Bioskop: Antara Ego dan Basic Courtesy

baby in teathre.jpg

Sejak menjadi orang tua, ada hal-hal yang tidak selalu bisa kita lakukan. Selalu ada pertimbangan tersendiri kenapa kita memilih untuk sengaja tidak melakukannya, atau menunda hingga waktu yang tepat.

Kalau dulu, bisa saja kegiatan yang relatif sederhana seperti jalan-jalan ke mal, perawatan diri ke salon, atau menonton filmdi bioskop menjadi hal biasa/rutin dilakukan. Tapi sebaliknya, sejak menjadi orang tua ternyata kegiatan itu berubah menjadi sebuah kemewahan. Alpalagi bagi orang tua yang baru punya bayi, bulan-bulan awal kelahiran Si Kecil pasti menjadi tantangan tersendiri yang harus ditaklukkan. Jam istirahat yang tidak teratur, jadwal kegiatan harian yang berubah total, termasuk kebiasaan-kebiasaan yang dulu bisa dengan santai dilakukan, sekarang menjadi hal yang ‘istimewa’.

Cerita yang sama juga terjadi pada seorang ibu bekerja, sebut saja Amel, 35 tahun, ibu bayi berusia 5 bulan bernama Nasywa. Beberapa waktu lalu dia sempat bercerita panjang lebar tentang banyaknya perbedaan sebelum dan sesudah menjadi ibu.

“Intinya sih, kalau dulu gue bisa kalap mata belanja make up, skincare, atau bisa kapan pun pergi ke bioskop buat nonton film terbaru, sekarang… boro-boro. Apa yang jadi kebutuhan bayi ya itu yang jadi prioritas gue. Jangankan buat nonton ke bioskop, seringnya gue udah nggak ada energi duluan buat ngerjain hal-hal receh kaya dulu. Jam 7 malem kadang gue udah tepar duluan ngikutin jadwal tidurnya Nasywa. Jadi, ngemal, nyalon, nonton, sekarang jadi kegiatan tersier buat gue. Lo bisa lihat kan, mata panda gue kaya apa sekarang ini. Belum sempat ke salon buat perawatan pula ini…” Ceritanya sambil terkekeh.

Ketika menjadi orang tua, ada ego dan kebutuhan diri yang kadang harus kita kalahkan untuk sementara waktu. Walaupun sebenarnya sama dengan manusia lainnya, orang tua pun tetap butuh waktu untuk diri sendiri guna menjaga kewarasan, karena menjadi orang tua juga perlu bahagia dan relaks supaya bisa mendidik dan menjaga anak-anak dengan hati dan pikiran yang gembira.

Lain halnya dengan Maya, 32 tahun, pekerja kantoran dengan 3 orang anak. Menjadi ibu bekerja dengan kondisi long distance marriage lantaran suaminya lebih sering berada di luar kota untuk menjalankan bisnis, mengharuskan Maya harus melakukan segala sesuatunya sendiri. Memang selama ini Maya juga dibantu oleh asisten rumah tangga, tapi tetap saja untuk pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan anak ya tetap harus Maya yang ambil kendali.

Tentu kita masih ingat kalau beberapa waktu lalu orang sedunia demam film Avengers: Endgame. Di seluruh kanal media sosial hampir semuanya membahas film tersebut. Tak heran demi status kekinian, orang berbondong-bondong ke bioskop untuk menonton film tersebut. Tak terkecuali Maya yang waktu itu bayinya baru berusia 6 bulan. Demi memenuhi hasrat menonton yang sangat tinggi, Maya pun berangkat ke bioskop dengan membawa bayinya. Dia mengklaim anaknya aman-aman saja selama film berlangsung, karena dia sudah menyediakan earplug/earmuff untuk melindungi telinga bayinya dari tingginya volume suara bioskop.

Orang tua seperti Maya tentu bukan cuma satu, dua orang saja, tapi banyak. Terlepas dari banyaknya perdebatan di luar sana tentang urgensi mengajak anak/balita ke bioskop, orang tua tetap harus memperhatikan kesesuaian konten film dengan usia anak.

Berdasarkan Undang-undang No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman, Pasal 7 disebutkan, “Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman disertai pencantuman penggolongan usia penonton film yang meliputi film:
• Untuk penonton semua umur (SU)
• Untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih (R)
• Untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih (RBO)
• Dan untuk usia penonton 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih (D).

Hal yang berbeda diungkapkan oleh Tara, 30 tahun, ibu rumah tangga dengan balita usia 3 tahun.

“Aku tuh nggak ngerti ya sama orang tua yang sebegitunya sama bioskop. Emang bakal mati ya kalau nggak nonton Avengers, Deadpool, John Wick, Annabelle, Aladdin, Lion King, Dua Garis Biru, dan film-film hits lainnya? Aku sengaja nggak ke bioskop sejak punya anak. Karena ya buatku nggak penting, dan nggak perlu memaksakan diri juga kalau anakku nggak ada yang jagain.”

Menurutnya, banyak orang tua yang ignorance bukan hanya dengan lingkungan di mana mereka berada, tapi justru dengan anak mereka sendiri. Salah satu contohnya dengan mengajak balita mereka ke bioskop dan menonton film R rated atau PG Rated, atau membiarkan anak mereka ribut hingga mengganggu kenyamanan penonton lainnya, dengan dalih, “ya udah sih, biar aja, toh sama-sama bayar ini…”

Sebagaimana kita ketahui, kode R adalah “Restricted” atau dibatasi. Anak yang berumur di bawah 17 tahun tidak diizinkan menonton film dengan rating “R”, tanpa pengawasan orang tua. Karena biasanya film ini berisikan materi-materi adegan “orang dewasa” dan adegan “kekerasan”. Sementara PG adalah “Parental Guidance.” Jika kita melihat film dengan rating ini sebaiknya orang tua ikut mendampingi anak-anak, karena film ini mungkin berisi materi yang tidak sesuai untuk anak-anak, termasuk adegan-adegan yang “kurang senonoh”.

Sebagai catatan tambahan, Badan Keselamatan Kerja Amerika Serikat, National Institute for Occupational Safety and Health (NIOS), Occupational Safety and Health Association, serta WHO, menerapkan batas aman paparan suara di level 85 desibel. Kalau di bioskop itu baru untuk sebatas suara percakapan standar, belum termasuk adanya kenaikan desibel yang bisa berkali-kali lipat saat aktor berteriak, suara tembakan, hingga ledakan. Padahal bayi dan anak-anak memiliki pendengaran yang lebih sensitif ketimbang orang dewasa.

Selain itu, kita juga harus mempertimbangkan sensitivitas bayi kita terhadap kebisingan di lingkungan sekitar. Jika mereka sangat sensitif, bisa jadi nantinya justu kita yang akan lebih banyak menghabiskan waktu di luar bioskop untuk menenangkan anak yang menangis daripada menonton film.

Cari teater yang menawarkan pertunjukan sensorik khusus. Beberapa bioskop sekarang menawarkan film ramah indra selama sore hari. Di mana kondisi tata cahaya studio bioskop yang dibuat lebih temaram, tata suara yang sedikit lebih rendah, dan istimewanya anak bebas untuk bergerak semau mereka, dan tentu saja mereka diizinkan untuk menangis jika mau. Rasanya ini adalah pilihan tepat untuk membawa bayi ke bioskop ini, karena memang sudah dikondisikan sedemikian rupa untuk keluarga. Walaupun sayangnya fasilitas studio ramah indra ini tidak selalu ada setiap hari, di semua jam pertunjukan, dan untuk semua pilihan film yang sedang tayang. Tapi setidaknya ini bisa jadi alternatif menonton bersama anak.

Jadi pandai-pandailah mengelola ego. Jangan hanya untuk mengejar status kekinian atau demi konten media sosial, hingga akhirnya mengabaikan kesehatan pendengaran anak, perkembangan psikologis anak karena harus mendengarkan/melihat tayangan yang bukan untuk konsumsi mereka, atau lebih lagi mengorbankan waktu istirahat anak (karena ada lho orang tua yang memilih jam pertunjukan midnite sambil membawa anak-anaknya).

In my super humble opinion, membawa bayi ke bioskop rasanya bukan ide yang tepat. Lebih ke basic courtesy kepada penonton film lainnya. Jika ada orang tua yang masih bilang kalau anaknya baik-baik saja selama diajak ke bioskop, pastikan bahwa film yang disuguhkan memiliki material yang sesuai dengan rentang usia anak. Akan lebih baik jika orang tua juga mencari tahu lebih dulu muatan konten film itu tentang apa. Karena tidak semua film superhero atau kartun itu identik dengan film anak.

Perlu diingat juga bahwa kita bukan satu-satunya orang yang membutuhkan hiburan dengan menonton bioskop. Jadi ketika anak-anak sudah terlihat tidak betah, janganlah bersikap egois dengan bertahan di dalam bioskop, dan mengorbankan kenyamanan penonton lainnya.

So really, its up to the parents to recognize what they are doing, and allow others to enjoy the movie instead of listening to a noise that isn’t part of the show.

Just my two cents.

 

 

[devieriana]

ilustrasi gambar pinjam di sini

Continue Reading

Me Time

me-time

‘Me Time’ is appreciate yourself by doing what you love.

Benar begitu? Katanya, dengan tetap memiliki ‘me time’ akan memastikan setiap orang tetap ‘waras’, hehehe… Tiap orang pasti punya waktu dengan durasi tertentu untuk memanjakan dirinya sendiri, yang penting untuk meningkatkan kualitas hidup masing-masing.

Setelah beraktivitas setiap hari yang penuh dengan jadwal padat, belum lagi ditambah dengan kemacetan jalan raya yang sungguh ‘tralala-trilili’, menyebabkan berbagai kepenatan fisik dan psikis. Jadi wajar kalau ‘me time’ menjadi sebuah saat yang penting bagi seseorang untuk sejenak beristirahat, menikmati waktu untuk diri sendiri.

Bentuk ‘me time’ sendiri ada bermacam-macam, tidak selalu harus dengan bepergian ke luar kota. Kadang cukup dengan menghabiskan waktu sendirian di toko buku, atau luluran/spa di salon langganan, mendengarkan musik, nonton film, dll. Intinya, setelah melakukan ‘me time’ tubuh dan pikiran terasa rileks, mood kembali bagus, tidak lagi stress.

Teman saya punya ‘me time’ yang unik, yaitu mandi di kantor sebelum jam pulang kerja. Kenapa saya sebut unik? Karena ketika mandi di kantor, dia bisa lebih banyak punya waktu untuk merawat diri. Kalau sudah di rumah, jangankan punya waktu untuk merawat diri, mandi saja superkilat.

“Gue nggak bisa mandi di rumah kalau udah sore, Devi. Lo kan tahu sendiri rumah gue jauh. Pas udah sampe rumah ya udah, anak-anak gue langsung minta perhatian orangtuanya; pada ngajak main. Jangankan sempat lulur-luluran, mandi aja gue cepet-cepetan.”

Saya yang waktu itu masih belum punya anak hanya bisa melongo. Sedemikian ‘langkanyakah’ ‘me time’ ketika sudah berkeluarga dan punya anak?

Eh, sekarang… ketika saya sudah punya momongan, ternyata memang benar, waktu untuk ‘me time’ memang sedikit berkurang waktunya. Berkurang di sini bukan berarti jadi tidak punya sama sekali, ya. Masih punya, tapi durasinya yang berubah jadi tidak selama dan sesering dulu. Even Super Mom needs a break now and again. You won’t be able to take care of your family if you don’t take care of yourself. Betul? 😀

Saya seorang ibu bekerja. Saya hanya bertemu dengan Alea ketika jam pulang kantor sampai bangun tidur keesokan harinya. Sepulang kantor saya hanya punya waktu untuk mandi, shalat, dan makan malam (kadang malah kalau Alea sudah rewel duluan ya saya momong dulu baru mengerjakan hal lainnya, kalau tidak langsung ikut bablas ketiduran). Itu pun saya sudah harus membagi aktivitas dengan persiapan ngantor, dll. Alea sementara ini diemong oleh eyangnya. Jadi bisa dibayangkan betapa terbatasnya waktu saya bersama Alea. Jadi kalau ada waktu buat jalan-jalan, buat ngeloni, buat menyuapi, buat menyusui, buat bermain bersama anak, itulah surga saya. Apalagi proses tumbuh kembang anak itu kan cepat. Seadanya waktu yang saya punya itulah yang ingin saya manfaatkan sebaik-baiknya.

Trus, ‘me time’ saya sendiri kapan? Di kantor saya masih bisa melakukan ‘me time’ kok. Misalnya menulis blog (yang walaupun lebih lama hibernasinya ketimbang up date-nya,hihihik), atau latihan band dengan teman-teman band saya seminggu sekali sepulang kantor sambil menunggu jemputan suami. Ngeband bareng teman-teman itu juga merupakan suntikan semangat yang luar biasa menyegarkan buat saya. Saya bisa pulang ke rumah dalam kondisi yang tetap semangat, bahkan sesaat ‘lupa’ kalau sedang berada dalam kemacetan luar biasa.

Saya percaya bahwa masing-masing orang punya ‘me time’ versi masing-masing. Kalau kalian, apa ‘me time’ kalian?

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading