Tentang Terima Kasih

thank you
Dalam beberapa hal yang saya selalu tekankan kepada putri saya adalah jangan lupa untuk bilang salam, tolong, maaf, dan terima kasih ke orang lain, sama seperti ajaran kedua orangtua saya kepada saya dan kedua adik saya. Belajar untuk menekan gengsi sih tepatnya.

Putri saya memang baru berusia 3 tahun, tapi keempat kata tadi sudah saya usahakan untuk familiar sejak dini, karena saya sadar, bahwa semakin modern pergaulan manusia, empat kata itu bukan tidak mungkin akan tergerus oleh gaya hidup yang (mungkin) akan jauh dari adab dan sopan santun.

Utamanya pada kata terima kasih, yang intinya merupakan bentuk apresiasi kita kepada orang lain. Pada dasarnya orang suka merasa dihargai, begitu juga sebaliknya, dia juga berusaha agar orang lain pun merasa dihargai. Vice versa, ketika kita menghargai orang lain, maka hal yang sama akan mereka lakukan kepada kita, karena segala kebaikan sesungguhnya akan kembali kepada kita, sekecil apapun bentuk kebaikan itu. Some things work nicely that way.

Saya percaya bahwa dengan menciptakan siklus niat baik akan membuat orang lebih bersedia melakukan sesuatu untuk kita lagi di masa depan. Semacam karmic energy; what goes around comes around.

Seperti halnya ketika ucapan terima kasih itu saya terapkan kepada putri saya, sekali pun itu cuma karena dia sudah membantu saya mengambilkan tissue, membuang sampah ke tempatnya, membereskan mainannya sendiri, atau sekadar mencium dan memeluk saya sepulang kerja. Balasan yang saya terima kadang bisa jauh lebih indah daripada yang sudah saya ucapkan, “sama-sama, Mama. I love you…” Manis, bukan?

Terima kasih adalah salah satu hal yang paling sering saya ucapkan baik secara lisan maupun tulisan, kepada siapapun yang saya merasa telah membantu saya. Jangankan kepada yang benar-benar membantu, kepada teman yang telah meluangkan waktu untuk bertemu di sela kesibukannya saja, saya pasti bilang terima kasih, baik itu di menjelang waktu berpisah atau ketika sudah berpisah. Biasanya kalau sudah berpisah, saya akan mengirim pesan sekadar buat bilang, “terima kasih ya kumpul-kumpulnya…”, atau “terima kasih ya buat makan siangnya…”,atau “terima kasih ya sudah nyempetin ketemu, padahal aku tahu kamu/kalian pasti lagi sibuk banget..”, semacam itu. Bahkan kepada abang ojek online/taksi sekali pun, biasanya, setelah memberikan arahan ke mana atau lewat mana via sms/telepon, hal yang selalu saya ucapkan di akhir kalimat/pesan adalah, “terima kasih.”, begitu juga ketika mereka telah selesai mengantar saya.

MYXJ_20170826194141_save

Contoh kecil lainnya, ketika di kasir setelah menyelesaikan pembayaran/transaksi, atau kepada pramusaji di tempat makan, yang saya lakukan adalah bilang, “terima kasih ya, Mbak/Mas…”. Untuk apa? Ya untuk pelayanan, waktu, dan attitude saat mereka melayani saya, karena saya sadar bahwa begitulah sesungguhnya manusia ingin diperlakukan.

Melupakan atau mengabaikan ucapan terima kasih itu tidak hanya akan membuat kita terlihat buruk/kasar/tidak tahu diri di mata orang lain, tapi juga mengganggu perasaan dan pikiran orang lain. Jadi seberapa penting dan sibuknya kita, jangan pernah lupakan untuk bilang terima kasih kepada siapapun yang telah membantu, walaupun itu cuma hal kecil yang telah mereka lakukan untuk kita.

Mengapa ucapan terima kasih itu sangat penting? Mengapa kita jadi begitu terluka dan kecewa saat ada pihak yang tidak berterima kasih kepada kita? Bukankah itu cuma hal yang sepele, ya?

Saat kita mengucapkan “terima kasih”, itu artinya kita berterima kasih kepada individu karena telah ‘memilih’ untuk melakukan sebuah tugas atau aktivitas (yang kita minta) dengan mengorbankan waktu dan tenaga mereka. Sebaliknya, ketika kita abai, lupa tidak mengucapkan terima kasih kepada seseorang untuk menyelesaikan tugas/aktivitasnya tersebut, pasti ada rasa penyesalan di hati mereka. Pikirnya, “sudah dibantu, kok nggak ada bilang apa-apa, ya? Tahu gitu tadi aku ngerjain yang lain aja, ngapain ada di sini buat bantu-bantu mereka…”

Ucapan ‘terima kasih’ menunjukkan apresiasi dan penghormatan sekaligus indikasi bahwa kita peduli. Itulah sebabnya mengucapkan terima kasih itu penting buat orang lain. Dengan membuat orang lain merasa penting dan dihargai, sama saja kita telah mencerahkan hari seseorang dengan cara yang paling sederhana namun efektif.

Jadi, ucapan ‘terima kasih’ ternyata memiliki sebuah kekuatan yang ajaib. Sama halnya dengan kata ‘maaf’ dan ‘tolong’, yang walau terlihat seperti kata-kata ‘begitu doang’, tapi nyatanya mereka bekerja seperti sebuah shorthand yang bisa mengubah segalanya menjadi jauh lebih baik.

Terima kasih, juga bukan melulu berhubungan dengan materi. Seperti misalnya, ketika saya diminta untuk memandu sebuah acara, yang saya pikirkan pertama kali adalah, bagaimana acara itu berjalan dengan baik, lancar, dan sebisa mungkin minim kesalahan. Apalagi jika yang hadir adalah para pejabat tinggi, undangan dari instansi lain, atau pejabat lainnya setingkat menteri. Ketika acara berjalan dengan baik, lancar, dan sesuai dengan yang diharapkan, itu sudah memberikan kepuasan dan kelegaan tersendiri buat saya. Kalau misal ternyata pascatugas ada uang jasa/materi, buat saya itu adalah bonus. Kasarannya, kalau ada ya saya terima, kalau tidak ada pun tidak apa-apa.

Kadang saya suka iseng mikir, ada untungnya juga terbiasa bekerja secara probono, jadi yang ada dalam mindset saya adalah semua acara yang saya pandu sesungguhnya merupakan ajang latihan sekaligus penambah jam terbang/pengalaman. Intinya, selama bisa saya bantu, akan saya lakukan, dan sebisa mungkin saya maksimalkan. Tapi jika memang tidak bisa, atau kebetulan di luar kapasitas saya, saya pasti akan bilang, atau saya tangguhkan. Bagi saya saya profesionalisme itu bukan melulu diukur dari seberapa besar uang jasa yang saya terima, tapi
seberapa puas pihak yang menggunakan jasa saya, karena kepuasan user itu nilainya bisa lebih besar dari uang jasa yang saya terima.

Sejatinya kita adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain, dan tidak bisa hidup sendiri. Ucapan terima kasih itu adalah bagian dari etiket dan sopan santun dalam hidup sehari-hari, yang bisa dilakukan kapan saja, tidak perlu usaha berlebihan, dan gratis.

Percayalah, ketika kita terbiasa mengucapkan terima kasih atas hal-hal kecil yang sudah dilakukan orang lain dalam hidup kita, akan ada hal-hal lebih besar lainnya yang akan mengikuti. Memang tidak akan terjadi dalam sehari semalam. Tapi dengan memperhatikan hal-hal kecil semacam itu, kita akan menjadi lebih peka terhadap langkah-langkah kecil yang mengarah pada hal-hal yang lebih besar.

Sebagai manusia kita dikaruniai kepekaan untuk menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang pantas diucapkan dan mana yang tidak. Dan, salah satu cara agar kita dihargai oleh orang lain ya dari bagaimana cara kita menghargai orang lain.

Jadi, jangan pernah lupa mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang telah meluangkan waktu untuk membantu kita. Soal ikhlas atau tidak mereka membantu kita, biarkan itu jadi urusan mereka. Tapi ucapan terima kasih punya kekuatan mengubah mindset seseorang, bantuan yang tadinya tidak ikhlas bisa berubah jadi ikhlas, dan bantuan yang sudah ikhlas bisa jauh lebih ikhlas lagi.

“We must find time to stop and thank the people who make a difference in our lives”
– John F. Kennedy –

Buat kalian, terima kasih ya sudah membaca endapan pikiran dan emosi semi kontemplasi ini. Selamat berakhir pekan bersama orang-orang tercinta, ya…
[devieriana]

 

picture source:Pinterest

Continue Reading

Service Excellent (2)

Disclaimer : tulisan ini dibuat bukan bermaksud untuk membandingkan brand taksi yang satu dengan lainnya. Hanya sekedar berbagi pengalaman yang berkesan dengan seorang sopir taksi yang attitude-nya lain daripada yang lain.

—–

Dulu, sejak saya masih di Surabaya dan masih sering mondar-mandir ke Jakarta, saya sering menggunakan jasa layanan taksi berlambang burung biru terutama guna mengantarkan saya ke bandara pagi-pagi buta untuk mengejar first flight. Di beberapa kota besar selain Jakarta sepertinya citra perusahaan transportasi tersebut masih terbilang positif dan bahkan menjadi favorit semua orang. Tak terkecuali saya pada waktu itu.

Namun sejak berdomisili di Jakarta, ternyata citra tentang perusahaan transportasi favorit saya itu justru sebaliknya. Di Jakarta, taksi-taksi dengan brand non burung birulah yang jadi favorit penumpang. Alasannya kebanyakan karena sopir taksi burung biru kurang paham dengan jalanan ibu kota. Sebenarnya sih cukup bisa dipahami. Tingkat kesulitan untuk menghafal hampir semua rute jalanan ibu kota lebih besar ketimbang menghafal jalanan di daerah yang relatif lebih kecil. Untuk ukuran kota sebesar Jakarta dengan segenap gang, ceruk, dan lekukan, serta banyaknya nama daerah/jalan yang harus dihafal kurang memungkinkan untuk driver-driver yang kebanyakan masih muda dan mungkin belum pernah berpengalaman menjadi sopir taksi untuk langsung berjibaku di jalan raya. Walaupun semua itu tidak bisa dianggap sebagai pemakluman ya. Karena resiko terjun “berkarir” sebagai seorang sopir taksi ya harus tahu jalan. Kan nggak lucu kalau driver dan penumpangnya sama-sama nggak tahu jalan dan akhirnya nyasar berjamaah.

Nah, beberapa waktu yang lalu kebetulan saya pulang kantor naik taksi. Berhubung sudah lama berdiri di pinggir jalan dan taksi yang saya tunggu selalu penuh, akhirnya ya sudahlah saya putuskan untuk naik taksi burung biru yang lewat di depan saya. Awalnya sih sama saja, seperti biasa, tidak ada yang istimewa dengan pelayanan driver-nya. Hingga beberapa meter lepas dari kantor driver itu menunjukkan pelayanan yang “lain daripada yang lain”.

Kalau soal menyapa penumpang dan menanyakan arah tujuan sih sudah biasalah ya. Tapi kalau sampai menanyakan apakah AC-nya sudah cukup/kurang dingin buat saya, apakah tempat duduknya sudah cukup nyaman, atau ada beberapa greeting yang tidak biasa saya dengar, sepertinya dia memang berbeda . Kalau naik taksi kan biasanya kalau kita sudah naik ya sudah naik saja, tinggal menyebutkan tujuan kita kemana, ingin lewat mana, sampai di tujuan kita tinggal bayar sesuai dengan argo. Selesai. Tapi ketika kita bukan hanya sekedar diantar tapi juga ditanyakan apakah kita sudah cukup nyaman berada di dalam  taksinya. Itu yang tidak biasa.

Diam-diam di sela kesibukan saya memelototi timeline twitter, saya memperhatikan lagi si Bapak yang saya perkirakan berusia sekitar 40-an itu. Kalau pelayanannya seperti ini jangan-jangan memang perusahaan sedang ingin memperbaiki citra yang kurang bagus di mata konsumen nih. Bagus juga ide perubahannya. Pikir saya. Ah, saya benar-benar seperti seorang mistery shopper deh kalau begini. Itu lho, pihak independen yang bertugas menilai kinerja badan usaha (pihak) tertentu yang salah satunya bertujuan untuk mengukur/mengetahui tingkat kepuasan konsumen. Oh ya, ketika masih aktif di dunia pelayanan dulu saya juga sering bertindak sebagai seorang mistery shopper/caller untuk mengukur seberapa jauh pengetahuan mereka tentang produk, bagaimana cara mereka melayani pelanggan dengan berbagai macam karakter, bagaimana cara penyelesaian mereka ketika menangani kasus tertentu, dll..  *pasang topeng* ;))

Beberapa saat kemudian, menjelang Bundaran Hotel Indonesia, tiba-tiba handphone Si Bapak itu berbunyi nyaring. Lagi-lagi saya dibuat terkesima dengan attitude beliau. Sebelum menerima telepon ternyata dia meminta izin apakah saya berkenan jika dia menerima telepon saat itu. Kalau driver lain mah boro-boro minta izin, kadang nyetir juga ada yang disambi sms-an kok :|.

Driver : mohon maaf Ibu, saya mohon izin menerima telepon, boleh?
Saya : oh, silakan Pak.. *bengong*
Driver : terima kasih..

Tak lama, terdengarlah konversasi antara Bapak itu dengan seseorang di ujung sana :

Driver : selamat sore, Pak.. Iya, bisa dibantu? Saya sekarang sedang mengantar tamu, Pak. Benar sekali. Mohon maaf, bisa kita sambung lagi nanti, Pak? Atau nanti saya yang akan menghubungi Bapak kembali.. Baik, Pak. Terima kasih. Selamat sore..

Wow. Saya seperti mendengar seorang mantan petugas call centre atau customer service officer deh. Saya paham betul diksi dan gaya bahasa yang teratur rapi seperti itu. Kira-kira Si Bapak ini baru ikut training, sengaja berimprovisasi, atau memang pembawaannya seperti itu ya? Satu hal lagi yang membuat saya saya salut adalah beliau membahasakan saya dengan sebutan “tamu”, bukan “penumpang”. Itu yang selama ini jarang saya dengar.

Tidak hanya berhenti disitu saja ternyata. Di akhir perjalanan, mendekati tempat yang saya tuju Bapak itu menyampaikan sebuah greeting penutup :

“Sebentar lagi Ibu akan sampai di tempat, silakan diperiksa kembali barang bawaan Ibu, jangan sampai ada yang tertinggal. Jika selama perjalanan ada tingkah laku kami yang kurang berkenan, kami mohon maaf. Terima kasih telah menggunakan layanan kami, selamat sore. “

Speechless sayanya. Berasa naik pesawat yah ;)). Sebagai orang yang pernah lama menjalani pekerjaan di bidang pelayanan konsumen menjadikan saya jauh lebih peka. Beginilah seharusnya pelayanan sebuah perusahaan transportasi besar, tidak hanya sekedar mempekerjakan driver yang memiliki skill menyetir dan mengantarkan tamu/penumpang dengan selamat sampai tujuan, tapi juga juga membekali mereka dengan soft skills, pengetahuan tentang etika, dan standar pelayanan. Hal yang remeh sih ya, cuma sapaan doang. Tapi itu membuat saya harus memberi acungan jempol untuk pelayanan Bapak itu. Beliau tahu bagaimana cara memberikan service excellent. Pelayanan prima, pelayanan yang melebihi ekspektasi konsumen. Terlepas dari apakah itu hasil training (pendidikan) sebelum mereka diterjunkan ke jalan raya, ataukah memang improvisasi beliau sendiri.

Setelah kejadian itu, saya jadi penasaran untuk naik lagi brand taksi yang sama dengan yang saya naiki waktu itu. Tujuannya hanya satu yaitu untuk membuktikan apakah saya akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan waktu saya naik taksi yang kapan hari. Iseng banget yah? :p

Hasilnya? Tidak ada satu pun yang memberikan hal yang sama dengan Bapak itu. Setelah menanyakan tujuan saya kemana, mereka kebanyakan ya lanjut saja. Tidak ada obrolan atau sapaan sekedar menanyakan AC, menanyakan kenyamanan saya, meminta izin ketika akan menerima telepon, atau menyampaikan salam ketika saya akan tiba di tempat tujuan.

Kalau iya itu adalah salah satu cara membentuk/memperbaiki citra perusahaan ya seharusnya semua attitude sopir taksinya sama dong? Lha wong dari satu label perusahaan, kenapa yang satu bisa bagus banget, sedangkan yang lainnya biasa banget? Tapi buktinya tidak begitu. Hanya satu saja yang seperti tadi.

Atau, ini misalnya ya, semua salam itu adalah bagian dari salah satu “aturan khusus” bagi driver senior dengan level tertentu tapi buktinya waktu saya di Bandung dan kebetulan menumpang brand taksi yang sama tapi pelayanannya kok nggak gitu ya? Saya sempat melihat identitas Si Bapak Driver (yang memang santun ini) levelnya sudah Ketua Group, tapi saya tidak melihat ada hal istimewa ketika membawa kami hingga ke tujuan tuh :-?. Saya dan Si Hubby bahkan sempat saling berpandangan ketika Si Bapak ini tetap menerima telepon ketika  Blackberry-nya berdering (tanpa izin-izinan pada kami) , menginformasikan tentang adanya interview calon driver kepada penelepon di ujung sana. Nah lho.. jadi sebenarnya tidak ada bedanya dong apakah dia seorang driver junior atau senior, apakah dia anggota group atau ketua group, kan?

Ah ya, sayang sekali saya tidak mencatat identitas Si Bapak Driver yang sudah memberikan pelayanan sempurna kapan hari. Kalau ada, sepertinya saya harus merekomendasikan Bapak itu agar bisa menjadi panutan bagi rekan kerja lainnya.

Anyway, you did a good job, Sir! :-bd


[devieriana]

 

Continue Reading

Pintar saja tidak cukup!

Selepas upacara kemarin seperti biasa saya kembali disibukkan dengan pekerjaan rutin menangani berkas-berkas dan hal persuratan lainnya. Seperti biasa pula si bapak suka mampir ke kubikel saya untuk sekedar ngobrol, atau iseng melihat-lihat surat masuk.

Sampai akhirnya beliau membaca sebuah surat tentang permohonan izin tugas belajar keluar negeri.

Bapak : “oh, mau sekolah lagi tho? Bapak ini pinter orangnya.. “

Saya : “oh ya? beliau mau ambil S3 ya, Pak?”

Bapak : “iya, walaupun pinter tapi ada satu hal yang disayangkan. Dia kurang bisa membangun hubungan dengan orang lain. Hubungan interpersonalnya kurang bagus..”

Saya : “maksudnya gimana tuh, Pak? :-B”

Bapak :“jadi pegawai negeri itu jangan cuma pinter. Istilahnya, pinter saja nggak cukup..”

Saya : “maksudnya gimana sih pak? bingung sayanya..8-|”

Bapak : “iya, kamu kalau jadi pegawai negeri jangan cuma pintar secara akademis, hubungan interpersonal dengan orang lain juga bagus, mampu bekerjasama dengan orang lain.. “

Saya : “oh gitu. Lah, kalau soal itu ya bukannya tidak hanya berlaku buat PNS aja, Pak. Menurut saya sih itu berlaku buat semua. Intinya kehidupan yang berimbang gitu kan, Pak? Tapi aku pernah ketemu sih pak sama tipikal orang-orang yang kaya bapak maksud itu..”

Bapak : “iya, jadi, kalau kamu nggak bisa bekerja sama dengan orang lain di lingkungan kerja, ya pantesnya kerja jadi Staf Ahli aja..”

Saya : “emangnya kalau Staf Ahli itu gimana kerjanya?”

Bapak : “ya dia akan kerja sendiri. Itulah kenapa tadi saya bilang pintar saja nggak cukup..”

Si bapak lalu meninggalkan saya untuk menjawab telepon di ruangannya dengan sejuta tanda tanya, tsaahh ;)). Jujur percakapan singkat yang menggantung itu membuat saya jadi mikir panjang dan bertanya-tanya sendiri. Apa sih sebenarnya yang ingin disampaikan oleh si Bapak? Pintar itu ukurannya apa? IPK yang tinggi? Lulusan perguruan tinggi ternama atau universitas luar negeri? Lalu maksud dari kalimat “pintar saja nggak cukup” itu apa? Berkenaan dengan attitude? Salah penempatan posisi/jabatan pekerjaan dengan kepribadian? Hmm.. 😕

Memang cara yang paling mudah untuk bisa mengukur tingkat kepandaian seseorang secara hitam diatas putih adalah dengan melihat paparan nilai A, B, C, D , E yang tertera diatas selembar kertas transkrip. Tapi setelah diaplikasikan dalam pekerjaan apakah iya nilai-nilai itu mampu berbicara banyak? Sepertinya kok belum tentu ya../:)

Terkadang para pemimpin dan orang-orang yang berhasil di bidangnya itu bukan berasal dari orang-orang yang nilai akademisnya tinggi, namun justru mereka-mereka yang memiliki tingkat kepedulian terhadap sesama yang tinggi, empati dan loyalitas persahabatan yang kuat, serta perasaan cinta kasih yang luar biasa. Tapi sayangnya banyak perusahaan/instansi yang belum sepenuhnya menyadari hal ini sehingga mereka hanya berpatokan pada nilai akademik yang tinggi dan kemudian menempatkan orang-orang yang mereka anggap “pintar” itu di sebuah posisi yang belum tentu sesuai dengan kepribadiannya. Karena nyatanya belum tentu orang yang pintar itu memiliki kecenderungan mental/attitude yang sesuai dengan tempat kerja dan jenis pekerjaan tertentu. Sehingga rasanya perlu ada upaya cerdas yang mampu mengubah cara pandang nilai akademik sebagai satu-satunya tolok ukur kepandaian seseorang.

Oh iya, dulu saya pernah baca tentang sosok orang yang opsional dan prosedural. Orang opsional akan menganggap orang prosedural itu terlalu birokratis, terlalu terpaku pada teori, bertele-tele dan kurang luwes ketika mengambil kebijakan. Sedangkan orang prosedural akan menganggap orang opsional itu tidak punya pendirian, plintat-plintut, kurang bisa mempertahankan ide dan gagasan yang sudah disampaikan, terlalu excuse, karena pada dasarnya tipikal seperti mereka-mereka ini biasanya mahir dalam hal menerjemahkan ide dan gagasan dalam skema yang berurutan. Namun uniknya orang-orang tipikal opsional yang cenderung kreatif dan banyak ide ini tidak semuanya bisa menjalankan gagasan atau ide yang sudah dibuatnya, sehingga mereka membutuhkan bantuan orang-orang dengan tipe prosedural yang lebih sistematis. Jadi sebenarnya keduanya sama baiknya, sama-sama saling menunjang. Karena sesungguhnya manusia itu mahkluk yang unik, punya kelebihan, kekurangan, dan kecenderungan masing-masing. Jadi, bagian HRD sepertinya juga harus jeli melihat hal-hal yang seperti ini ya, jangan asal menempatkan orang yang dianggap pintar tapi ternyata kurang sesuai dengan kepribadiannya. 🙂

Tapi bukan berarti berorientasi dapat IPK tinggi itu sudah nggak penting ya. Kita tetap harus berusaha secara maksimal dong, do the best lets God do the rest. Namun jangan sampai lupa juga, bahwa hidup kita bukan hanya tergantung dari besaran nilai akademis saja, lebih dari itu perkayalah dengan skill dan kreatifitas yang bisa menunjang bidang pekerjaan yang kita minati nantinya. Oh ya satu lagi, cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan bidang pekerjaan kita.

Jadi kesimpulan global untuk percakapan singkat kemarin pagi :

“Menjadi orang yang pintar secara akademis itu bagus, tapi akan lebih bagus lagi jika juga ditunjang dengan pribadi dan attitude yang menyenangkan dalam pergaulan.. :-bd”

[devieriana]

Continue Reading