anak seusia Alea kan usia visual, di mana mereka lebih mudah mencontoh apa yang mereka lihat.

Alasan lain kenapa jangan pernah mengajarkan kebencian kepada anak adalah karena saya sadar bahwa saya tidak akan selalu ada buat putri saya. Kelak suatu saat nanti dia pasti akan butuh bantuan keluarga atau orang-orang terdekatnya. Jadi, selama kita masih membutuhkan orang lain, sebisa mungkin jangan membenci secara berlebihan. Karena kita tidak tahu kapan kita akan memerlukan bantuan orang lain, kan?

Anak-anak kita mungkin tidak selalu menyimak apa yang kita tuturkan, tapi sebagai makhluk visual, mereka diam-diam akan mencontoh apa yang kita lakukan. Kita adalah role model pertama bagi anak-anak kita; they are definitely watching. Jadi biarkan anak-anak memperhatikan kita bersikap baik, insyaallah mereka juga akan jadi anak yang baik hati. Maybe it is the oldest, but the goldest methode of all.

Perlakukan anak-anak sebagaimana mereka ingin diperlakukan. Tunjukkan kebaikan kepada mereka dimulai dari hal-hal kecil, and just imagine how good they will feel when they step out into the world.

Just my two cents.

 

[devieriana]

 

Continue Reading

Limitless Love

happy-mom-daughter

My mother was the most beautiful woman I ever saw. All I am I owe to my mother. I attribute my success in life to the moral, intellectual and physical education I received from her.
– George Washington –

Ibu adalah sosok yang rasanya tak akan pernah habis untuk diceritakan. Sosok istimewa yang sudah jatuh cinta kepada anak-anaknya bahkan sebelum mereka terlahir ke dunia. Jadi wajar kalau akhirnya Ibu menjadi sosok inspiratif bagi semua orang. Saya pun punya pemikiran yang sama; bagi saya Mama adalah sosok yang banyak memberikan saya inspirasi.

Sejak menikah, Mama memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Padahal dulu Mama juga bekerja dan punya kesempatan berkarir yang cukup bagus. Namun demi keluarga yang baru dibangunnya, Mama memilih untuk menjalani karir sebagi ibu rumah tangga yang jam kerjanya 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan itu sepanjang tahun.

Mama adalah pribadi dengan kombinasi yang unik. Sosok ibu yang cerewet, tegas, disiplin, keras kepala, dan absurd. Namun di luar itu semua Mama adalah sosok yang penyayang, berhati lembut, konsisten, dan luwes bergaul dengan siapa saja. Bukan itu saja, saking dekatnya beliau dengan kami bertiga, Mama sampai hafal satu per satu sahabat kami lengkap dengan cerita mereka. Si A rumahnya di mana, Si B pacaran sama siapa, Si C silsilah keluarganya bagaimana, Si D sekolah/kerja di mana, dan seterusnya.

Bukan hanya itu saja, kami (terutama adik saya yang bungsu) sering menjadikan rumah sebagai tempat nongkrong, Mama pun aktif mengajak ngobrol mereka. Bagi kami, Mama bukan hanya seorang ibu, tapi juga sahabat untuk anak-anaknya. Kami bisa cerita tentang apapun, karena Mama adalah pendengar yang baik untuk setiap cerita yang kami ceritakan. Mama adalah sosok yang istimewa. Seistimewa masakan-masakannya yang racikan, takaran, dan rasanya selalu pas!

Orang tua kami kebetulan adalah pasangan yang kompak dalam membesarkan kami. Mereka bukan hanya memberikan kami hal-hal yang manis saja, tapi juga ‘pahit-pahitnya’. Kalau soal dijewer, dimarahi, dihukum, itu sih biasa. Toh imbangannya kami juga sering mendapatkan hadiah dan kebahagiaan dalam bentuk lainnya. Semua diberikan dalam ‘dosis’ yang pas dan seimbang.

Lewat Mama, saya belajar prinsip-prinsip kehidupan; baik sebagai pribadi maupun sebagai individu dalam lingkup sosial. Ada salah satu nasihat yang paling saya ingat dari Mama, “ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana”, artinya: manusia itu dihargai dari ucapan/kata-kata dan penampilannya, karena penampilan adalah salah satu cerminan kepribadian. Masih menurut Mama, seorang Ibu harus mampu mendidik anak-anaknya lewat perilaku. Anak akan dididik oleh ibunya bukan secara lisan semata, tapi juga pada perilaku dan kesehariannya.

Kini, saya adalah ibu dari bayi mungil bernama Alea yang berusia 6,5 bulan. Menjadi seorang ibu sama seperti diberi kesempatan untuk merasakan keajaiban dalam hidup. Mata saya jadi lebih terbuka. Ternyata menjadi seorang isteri yang sekaligus ibu bekerja ternyata bukan perkara mudah. Setelah cuti selama 2 bulan pasca melahirkan, saya kelimpungan mencari pengasuh bagi Alea.

Bukan hal mudah mencari pengasuh bayi di zaman sekarang, apalagi menyerahkan begitu saja pengasuhan bayi kepada seorang yang belum saya kenal sebelumnya. Hingga akhirnya Mama menawarkan diri untuk membantu menjaga dan mengasuh Alea selama saya bekerja. Tentu saja tawaran ini saya terima dengan suka cita karena dulu saya pernah ‘bercita-cita’ kelak suatu hari kalau saya sudah punya anak, saya ingin Mama saya yang menjaga anak saya 😀 .

Keputusan ini sedikit dilematis memang, karena dengan Mama sementara tinggal bersama saya di Jakarta, berarti akan meninggalkan Papa di Surabaya. Walaupun masih ada adik bungsu saya yang tinggal sekota dengan Papa tapi tetap saja muncul segumpal rasa berat. Tapi untunglah Papa sangat pengertian. Beliau ‘merelakan’ Mama menjaga Alea daripada Alea diasuh oleh orang yang belum tentu bisa menjaga Alea dengan benar. Tentu saja kami akan beberapa kali ke Surabaya untuk pulang ke Papa.

Sampai sebegitunya ya pengorbanan orang tua. Bukan hanya berhenti sampai ke anak, tapi sampai ke cucu. Their love and affection are limitless!

Buat saya Mama adalah guru pertama saya dalam hal pengasuhan anak. Seringkali saya menemukan insight tentang parenting dari beliau. Memang beliau bukan sosok ibu yang sempurna. Sebagai manusia, saat menjalani berbagai perannya, Mama tentu punya kelebihan dan kekurangan. Tapi yang jelas, ketika saya officially menjadi orang tua, orang pertama sekaligus tempat saya berguru tentang parenting ya Mama saya sendiri. Ya, kalau misalnya ada perbedaan cara mengasuh di sana sini ya wajarlah, namanya beda zaman, beda generasi, beda up date informasi. Jadi, adjustment itu pasti diperlukan. Tapi alhamdulillah sejauh ini masih discussable.

Ada satu nasihat sekaligus doa bagi kami, anak-anaknya, “semoga kelak ketika kalian sudah menjadi orang tua, kalian bisa mendidik anak-anak kalian menjadi anak-anak yang sesuai dengan zamannya, humanis, rasional, dan bahagia.”

Pamela Druckerman menulis dalam bukunya yang berjudul Bringing Up Bebe :

” to be a different kind of parent, you do not just need a different parenting philosophy. You need a very different view of what a child actually is. “

Btw, you did it, Ma! 🙂
[devieriana]

 

___

sumber ilustrasi diambil dari sini

Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com

Continue Reading

Alea and Newbie Mommy

alea

Menjadi seorang ibu tentu saja sebuah pengalaman baru bagi saya. Ada banyak sekali adjustment yang harus saya lakukan sejak hadirnya Alea. Bukan suatu hal yang mudah ketika saya harus menyesuaikan ritme hidup saya dengan ritme hidup si kecil. Contoh paling mudah adalah ketika Si Kecil pola tidurnya masih belum terpola dan ‘berantakan’, saya pun harus rela jam istirahat saya ikut menjadi kacau. Apalagi di awal-awal menyusui. Duh, jangan ditanya bagaimana derita saya waktu itu. Di tengah belum pulihnya kondisi badan saya pascaoperasi, saya juga mengalami stress karena sekujur badan bentol-bentol alergi antibiotik. Belum lagi puting yang mengelupas (para ibu pasti tahu rasanya); payudara yang sempat bengkak karena terlambat menyusukan ke bayi, hingga akhirnya saya demam meriang sekujur badan. Kepala pening karena pola tidur malam yang kacau. Stress karena ASI yang kurang lancar, dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Namun seiring dengan waktu akhirnya fisik dan psikis saya mulai menyesuaikan diri. Bahkan sering kali saya merasa berdosa pada putri saya karena di awal-awal kehadirannya saya belum sepenuhnya mencurahkan perhatian saya padanya. Masih banyak ngeluhnya. Hingga akhirnya saya ditegur Mama karena pernah di suatu malam, ketika Alea menangis karena lapar, saya tidak sanggup bangun karena ngantuk berat. Entah sadar atau tidak saya bilang begini, “kan tadi udah mimik, Dek. Masa belum 2 jam udah mimik lagi? Mama ngantuk, Nak…” Walau akhirnya saya susui juga, tapi dengan mata setengah terpejam. Dengan lembut Mama menegur saya, mengingatkan, bahwa perasaan bayi itu sangat peka. Dia bisa merasakan apakah ibunya ikhlas/tidak ketika menyusui, apakah seseorang itu tulus menyayangi dia atau tidak, apakah seseorang itu tulus menerima kehadirannya atau tidak. Jangan sampai Alea merasa saya tidak ikhlas bangun untuk menyusuinya. Jujur, teguran itu menyadarkan saya dan terasa sangat MAKJLEB; membuat saya langsung bangun untuk menyusui Alea hingga kenyang dan tertidur pulas.

“Ya beginilah perjuangan menjadi seorang ibu (baru). Harus rela bangun malam untuk menyusui bayi, mengganti popoknya kalau dia pup, dan menenangkan dia kalau dia nangis/rewel. Bayi nangis kan bukan selalu karena haus, bisa saja karena dia ngantuk atau nggak nyaman. wis, tho… yang ikhlas. Bayi itu bisa merasakan apakah kita sayang atau enggak, tulus atau enggak. Syukuri setiap detikmu menjadi seorang ibu. Banyak orang di luar sana yang menunggu untuk menjadi seorang ibu, dan ketika sudah menjadi seorang ibu pun belum tentu semua bisa menyusui anaknya karena berbagai sebab. Dinikmati saja ya, Wuk…”

Hiks, iya Ma. Terima kasih sudah diingatkan. Alea, maafkan Mama ya, Nak 😥

Ketika saya menulis postingan ini Alea genap berusia 51 hari; hampir 2 bulan. Itu juga berarti semakin dekat pula cuti saya berakhir dan harus kembali ngantor. Agak berat sih, karena saya juga belum dapat pengasuh untuk Alea 🙁 . Nggak mungkin juga saya menggantungkan Alea ke ibu mertua. Beliau sudah sibuk mengurus ayah mertua yang sedang sakit dan juga butuh perhatian. Ya mentok-mentoknya nanti kalau memang belum dapat pengasuh, mungkin Mama saya akan ke Jakarta lagi untuk bantu mengasuh Alea. Ah, kalau ini sih saya bahagia banget, hihihihi 😀

Ada banyak hal mengesankan dan mengharukan selama 51 hari saya menjadi seorang ibu. Pernah di suatu malam, Alea nangis; saya pun buru-buru bangun dan ambil posisi bersandar di headboard tempat tidur sambil memangku Alea siap untuk menyusui. Tapi apa yang terjadi? Alea, setelah tahu bahwa dia sudah ada di pangkuan saya, tangisnya mereda, selama beberapa saat dia memandang saya dan kemudian tertidur pulas dalam keadaan salah satu tangannya salah satu memeluk dada saya. Sontak air mata saya menetes. Ah, ternyata dia cuma ingin bonding, cuma ingin tidur dipeluk mamanya 🙁

Kejadian yang satu ini pun membuat saya menjadi mellow. Sore itu Alea sedang menyusu. Seperti biasa, kalau Alea sedang menyusu salah satu tangan saya pasti sambil membelai kepalanya sambil bilang, “Mama sayang kamu, Dek…”. Tapi ada hal yang berbeda sore itu. Sambil masih menyusu, tiba-tiba kedua tangan Alea memeluk erat tangan saya sambil mata beningnya menatap saya, seolah ingin bilang kalau dia juga sayang sama saya. Duh, Nak… hati Mama langsung meleleh nih 🙁

Ada lagi hal mengharukan, bertepatan dengan aqiqah Alea yang jatuh pada tanggal 21 Agustus 2014 kemarin. Biasanya, Alea suka rewel kalau jenuh, haus, atau gerah. Biasalah namanya juga bayi. Saya juga khawatir selama pengajian nanti dia akan nangis rewel karena jenuh dan capek. Tapi sepertinya saya telah meremehkan putri saya ini. Sepanjang acara yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam itu, dia anteng di pangkuan saya seolah menyimak segala doa yang dilantunkan oleh para tamu pengajian yang diperuntukkan baginya. Hanya sekali saja dia mewek karena haus, tapi itu pun tidak lama karena setelah saya susui dia tenang kembali dan khusyu mengikuti keseluruhan jalannya acara aqiqah. Subhanallah…

Dan kejadian terakhir, baru saja terjadi. Biasanya kalau habis mandi sore Alea pengennya menyusu, dan tidur hingga habis maghrib. Lha ini tumben, sampai adzan Isya dia masih melek lebar banget padahal sudah menyusu sampai kenyang dan digendong Nina Bobo muterin kamar sampai kaki saya pegal. Akhirnya ya sudahlah, berhubung saya belum shalat, saya taruh saja dia di tempat tidur, nanti kalau selesai shalat dan dia belum tidur, saya gendong lagi. Sambil mengecup lembut keningnya, saya bilang, “Sayang, Mama mau shalat dulu ya. Sayang bobo di sini dulu ya. Nggak boleh rewel ya, Nak. Love you…” dan saya pun meninggalkan kamar untuk makan dan ambil wudhu. Setelah makan dan wudhu, saya kembali ke kamar dan ternyata menemukan pemandangan princess saya ini sudah lelap, bobo sendiri. Duh, Nak… pinter banget kamu. Tahu gitu dari tadi Mama taruh kamu di kasur ya 😀

Sebagai seorang ibu baru saya masih harus banyak belajar. Belajar jadi ibu yang baik untuk Alea dan belajar mengenal lagi putri saya. Saya tahu perjalanan mengenal Alea masih panjang. Saya juga tahu tidak ada yang manusia yang sempurna, pun menjadi orangtua. Saya dan suami hanya berusaha menjadi dan memberikan yang terbaik untuk Alea.

Maafkan kami yang belum sempurna menjadi orangtua ya, Nak. We do love you, Princess… :*

 

[devieriana]

 

 

 

Continue Reading