Balada Macet

 

“Bukan Jakarta kalau nggak macet!”

Demikian kata-kata yang sering dilontarkan sebagai ‘pemakluman’ terhadap betapa padat dan parahnya lalu lintas di Jakarta. Mungkin sebenarnya bukan pemakluman, tapi sudah menjadi kepasrahan akut sebagian besar warga ibukota yang mau tidak mau harus berhadapan dengan kemacetan itu setiap hari.

Selama dua hari berturut-turut kemarin saya berhadapan dengan kemacetan  yang sungguh superb, perpaduan antara kepadatan menjelang long weekend ditambah dengan hujan deras disertai angin yang mendera Jakarta selama beberapa hari terakhir ini. Dan salah satu kemacetan itu menegangkan buat saya karena berhubungan dengan jam keberangkatan pesawat ke Surabaya.

Jumat lalu saya baru keluar kantor sekitar pukul 17.30. Cuaca di luar masih hujan gerimis setelah hujan mengguyur dengan deras disertai angin. Seperti biasa saya melangkahkan kaki menuju ke halte Harmoni untuk naik Transjakarta. Namun setibanya di depan loket ada sebuah pengumuman di secarik kertas yang menginformasikan penjualan tiket untuk ke arah Lebak Bulus dan Blok M ditutup (sementara waktu), dan bagi penumpang yang sudah terlanjur membeli tiket (mungkin untuk penumpang yang sudah terlanjur antre) uang tidak bisa dikembalikan. Penutupan loket itu mungkin karena adanya keterbatasan sarana Transjakarta, sekaligus untuk menghindari semakin menumpuknya antrean penumpang di kedua jurusan itu. Lah, terus saya pulang naik apa, dong? :((

Dari atas jembatan penyeberangan terlihat hujan masih deras mengguyur, jalanan tampak sangat padat, hanya sanggup merayap pelan. Kalau naik taksi pas macet seperti ini jelas bukan pilihan yang tepat, karena argonya bakal tidak bersahabat dengan dompet. Sementara itu di  bawah tangga jembatan penyeberangan yang biasanya banyak tukang ojeg parkir sore itu tak ada satu pun yang terlihat. Kalaupun ada, sepertinya nggak mungkin juga saya naik ojeg di saat hujan begini, apalagi saya belum sembuh dari flu berat sejak seminggu lalu .

Akhirnya saya memutuskan untuk jalan kaki ke Sarinah untuk naik Kopaja/Metromini. Dengan kaki yang agak lecet-lecet akibat memakai sepatu yang ber-hak saya pun berjalan kaki dari halte Harmoni menuju Sarinah menembus hujan. Sore itu untuk menuju ke rumah lumayan butuh perjuangan. Untung saya tidak sendiri, ada beberapa orang yang juga melakukan hal yang sama. Lumayan ya, Bo… sambil olahraga sore (walaupun nggak pernah ada olahraga yang pakai sepatu pantofel dan hujan-hujan seperti ini). Saya itu sebenarnya heran, kalau saya sudah menyiapkan ‘alat perang’ berupa sandal jepit di tas justru nggak sempat terpakai karena nggak pernah kehujanan. Tapi giliran saya nggak bawa sandal malah ada acara ‘gerak jalan sehat’ pakai pantofel begini… 😐

Nah, ternyata kisah kemacetan itu harus saya alami lagi dalam perjalanan menuju bandara Soekarno-Hatta di hari Sabtu kemarin. Jam keberangkatan pesawat saya tertera pukul 18.35 wib. Di luar cuaca hujan, langit tampak gelap disertai petir, dan jalanan macet luar biasa karena banyak terjadi genangan di sana-sini. Saya sudah berada di jalanan sejak pukul 15.45.  Kalau jalanan normal seharusnya saya tiba di bandara jauh sebelum jam keberangkatan. Wajah saya berubah tegang ketika waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 wib dan posisi saya masih merayap di sekitaran Semanggi. Saya coba telepon ke callcentre maskapai penerbangan yang saya naiki, petugasnya menginformasikan kalau jadwal perjalanan masih normal, belum ada informasi delay, paling lambat check in pukul 18.30 wib. Waduh! Makin paniklah saya ~X(. Kalau melihat kemacetan yang luar biasa ini sepertinya mustahil saya bisa sampai di bandara tepat waktu. Saat itu saya cuma bisa pasrah dan berdoa semoga diberikan kemudahan; berharap ada keajaiban, setidaknya pesawatnya delay deh [-o<. Baru kali ini kan ada yang berharap pesawat delay? Biasanya kalau delay kan ngomel, ya?

Berkali-kali saya coba refresh web bandara untuk meng-up date informasi jadwal penerbangan sambil berdoa semoga informasi yang tertera untuk penerbangan saya tertulis ‘delayed’. Di tengah-tengah kepanikan saya itu, tepat di depan gedung DPR/MPR tiba-tiba saya melihat informasi yang tertera untuk penerbangan saya menjadi “delayed 20.03” \m/. Alhamdulillah! Barulah muka saya yang diliputi ketegangan sejak berangkat tadi menjadi sedikit cair \:D/.

Sampai di terminal 2F tepat pukul 18.20. Saya langsung check in dan memastikan apa benar pesawat saya delay atau tidak. Ternyata beneran delay sampai pukul 20.03 wib. Pffiuh… lega rasanya. Akhirnya saya jadi pulang juga ke Surabaya, setelah sebelumnya membayangkan tiket pesawat saya bakalan hangus karena sudah ketinggalan pesawat :|.

Di ruang tunggu F7 itu sudah penuh terisi penumpang yang akan berangkat ke Semarang dan Surabaya. Ternyata bukan cuma penerbangan saya saja yang mengalami delay, ada beberapa jam penerbangan yang juga mengalami delay. Ya setidaknya saya punya teman senasib sepenanggungan. Untung ada kompensasi berupa makan malam dan teh manis hangat :-bd

Saking seringnya berhadapan dengan kemacetan, (mungkin) lama-lama orang (baca: warga Jakarta) mulai berkompromi. Kalau meniadakan kemacetan sepertinya kok nggak mungkin ya, kecuali setiap hari ada car free day :p. Tapi  hal yang masih bisa dilakukan agar terhindarkan dari kemacetan (ini juga catatan bagi diri saya sendiri) ya dengan berangkat jauh lebih awal. Istilahnya sih mending datang di tempat acara kepagian, ketimbang terlambat, lalu menggerutu dan menyalahkan kemacetan sebagai biang keterlambatan.

Jadi ingat kejadian ketika saya harus menunggu salah satu klien yang keukeuh minta ketemu untuk meeting pukul 17.00 wib di sekitaran Sarinah tapi baru datang pukul 19.00 wib dengan alasan klise “macet”, sementara meeting-nya sendiri cuma berjalan 30 menit, dan muka saya sudah kuyu karena terlalu lama menunggu.

Untuk mengantisipasi terjebak dalam kemacetan mungkin benar apa yang pernah iseng saya twit waktu itu:

:-<

Kalian pernah punya cerita kemacetan apa?


[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Renungan Sesuap Nasi

Tulisan ini saya tulis karena saking herannya saya sama orang-orang disekeliling saya tentang betapa pilih-pilihnya mereka sama makanan. Awalnya ok, mungkin saja masakan hari itu kurang menggugah selera sehingga kurang menerbitkan nafsu makan. Tapi ketika pemandangan itu semakin sering saya lihat, saya kok jadi bertanya-tanya sendiri ya, ada apa sih? Wong saya makan juga nggak kenapa-kenapa, enjoy aja. Kalau dibilang nggak enak banget, dimananya sih yang nggak enak? Kayanya normal-normal aja deh.  “Ya namanya orang seleranya kan beda-beda bu, belum tentu yang buat lidah kamu enak, buat lidah orang lain juga enak..”. Apa mungkin saya yang rakus ya, apa aja mau? 🙂

Nggak tahu apa yang membuat mereka berubah & seringkali nggak mau makan menu yang sudah disediakan. Padahal menunya selalu berganti-ganti tiap hari, dan menurut saya menunya juga pantas, layak & bersih. Sekarang “trend” yang berkembang di sekeliling saya adalah “nggak makan ah, menunya nggak enak” & berbondong-bondonglah mereka memesan makanan dari luar. Awalnya saya menganggap okelah ya, mungkin mereka bosan karena menurut mereka menunya begitu-begitu saja (walaupun aslinya ganti-ganti lho menunya.. 🙂  ). Ya namanya juga jatah makan dengan budget yang sudah ditentukan. Jadi ya wajarlah kalau menyesuaikan dengan harga. Nggak mungkin misal jatah makan siang Rp 20.000,- tapi menunya seharga Rp 50.000,- , ya rugi bandarnya. Istilahnya gitu..

Kalau saya kebetulan nerimo aja, selain saya juga males kalau mesti ribet delivery order. Kebetulan juga nggak pernah rewel soal makanan. Enak enggak enak & apa yang tersedia ya itu yang akan saya makan, nggak komplain, nggak menuntut mesti gini gitu. Lha wong saya juga nggak bisa masak, plus nggak ada waktu juga buat masak 😀 . Tapi memang hal itu juga yang jadi salah satu wejangan kedua orangtua saya. Enak/nggak enak, apapun yang dihidangkan, nikmatilah, sambil disyukuri bahwa kita masih bisa makan. Salah satu bentuk penghargaan buat oraang yang sudah bersusah payah menyediakan makanan buat kita & ingatlah diluar sana ada banyak orang yang kekurangan, yang nggak bisa makan karena nggak mampu beli makanan atau nggak ada yang bisa dimakan.

Saya bukan bermaksud sok bener, sok menggurui, atau sok perhatian sama orang yang berkekurangan ya. Cuman seringnya suka introspeksi dalam diri sendiri aja, kalau misal saya sekarang jadi yang terlalu pilih-pilih makanan, apa iya dulunya mama saya tiap hari selalu masak makanan yang enak & mewah buat kami? Dengan gaji papa yang nggak besar itu mama harus berusaha mengatur keuangan bagaimana caranya biar cukup buat hidup sebulan dengan 3 anak yang biaya kuliah & sekolahnya juga besar. Makan enak sekali-kali bolehlah, ibaratnya “rekreasi”, masa iya mau makan tahu &  tempe terus, sekali-kali makan lauk ayam boleh dong. Ya maklumlah, kami hanya keluarga sederhana. Itulah yang membuat saya selalu merasa bersyukur Alhamdulillah Tuhan masih ngasih rezeki cukup sehingga kami sekeluarga masih bisa makan dengan layak sampai dengan hari ini.

Sekedar ingin membuka mata, coba deh lihat sekeliling kita, ada banyak kaum yang hanya untuk sesuap nasi saja mereka harus bekerja banting tulang, susah payah, kadang tak peduli cuaca, musim, & waktu. Jangankan untuk makan sehari 3x, ada makanan yang bisa dimakan aja sudah alhamdulillah banget. Seperti kisah yang saya tuturkan disini & disini, kalau kita yang jadi bapak dan ibu itu mungkin akan bisa merasakan sendiri bagaimana susahnya cari makan ya. Jangankan untuk memilih makanan yang enak, mikir hari ini bisa makan apa enggak aja sudah bikin stress kali ya. Iya kalau ada yang bisa dimakan, lha kalau enggak?

Jadi, coba mulailah syukuri apa yang sudah Tuhan kasih sama kita. Apapun itu bentuknya. Karena ada banyak orang diluar sana yang nasibnya tidak seberuntung kita yang masih bisa ketemu makanan (enak) setiap hari…

Maaf, hanya sebentuk renungan.. 🙂

 

[devieriana]

Continue Reading