Yakin Mau Jadi PNS?

 

“Keluarkan gadget kalian, dan coba tuliskan apa cita-cita kalian ketika masih SMA!”

Serentak, para CPNS yang sedang mengikuti kegiatan on boarding mengikuti perintah menteri mereka. Cita-cita semasa SMA dituliskan pada sebuah situs yang bisa diakses dari gawai masing-masing. Tak berapa lama, cita-cita itu tampil di layar proyektor lengkap dengan angka persentase. Hasilnya sedikit mencengangkan. Di antara sekian banyak bidang pekerjaan, PNS mendapat persentase paling besar.

Saya bertanya dalam hati, apakah jawaban mereka jujur atau hanya karena ditanya oleh seorang menteri? Apa iya, daya tarik PNS sebesar itu bagi kalangan remaja usia sekolah menengah sekarang? Apa benar, PNS menjadi pekerjaan impian millenials yang sedang —jika kata ini boleh dipakai secara longgar— idealis-idealisnya?

Entahlah.

Sedikit flashback ke masa SMA, saya sama sekali tidak pernah bercita-cita menjadi PNS. Terbersit pun tidak. Saya justru ingin berkarier sebagai bankir, public relation, atau psikolog. Walaupun akhirnya takdir berkata lain.

Tren memang bisa berubah kapan saja. Pekerjaan yang dulu diidolakan, bisa saja menjadi paling sedikit peminatnya. Sebaliknya, pekerjaan yang dulu dianggap remeh, justru menjadi karier impian anak muda.

***

Sejak terlibat sebagai panitia rekrutmen, saya jadi lebih paham karakter millenials ini. CPNS zaman sekarang tak bisa lagi diberi kurikulum pembekalan yang sama dengan angkatan sebelumnya. Era mereka berbeda jauh dengan generasi-generasi sebelumnya termasuk aneka problematika dan drama yang menyertainya.

Ada beberapa pengalaman unik mengenai CPNS millenials ini. Obrolan saya bersama Aji, misalnya. Sebelumnya, ia pernah menjadi karyawan di beberapa perusahaan swasta dengan core business berbeda-beda. Pekerjaan terakhirnya bahkan menjadi pengemudi angkutan online.

Long story short, sehari setelah menjalani program on boarding, ia mengirimkan pesan singkat melalui Whatsapp. Aji mengisyaratkan ketidaksanggupannya. Menjadi PNS menurutnya melelahkan, ditambah lagi jam kerja yang berantakan. Kalau boleh, ia ingin mengajukan mutasi ke daerah. Atau, kalau tidak boleh, lebih baik mengundurkan diri.

Selama saya menangani rekrutmen, rasanya baru kali ini ada CPNS yang belum sempat mendapat penugasan apa-apa, sudah mengeluhkan (bakal) pekerjaan. Ia galau setelah mendengar cerita dari senior-seniornya. Itulah yang membulatkan tekadnya untuk mundur.

Keesokan harinya, Aji minta izin bertemu. Mungkin supaya ngobrolnya lebih enak. Sebagai seorang kakak angkatan yang lebih dulu berkecimpung di dunia per-PNS-an, saya berbagi pengalaman sebisa saya. Saya berikan contoh-contoh umum dan sederhana sambil sesekali memberi motivasi dan semangat.

Saya berusaha membuka pikirannya bahwa pekerjaan apa pun pasti punya risiko. Ada enak dan enggaknya. Baik pegawai pemerintah maupun pekerja di sektor swasta, baik kantoran maupun freelancer. Harapan saya dari sharing session itu sederhana, ia mempertimbangkan ulang rencana pengunduran diri dan kembali fokus menjalani masa probation.

Rupanya obrolan dengan para senior di unit kerjanya merasuki otaknya lebih dalam ketimbang obrolan dengan saya. Sepanjang obrolan berlangsung, beberapa kali Aji menanyakan hal yang sama: apa saja syarat mutasi ke daerah, atau bagaimana prosedur pengunduran diri, alih-alih memperbaiki niat untuk kembali bekerja.

Alasan lain, Aji ingin menjaga ibunya di kampung halaman.

Lo, kalau memang niat awalnya ingin fokus merawat orang tua, kenapa sejak awal tidak mendaftar CPNS pemerintah daerah atau kementerian/lembaga yang memiliki kantor lebih dekat dengan domisili? Bukan kementerian/lembaga pusat yang sudah pasti bekerja di Jakarta?

Ia menambahkan passion-nya bukan di bidang pelayanan, apalagi keprotokolan. Aji lebih tertarik menjadi guru SD ketimbang petugas protokol. Ia mengaku tidak sanggup pulang larut malam, dinas ke luar kota atau luar negeri setiap hari, sehingga tak ada waktu berkumpul dengan keluarga. Omong-omong, ia belum berkeluarga. Usianya pun masih 25 tahun.

Kalau memang bercita-cita menjadi guru, kenapa tidak melamar formasi di Kemendikbud?

Ia menuturkan, rekrutmen CPNS tahun lalu tidak ada formasi di kementerian lain yang sesuai latar belakang pendidikannya. Ia lulusan D-3 Komunikasi.

Saya penasaran dengan semua alasan yang ia kemukakan, apa sih motivasinya melamar sebagai petugas protokol selain latar belakang pendidikan?

“Ya, karena dalam bayangan saya, jadi petugas protokol itu keren, Mbak…”

Duh!

Alasan lain yang tak kalah nggak nyambung adalah “saya juganggak menguasai public speaking”. Omong-omong, petugas protokol itu tidak pernah disyaratkan menguasai public speaking, lo! Justru seorang gurulah yang wajib punya skill public speaking.

“Ya, tapi kan cuma ngomong ke anak SD ini, Mbak. Lebih gampanglah. Beda kelas public speaking-nya dengan ke orang dewasa”, kilahnya.

Saya gemas meski akhirnya memaklumi. Apa pun itu, bagaimana pun itu, kalau pada dasarnya sudah tidak mau, enggan, tidak suka, alasan bisa dicari. Tak peduli logis atau tidak.

Beberapa CPNS lain yang sempat mengajukan surat pengunduran diri juga membuat alasan yang kurang masuk akal seperti ingin berkarier di swasta. Lo, kalau memang ingin kerja di swasta, kenapa ikut seleksi CPNS?

Ada juga yang beralasan akan mengikuti calon suami yang akan ditugaskan ke luar daerah. Eh, gimana? Calon suami? Calon?

Alasan yang tak kalah ajaib, seorang CPNS menyesal ikut seleksi karena sama saja membuka peluang korupsi. Menurutnya, PNS rentan dengan penyelewengan uang negara. Dia tak mau menjadi bagian penyelewengan itu.

Soal penyelewengan dan korupsi, sebenarnya, siapa saja berpeluang tanpa melihat status PNS atau karyawan swasta. Semua sejatinya tergantung iman, niat, kesempatan, dan kerja sama tim. Kalau memang ada niat, kesempatan bisa dicari, kerja sama bisa diupayakan, penyelewengan mungkin terjadi. Dan lagi, jika memang korupsi itu mudah, tentu banyak yang sudah kaya raya sejak masih CPNS.

***

Konon, millenials adalah generasi digital. Mereka lahir dan tumbuh besar dengan mengakrabi teknologi informasi. Jadi, kenapa sebelum melamar sebuah formasi pekerjaan, tidak googling dulu untuk mencari informasi? Setidaknya, supaya memiliki gambaran bagaimana bentuk, ritme, dan hal-hal teknis lain tentang formasi pekerjaan yang ingin dilamar.

Sebagai tambahan informasi, ketika seorang CPNS mengundurkan diri sebelum pemberkasan, panitia masih berhak mengajukan pengganti. Peserta dengan urutan satu tingkat di bawahnya masih punya peluang dimintakan Nomor Induk Pegawai (NIP) ke Badan Kepegawaian Negara. Namun, jika CPNS mundur setelah NIP jadi, formasi yang ia tinggalkan otomatis kosong sampai ada seleksi CPNS berikutnya. Itu pun kalau tak ada moratorium.

PNS memang tak selamanya enak. Ada kalanya mengalami hari sibuk penuh meeting seharian (baik internal maupun eksternal). Pulang larut malam karena deadline atau ada pekerjaan yang mendesak harus diselesaikan. Ada juga yang karena rumahnya jauh, pulang kemalaman, ia harus menginap di kantor. Pun tak sedikit yang terpaksa ngantor di hari libur karena tumpukan pekerjaan tak mungkin selesai di hari kerja.

Menjadi karyawan swasta pun saya kira sama. Bahkan pressure, standar, maupun target kerja di swasta bisa jadi lebih berat. Perusahaan dapat men-terminate-kan karyawan sewaktu-waktu karena performanya tak sesuai dengan harapan perusahaan. Sementara PNS, pemberhentiannya tidak semudah membalik telapak tangan karena rigiditas berbagai peraturan.

Tentu semua tergantung jenis pekerjaan dan unit kerja masing-masing. Tak semua atau setiap hari harus begitu juga. Intinya, pekerjaan apa pun pasti butuh kekuatan mental dan stamina. Itu yang belum tentu dimiliki oleh semua orang.

Ada baiknya pertimbangkan baik-baik sebelum melamar sebuah pekerjaan, sebijaksana mungkin. Termasuk memilih CPNS. Jangan melamar karena tren semata atau sekadar memenuhi permintaan keluarga. Setiap orang berhak menentukan masa depan karena diri sendirilah yang akan menjalani. Jika merasa enggan atau sangsi, lebih baik tidak mengikuti seleksi sejak awal.

Pilihlah pekerjaan yang sesuai bakat dan minat sehingga dapat bekerja dengan gembira, potensi diri jauh lebih tergali, dan karier berkembang maksimal. Kebanyakan orang berpikir, kesuksesan di tempat kerja akan membuat mereka bahagia. Padahal, saya yakin yang benar justru sebaliknya: kebahagiaan terhadap pekerjaanlah yang mengantar kita pada kesuksesan. Esensi sebuah pekerjaan sesungguhnya adalah ketika pekerjaan itu memberi nyawa bagi yang menjalani.

Jadi, yakin masih mau jadi PNS?

 

Continue Reading

Mendadak Dirigen

Paduan Suara Lembaga Kepresidenan

Menjadi dirigen sebenarnya bukan hal baru bagi saya. Sejak di Sekolah Dasar saya sering ditunjuk sebagai dirigen di setiap upacara bendera atau lomba paduan suara antarsekolah.

Saya pikir, menjadi dirigen sudah berhenti sampai di bangku sekolah saja. Tapi ternyata, sampai saat ini saya masih sering diminta untuk menjadi dirigen di acara-acara yang mengharuskan audience menyanyikan lagu Indonesia Raya secara acapella (tanpa iringan musik).

Sebenarnya saya sendiri bukan anak paduan suara. Dulu zaman masih sekolah, ketika diminta memilih ekstrakurikuler, sekalipun ada opsi paduan suara, saya selalu mengambil ekstra kurikuler lainnya. Bahkan di kantor pun, ada paduan suara (Paduan Suara Lembaga Kepresidenan), saya juga tidak pernah bergabung secara resmi di sana. Sampai akhirnya, di pertengahan November 2017, ada sebuah momen di mana secara tidak langsung mengajak saya bergabung dengan paduan suara kantor untuk yang pertama kalinya.

Jadi ceritanya, ada undangan lomba paduan suara antar kementerian/lembaga dalam rangka peringatan HUT Ke-46 KORPRI yang akan diselenggarakan di Balairung SoesiloSoedarman, Kementerian Pariwisata pada tanggal 21 November 2017. Sebenarnya dirigen reguler sih sudah ada, tapi karena alasan tertentu beliau memilih untuk menyanyi, sehingga teman-teman paduan suara meminta saya untuk men-support kegiatan ini dengan cara menjadi dirigen. Semacam dirigen caburtan, gitu.

Antara ragu dan yakin, saya mengiyakan. Ya, anggap saja tambah pengalaman. Walaupun sudah sering tampil di mana-mana, namun lomba ini merupakan lomba pertama yang diikuti oleh Paduan Suara Lembaga Kepresidenan.

Jujur, dalam hati sih, saya agak ragu melihat persiapan yang sangat minim ini. Bagaimana tidak, di tengah waktu latihan yang super mepet, ditambah dengan personel yang minimalis pula lanaran banyak yang sedang dinas luar kota, kita tetap harus tampil maksimal. Ya, walaupun tidak ada tuntutan tertentu dari kantor, tapi tetap saja, namanya pergi dengan membawa nama instansi pasti ada beban tersendiri.

Lagu yang wajib dibawakan di babak penyisihan adalah Mars Korpri. Pssst, walaupun saya sudah jadi PNS selama kurang lebih 9 tahun, belum pernah menghafalkan Mars Korpri, lho. Ya kalau sekadar dengar sih pasti pernah, ya. Setahun sekali, itu pun ketika upacara peringatan Hari Korpri di kantor.

Berbekal video di youtube, saya menghafal lirik dan lagu Mars Korpri di mana pun saya berada. Di mobil, di ruangan, di atas motor ojek online, di kamar mandi, di mana pun, demi mengejar ketertinggalan saya. Saya sempat berseloroh begini, “mungkin Tuhan ingin saya hafal Mars Korpri dengan cara seperti ini, ya. Hiks…” Hihihihik. Saking mepetnya waktu, Pemirsa.

Di hari H, kami tampil apa adanya, nyaris tanpa beban, menyanyi saja. Semacam sadar diri karena keterbatasan personel dan waktu yang kami miliki. Tapi tentu itu bukan alasan untuk tidak tampil maksimal, bukan?

Setelah menghitung komposisi nilai, dewan juri yang terdiri dari Marusya Nainggolan, Sujasfin Judika Dewantara Nababan, dan Joseph Suryadi, akhirnya mengumumkan 10 besar penampil yang berhak maju ke babak final, tanggal 23 November 2017.

Alhamdulillah, kami dinyatakan sebagai salah satu peserta yang masuk final. Keputusan yang sebenarnya dua sisi mata uang. Antara senang dan deg-degan. Senang karena masuk final, deg-degan karena kami belum tahu mau nyanyi lagu apa di 2 hari berikutnya, hahaha… Parah, ya? Emang…

Long story short, di babak final ini kami diminta untuk menyanyikan lagu daerah atau perjuangan. Setelah melalui perdebatan dan drama ini itu, akhirnya… taddaa… kami pun memilih lagu Indonesia Jaya, dengan menggunakan kostum baju adat berbagai daerah di Indonesia seperti dari Papua, Bali, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan,NTT, dan Aceh. Berasa mau ikut karnaval. Tapi seru, sih. Jarang-jarang pakai kostum begini, kan?

Nah, di babak final inilah kami pasrah sepasrah-pasrahnya. Apapun keputusan dewan juri pastilah itu yang paling baik dan paling objektif. Di sesi ini banyak peserta yang tampil bagus dan all out! Sepertinya mereka memang sudah mempersiapkan ikut kegiatan ini sejak jauh hari, sudah terbiasa ikut lomba, dan tampil dimana-mana. Jadi kalau peserta lainnya sudah siap dengan materi yang nyaris sempurna sepertinya tidak perlu terlalu heran, ya.

Di setiap pertandingan/perlombaan pasti akan ada yang menang dan ada yang kalah. Dan setiap usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Tahun 2017 masih belum menjadi tahun keberuntungan bagi Paduan Suara Lembaga Kepresidenan di ajang lomba paduan suara. But, it is a good start. Tetap bisa kami terima dengan besar hati, kok. Berhasil masuk final tanpa latihan yang maksimal itu saja sudah bonus luar biasa bagi kami. Jadi kalau misalnya belum menang karena keterbatasan ini itu ya harus mau tidak mau harus diterima dengan legawa. Mungkin tahun depan bisa lebih baik lagi, asalkan persiapannya jauh lebih baik dan lebih matang lagi dari pada tahun ini.

Saya juga bersyukur mendapatkan kesempatan, ilmu, dan teman-teman baru di Paduan Suara Lembaga Kepresidenan ini. Sebuah kehormatan juga bagi saya dipercaya menjadi seorang dirigen.Bayangkan saja, saya bukan anggota paduan suara, yang jelas tidak pernah ikut latihan sama sekali, lagunya pun saya baru tahu menjelang lomba, tapi tiba-tiba dipercaya untuk memimpin teman-teman yang sudah senior, dan sudah sering latihan sebelumnya. Kalau bukan karena percaya, saya tidak akan berdiri di panggung yang sama bersama mereka.

Sekali lagi, terima kasih untuk kepercayaan kalian, guys! Semoga paduan suara ini kelak menjadi paduan suara yang lebih solid dan keren lagi ke depannya. Aamiin…

 

[devieriana]

 

Foto: Humas Setkab

Continue Reading

Drama Klenik dan Jimat CPNS

klenik

Jarum jam memang baru menunjuk angka 06.30 tetapi para peserta ujian sudah bergegas memadati Pusdiklat Kementerian Sekretariat Negara. Itu adalah hari pertama dari enam hari yang dijadwalkan sebagai hari Seleksi Kemampuan Dasar yang diadakan minggu lalu. Wajah-wajah kuyu mereka adalah komposisi antara gelisah, tegang, mata panda, dan lelah.

Namun, ada juga yang (mencoba) terlihat santai dan siap tempur. Sembari menunggu, beberapa terlihat khusyuk membenamkan diri pada buku Super Jitu Lolos Tes CPNS Sistem CAT. Beberapa yang lain mengalihkan ketegangan dengan scroll-scroll linimasa media sosial. Ada juga yang mengobrol melalui pesan singkat di gawai masing-masing. Tak sedikit juga yang menenangkan diri dengan merapal doa.

Ada lima sesi ujian dalam satu hari. Satu sesi membutuhkan kurang-lebih 90 menit. Masing-masing sesi diikuti oleh 120 peserta yang dibagi ke dalam 3 kelas. Peserta hanya diperkenankan membawa kartu peserta ujian dan KTP. Barang-barang yang tidak ada kaitannya dengan ujian, termasuk uborampe, kami minta peserta untuk menyimpannya sendiri di tas masing-masing.

Peserta tak perlu membawa alat tulis. Pensil dan kertas buram sudah disediakan oleh panitia di samping komputer masing-masing. Sebelum tes, peserta kami brief terlebih dahulu agar memiliki pemahaman dan persepsi yang sama tentang sistem ujian, terutama passing grade yang bagi sebagian besar peserta tentu masih asing.

***

Menjadi panitia rekrutmen kalau cuma begitu-begitu doang pasti akan sangat membosankan. Agar tetap semangat dan seru, kami pun memberi julukan kepada diri sendiri dengan tagar layaknya clicktivism di Twitter. Ada banyak julukan, sebenarnya, tetapi biar tulisan ini tak terlalu panjang, hanya sebagian yang akan disebut di sini.

#PanitiaMistis adalah julukan untuk panitia yang kebetulan diberi indra keenam. Mereka bisa melihat barang-barang halus yang tak terlihat oleh mata manusia biasa. #PanitiaMedis adalah julukan bagi paramedis. Berhubung sudah memasuki musim penghujan, harus ada #PanitiaOjekPayung yang siap sedia menjemput peserta yang terjebak di masjid sebelah.

#PanitiaWirausaha diberikan untuk panitia yang punya inisiatif membantu peserta ujian, seperti meminjamkan sepatu, mengelem sepatu peserta yang lepas solnya, meminjami sandal ketika ada peserta yang cedera kaki, sampai membayari tukang ojek yang ditinggalkan begitu saja oleh peserta yang lupa membayar karena saking gugupnya.

Dan #PanitiaRentalKostum untuk panitia yang rela meminjamkan kemeja putihnya bagi peserta yang salah kostum. Jangan salah, ada peserta yang mengenakan blus tanpa lengan. Mau ikut ujian atau ke mall, Non? Sayangnya, sebagian orang memang seolah terlahir dengan sense of belonging melebihi rata-rata manusia lain. Ada peserta yang seperti ini. Kemeja putih yang dipinjamkan oleh panitia, lupa dikembalikan. Biasanya kalau sudah nyaman memang suka begitu, pura-pura lupa.

Banyak kejadian unik, seru, sekaligus emosional selama Seleksi Kemampuan Dasar ini. Berhubung yang paling menyita perhatian warganet adalah tagar #PanitiaMistis, cerita kali ini akan sedikit bercerita tentang hal-hal klenik yang dilakukan oleh peserta ujian CPNS.

Dibanding kementerian lain yang kleniknya cenderung ekstrim, di kementerian kami kleniknya nisbi lebih halus. Saking halusnya, kebanyakan klenik tersebut bahkan tak kasat mata. Mungkin para peserta klenik (sebut saja begitu) sudah belajar dari pengalaman, jimat pasti akan disita oleh panitia. Mereka pun membawa varian lainnya.

Seperti ketika membantu panitia di bagian penitipan barang, saya mengangkat salah satu tas peserta dan berkomentar tas mereka berat-berat. Selain rata-rata berasal dari luar kota, sebagian dari mereka memang pekerja. Barangkali ada yang sengaja membawa pekerjaannya di dalam tas. Ndilalah, panitia lain nyeletuk, “Ya iyalah berat, wong bawaannya pada disimpen di dalam tas.”

Butuh loading selama beberapa detik sebelum saya memahami ‘bawaan’ yang dimaksud adalah barang-barang klenik. Saya meletakkan tas-tas itu kembali ke tempatnya. Kali itu tanpa komentar lagi.

Di salah satu sesi body screening, ada peserta yang kedapatan membawa kain kasa putih. Kain selebar dua ruas jari tangan itu dijahit rapi dan dimasukkan ke dalam saku kemeja.

“Ini apa, Mbak?”

“Oh, cuma kertas biasa, kok.”

“Boleh dikeluarkan?”

“Hm, ini sebenarnya cuma kertas aromaterapi aja, Kak.”

“Tadi katanya kertas biasa, sekarang aromaterapi. Silakan dikeluarkan, kamu simpan di dalam tas. Nggak perlu dibawa ke dalam kelas, ya.”

Aromaterapi yang lain berupa uang Rp100 ribu dengan wangi yang kebangetan. Bagi panitia yang awam, pasti lebih mudah untuk berbaik sangka. Mungkin uangnya tertumpahi minyak nyong-nyong. Tak begitu bagi panitia yang dikaruniai ketajaman mata batin. Hal-hal semacam itu jelas menyangkut bentuk yang di luar kewajaran. Jimat-jimat itu bisa ditemukan di beberapa tempat: ujung sepatu, gesper, ujung kemeja, saku, dan lokasi lain yang (harapannya) sulit dijangkau mata panitia.Di antara peserta yang ditemukan membawa jimat, ada yang keukeuh tak ingin gelangnya dilepas.

“Ini gelang adat, Mbak. Kalau boleh, saya ingin tetap pakai”, katanya.

“Ya silakan saja kalau mau dipakai. Paling nanti juga nggak boleh ikut ujian”, kata panitia body screening.

Mendengar itu, gelang tersebut dilepas juga walau dengan wajah bersungut-sungut.

Gila! Yang tadi gede banget! kata panitia A.

Apanya? tanya panitia B.

Leaknya!

Buset!

Beberapa panitia memang kebetulan bisa melihat apa saja wujud yang dibawa atau menyertai peserta. Bahkan ada drama perang tak kasat mata antara salah satu panitia dan makhluk bawaan peserta yang tidak mau meninggalkan tuannya. Dan ndilalah, peserta itu kok yang sedang saya body screening. Duh! Untungnya tak terjadi apa-apa.

Sempat ada guyonan di antara para panitia, “Sebenernya yang ujian ini bukan cuma pesertanya, dukunnya pun sedang ujian. Semacam uji kompetensi antardukun yang akan menentukan karier dukun itu selanjutnya di bidang perklenikan.”

Kepala Biro kami kebetulan juga dikaruniai penglihatan halus. Sebelum sesi body screening, tumben beliau meminta para petugas mengenakan gloves latex yang biasa dipakai oleh panitia medis. Alasannya supaya tangan tetap steril. Namun, apa yang terjadi seusai sesi body screening adalah horor. Gloves latex salah satu panitia berubah warna menjadi hijau kecokelatan. Sementara gloves panitia lain baik-baik saja.

“Ini karena aku tadi ngelepas bawaannya peserta. Selain kertas aromaterapi tadi, di sesi ini ada juga yang (kleniknya) disimpan di kunciran rambut. Tadi aku sempat raba rambut peserta, kan? Karena ada sesuatu yang sengaja diletakkan di situ.”

Yassalam, sampai segitunya!

***

Klenik sebenarnya bukan hal baru yang harus disikapi berlebihan. Faktanya, kepercayaan terhadap jimat bukan hanya terjadi di Indonesia. Studi yang secara periodik dilakukan di negara-negara Barat tentang hal berbau superstitious/mistis menyatakan, orang Amerika dan Eropa pun melakukan hal yang sama. Artinya, lelaku mistis bukan hanya monopoli orang Indonesia. Bedanya, irasionalitas di negara Barat tidak ditunjukkan/didemonstrasikan ke luar secara terang-terangan walaupun di akar rumput tetap percaya dan melakukannya. Berbeda dengan di Indonesia yang jauh lebih terbuka.

Ketika ada lowongan CPNS, jasa klenik menjadi peluang bisnis musiman yang cukup menjanjikan. Pasar persaingan sempurna dalam bidang perklenikan terbuka lebar. Segmen pasarnya tentu para peserta tes CPNS. Komoditasnya apa lagi kalau bukan janji jaminan lolos tes CPNS tanpa mumet melalui media bernuansa mistis. Ya, the name is also effort, siapa tahu ada yang percaya. Eh, ternyata banyak. Alhamdulillah ya, laku.

Ada salah satu follower di Twitter berkomentar, “Kenapa jimat nggak boleh dibawa ke dalam ruangan ujian, Mbak? Biar aja, sih. Kan jimat termasuk kearifan lokal. Emangnya ngaruh?”

Nah, same question goes to you: kenapa harus membawa jimat, emangnya ngaruh?

Umumnya, orang masih percaya jimat karena jimat memberi efek sugesti, ketenangan, percaya diri. Negatifnya, kepercayaan terhadap hal-hal klenik bisa menimbulkan kemalasan.

Nggak perlu ngoyo usahalah, udah ada jimat ini.

Sistem seleksi CPNS itu sudah sangat rasional, objektif, dan terukur. Seharusnya jimat dan hal-hal klenik supranatural tidak perlu dilibatkan. Selama kita berusaha dan berdoa secara maksimal, apa pun hasil akhirnya, serahkan saja kepada Tuhan. Rasanya itu jauh lebih fair.

Analoginya, kalian pasti akan jauh lebih nyaman dengan pasangan yang mencintai dan menerima apa adanya ketimbang pasangan yang didapat dengan memakai pelet, bukan? Bayangkan saja kalau peletnya kedaluwarsa, belum tentu gambaran asli kalian akan seindah yang dia lihat selama ini. Sama halnya dengan pekerjaan yang diperoleh dengan bantuan jimat. Bagaimana kalau jimat habis masa berlakunya? Karier apa kabar?

Bagi kalian yang serius ingin menjadi Aparatur Sipil Negara, tak perlulah bawa-bawa taring babi, leak, batu akik, kain kafan, biji tanaman ditusuk peniti, atau mengerahkan kekuatan supranatural lain baik yang license maupun yang open source. Modal buat berkarier sebagai ASN adalah kompetensi. Sudah bukan zamannya mengandalkan koneksi, katebelece, apalagi jimat. Memangnya kalau sudah diterima, jimat-jimat itu yang akan menyelesaikan pekerjaan kalian? Terus kalian ngapain? Main Zuma?

Ada hal-hal yang memang perlu dan layak diperjuangkan. Namun, kita tetap harus percaya dengan kemampuan diri sendiri dan kuasa Tuhan. Mencari kerja itu serupa mencari jodoh. Kalau memang pekerjaan itu ditakdirkan dan baik untuk kita, ya be it. Kalau tidak, there will be the one yang memang terbaik untuk kita.

[devieriana]

sumber ilustrasi dari sini dan dokumentasi pribadi

Continue Reading

Balada Panitia CPNS 2017

seleksi cpns

 

Percaya atau tidak, sesungguhnya seleksi alam itu sudah mulai berlangsung sejak pelamar CPNS memilih kementerian/instansi mana kelak dia akan bernaung.

—–

Tahun ini jadi tahun yang istimewa bagi hampir semua kementerian/lembaga. Bagaimana tidak, setelah 3 tahun moratorium pengadaan CPNS, tahun ini penerimaan CPNS kembali digelar. Uniknya, di balik berbagai kenyinyiran beberapa di pihak di media sosial, toh info lowongan CPNS ini tetap menjadi trending topic dikalangan para job seeker.

Bagi para fresh graduaters, atau yang sudah punya pekerjaan tapi masih berstatus karyawan kontrak, atau mungkin ingin mencari pekerjaan tetap yang tidak mengandung ketar-ketir dengan PHK dadakan, para karyawan yang mendambakan adanya jenjang karier yang jelas, atau para pencari kesempatan beasiswa baik di dalam/luar negeri, adanya lowongan CPNS di ini bak oase di padang tandus. Peluang yang menyegarkan, sekali pun harus bersaing ketat dengan ribuan pelamar lainnya. Tsaaah…

Nah, tahun ini, kementerian tempat saya bernaung juga mengadakan rekrutmen CPNS. Banyaknya formasi yang ditawarkan sejumlah 191 formasi, terdiri dari 91 formasi untuk 30 jabatan di Kementerian Sekretariat Negara; 74 formasi untuk 18 jabatan di Sekretariat Kabinet; dan 8 jabatan untuk 13 formasi di Unit Kerja Presiden bidang Pembinaan Ideologi Pancasila.

Sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, penyelenggaraan CPNS tahun ini kami termasuk dalam 13 kementerian yang menggunakan sistem Computer Assisted Test (CAT) secara mandiri. Artinya, soal-soal dan sistem ujian tetap dikelola/diselenggarakan oleh Badan Kepegawaian Negara, hanya lokasi penyelenggaraannya ada di kementerian masing-masing.

Banyak hal unik seputar rekrutmen CPNS tahun 2017 ini. Gerbang utama pendaftaran CPNS dilakukan secara tersentral di http://sscn.bkn.go.id dan yang didaftarkan adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK) peserta. Setelah peserta memilih kementerian yang diminati, mereka akan langsung diteruskan ke web kementerian yang dituju. Satu pelamar hanya berhak mendaftar di satu kementerian saja, kecuali pelamar-pelamar yang sempat mengikuti rekrutmen CPNS Tahap 1, di mana waktu itu rekrutmen hanya dikhususkan untuk Mahkamah Agung dan Kementerian Hukum dan HAM, mereka diperkenankan untuk mengikuti kembali rekrutmen CPNS Tahap 2 yang dibuka oleh multikementerian. Uniknya, seluruh proses rekrutmen ini dilakukan dalam sekali pilih/unggah. Ini dimaksudkan agar pelamar belajar teliti, memahami rincian pengumuman, dan mempersiapkan diri sebelum mengikuti rekrutmen.

Sebagai panitia yang ada di garda paling depan menghadapi para pelamar di sesi awal rekrutmen CPNS, dibutuhkan ekstra kesabaran dan ketenangan dalam menghadapi telepon dan email dari CPNS yang jumlah per harinya bisa puluhan, yang cenderung meningkat jumlahnya mendekati injury time batas akhir pendaftaran. Belum lagi melihat spam e-mail dari salah 1 alamat e-mail yang mengirimkan 21 e-mail dalam sehari dengan subjek e-mail yang sama. Hiks… Mbok ya yang sabar, nanti kami jawab, kok. Beruntung pernah menjadi call center officer dan customer service officer di pekerjaan sebelumnya, jadi ilmu, tips, dan trik cara menghadapi pelanggan sangat membantu saya dalam menghadapi pertanyaan para pelamar baik via telepon/e-mail.

Berhubung nomor yang dinyatakan sebagai ‘call center‘ adalah nomor yang ada di meja saya, mau tidak mau sayalah yang menjawab hampir seluruh telepon para pelamar. Berbeda dengan tim helpdesk dan verifikator yang bekerja dalam 1 tim, kalau ‘call center‘ ala-ala ini ya saya terima telepon sendiri; kecuali peneleponnya ‘nyasar’ ke nomor yang lain, mau tidak mau teman yang mengangkat telepon itulah yang akan menjawab pertanyaan seputar rekrutmen CPNS. Tidak masalah, briefing-nya sama kok. Insyaallah info yang diberikan juga tidak ada perbedaan. Satu guru, satu ilmu.

Tapi entah kenapa, tipikal pelamar zaman sekarang itu berbeda dengan pelamar-pelamar CPNS di tahun-tahun sebelumnya. Sering kali, apa yang sudah tertera jelas di laman pengumuman masih ditanyakan ulang baik via telepon maupun via email. Kalau mereka saya edukasi cek ulang di web malah saya yang ditanya ulang, “oh, ada ya, Kak? Di sebelah mana ya, kok saya nggak nemu?”. Atau, ada juga beberapa penelepon yang sudah dijawab via telepon masih menanyakan pertanyaan yang sama via email. Berhubung saya juga petugas helpdesk-nya, maka saya lagi yang jawab pertanyaan mereka, “Saya tadi sudah telepon ke pusat informasi, apakah info yang diberikan oleh petugas pusat informasi tentang blablabla itu benar dan valid?”.

Hiks… Nggak dipercaya…

Beberapa di antara mereka juga ada yang lucu. Seperti misalnya, ada pelamar dengan logat Suroboyoan yang medok, tanya begini, “Mbak, maksud kalimat pelamar harus datang sendiri tidak boleh diwakilkan itu berkasnya dikirim lewat pos gitu, ta?”. Lho, gimana sih, Mbak? Hiks, seketika, saat itu juga saya jadi pengen uwel-uwel jilbab.

Atau ada juga yang mengajak ngobrol basa-basi di akhir sesi bertanya via telepon, “mmh, dulu Kak Devi juga menjalani prosedur yang sama kaya kami gini, ya? Ngelamar dan verifikasi berkas, gitu?”. Inginnya sih saya jawab, “Enggaklah, saya dulu dicabut aja dari kebon, kaya ubi gitu. Trus… tadaaa! Dikasih deh SK PNS!”

Sebagai panitia kalau harus punya kesabaran berlipat ganda itu memang benar adanya. Ada lho yang di e-mail gaya bertanya dan jawabnya layaknya sedang berkomunikasi via pesan instan seperti ini.

Pertanyaan CPNS

Jadi, kalau panitianya tidak sabar ya paling-paling minta pensiun dini

Ada juga yang sengaja mencari akun instagram saya, lalu mem-follow, dan mengirim pesan, “Halo, Kak. Tolong jelasin tentang rekrutmen CPNS, dong…” Pertanyaan seperti ini seharusnya bisa diminimalisasi lho, adik-adikku sayang. Bisa dong kalian cari info sendiri tentang rekrutmen CPNS 2017 di internet, atau coba follow akun-akun media sosial resmi kementerian/ lembaga yang kalian maksudkan. Zaman sudah maju, segala informasi bisa ditemukan via internet, seharusnya sudah sangat mudah mencari informasi seperti ini.

Nah, ternyata masalah ketidaktelitian para pelamar ini bukan cuma terjadi di kementerian saya saja, hampir di semua kementerian mengalami masalah yang sama. Umumnya pelamar kurang teliti dalam membaca dan memahami pengumuman. Jadi, setiap hari ada saja keluhan tentang salah input data, salah unggah berkas, salah baca tanggal pengumuman, bahkan parahnya ada yang sampai tidak tahu kalau sudah keluar jadwal Seleksi Kemampuan Dasar. Ujung-ujungnya, ada pelamar yang menelepon sambil menangis, memohon kepada panitia agar mereka diizinkan mengikuti tahapan yang terlewat. Kalau panitianya diminta untuk fair play dan taat dengan aturan main, ya seharusnya pelamar pun melakukan hal yang sama. Ya, kan? Ya, dong…

Ada banyak alasan kenapa mereka salah baca atau terlewat informasi, seperti misalnya, “saya kan kebetulan kerja di bank nih, Mbak. Jadi saya tuh sibuk banget, konsentrasi saya kemarin sempat terbagi-bagi, gitu. Jadi pas waktunya pengumuman verifikasi berkas online, saya jadi terlewat. Boleh nggak kalau saya verifikasinya hari ini aja?”. Kejadian ini selang 2 hari setelah jadwal verifikasi berkas dinyatakan usai. Ya sudah, mungkin lebih baik tahun ini Mas konsentrasi saja ke pekerjaan yang sekarang. Toh, sudah kerja juga, kan? Kalau memang masih berminat jadi PNS, silakan ikut di sesi rekrutmen tahun berikutnya saja, ya…

Kalau ada.

Ada juga yang sengaja datang langsung ke kantor sambil membawa berkas lengkap, padahal lokasi verifikasi berkas bukan di kantor, tapi di Pusdiklat. Mereka pun beralasan pengumuman tidak bisa diakses di smartphone mereka, sehingga mereka terlewat informasi. Hmm, bukankah handphone para pelamarzaman now itu sudah canggih-canggih, ya? Jadi, logikanya, kalau browsing semua situs saja bisa, seharusnya buka pengumuman juga bisa, dong. Tanpa berlama-lama, saya pun minta izin untuk meminjam handphone mereka dan membuka situs setneg.go.id. Hasilnya? Baik-baik saja, bisa terbuka, dan informasinya pun terpampang nyata di depan mereka. Jadi sebenarnya tidak ada alasan situs tidak bisa diakses, atau pengumuman tidak bisa dibuka, kecuali web kami sedang down. Seketika wajah pelamar seolah menggunakan blush on merata di seluruh wajah, “Kok kemarin-kemarin saya nggak nemu informasi ini ya, Mbak?”

Iya, barusan saya memang sulapan, kok.

Bukan itu saja, ada yang beralasan pengumuman terlalu panjang, tidak simple, dan cenderung membingungkan. Kenapa pengumumannya tidak dibikin infografis saja agar lebih mudah dipahami oleh pelamar. Ok, saya tanya deh. Dulu, zaman kalian kuliah, apakah semua materi perkuliahan disampaikan dalam bentuk infografis agar mudah dipahami oleh mahasiswa? Apakah diktat sudah tidak lagi diperlukan karena semua materi sudah lengkap tersaji dalam bentuk infografis warna-warni?

Nyatanya tidak begitu, kan? Kita tetap memerlukan diktat, bahkan juga tetap berkunjung ke perpustakaan mengakses e-library untuk mencari referensi berkaitan dengan materi perkuliahan, kan? Kenapa? Ya karena tidak semua hal bisa disampaikan dalam bentuk infografis. Saya yakin, panitia rekrutmen CPNS di setiap kementerian pasti juga sudah membuat pengumuman versi infografis. Tapi tentu saja info yang ada di sana hanya inti-intinya saja, untuk informasi lebih rinci ya adanya di website kementerian, yang bisa dibaca/dibuka/dipelajari kapan saja oleh pelamar. Panitia juga tidak akan menyampaikan informasi secara mepet-mepet. Selalu ada jeda waktu yang kita berikan agar para pelamar bisa mempersiapkan diri dan menyediakan dokumen apa saja yang dibutuhkan untuk sesi berikutnya.

Kalau sejak jadi pelamar saja tidak biasa membaca rincian pengumuman, bagaimana nanti kalau sudah jadi PNS, yang notabene pekerjaannya akan lebih akrab dengan surat, memorandum, Keppres, Kepmen, Perpres, Permen, dan lampiran-lampiran lainnya? Jadi, latihannya ya mulai dari sekarang, supaya ketika sudah jadi CPNS nanti kalian tidak terlalu kaget dengan pekerjaannya masing-masing.

Nah, kalau soal kerajinan, pelamar zaman now itu terbagi dalam 2 golongan. Golongan yang rajinnya kebangetan, dan golongan yang selow-nya overdosis. Golongan yang rajinnya kebangetan itu, hari masih pagi, pengumuman belum diunggah, pukul 07.00 wib sudah ada yang telepon ke kantor untuk menanyakan, “pengumumannya belum diunggah ya, Kak? Kan ini sudah tanggal ‘sekian’…”. Tanggal ‘sekian’ sih tanggal ‘sekian’, tapi harap dipahami tanggal ‘sekian’ itu batasnya sampai dengan pukul 23.59 wib, lho. Jadi, mohon kesabarannya untuk menunggu, dan cek secara berkala di web masing-masing kementerian, panitia pasti akan mengumumkan di hari dan tanggal yang sudah disepakati sebagai hari pengumuman, kok.

Sedangkan golongan yang selow-nya overdosis, sampai dengan batas waktu yang ditentukan dia sama sekali tidak ada aktivitas apapun apalagi terlihat batang hidungnya. Tapi ketika kegiatan sudah selesai dan closed by system eh dia baru muncul sambil pasang wajah dan gesture penuh iba, dengan harapan panitia akan memberikan kesempatan kedua. Bahkan ada yang sampai mengajak orang tuanya untuk menghadap ke panitia agar mereka diberikan izin mengikuti tahapan seleksi yang terlewat. Padahal, FYI, di hari terakhir penutupan sesi kegiatan, biasanya panitia stand by sampai malam, just in case kalau masih ada pelamar yang akan datang menyerahkan dokumen untuk diverifikasi, jadi pelamar akan tetap kita terima, selama masih di hari yang sama dengan yang sudah dijadwalkan. Kecuali kalau sudah masuk jadwal ujian, ya. Kalau sudah masuk sesi ujian sih sudah tidak ada lagi toleransi, karena kita sudah memberikan briefing awal di sesi verifikasi berkas agar peserta ujian datang lebih awal di hari pelaksanaan ujian.

Saking padatnya pekerjaan, membagi waktu antara mengerjakan tugas rutin, jadi call centre dadakan, ditambah jadi petugas helpdesk, sampai terbawa ke alam mimpi lho. Iya, di dalam mimpi saya sudah menjawab ratusan e-mail yang masuk. Absurdnya, keesokan paginya pikiran saya menjadi agak ringan, karena menyangka beban pekerjaan sudah sebagian terselesaikan.

Dalam mimpi.

Jadi panitia CPNS itu bukan hal yang mudah, selain dibutuhkan tenaga ekstra, juga dibutuhkan kesabaran dan mental yang tahan uji. Teruntuk para panitia CPNS di kementerian/lembaga mana pun, semangat jangan sampai kendor hingga proses rekrutmen ini selesai, ya! *dadah-dadah*

 

 

[devieriana]
ilustrasi dipinjam dari sinidan twitter @devieriana

PS: Btw, berhubung sesi rekrutmen CPNS ini masih panjang, tulisan tentang sesi ujian akan diposting di tulisan
berikutnya, ya…

Continue Reading

Dignity and Respect

what-i-know-dignity-and-respect

Pada suatu sore menjelang pulang kantor, sebuah pesan singkat muncul di gawai saya. Dari seorang teman yang kebetulan membatalkan janji temu dengan saya dan beberapa teman lainnya dengan alasan kesibukan kantor.

“Dear, sori ya, gue kayanya nggak bisa gabung lagi nih, hiks. Kerjaan gue aja belum kelar sampai jam segini, kuatir nggak keburu kalau gue harus maksain ketemuan sama kalian. Jam 5 aja gue masih ada agenda meeting sama BoD. Sori banget, ya. Kalian tahu kan gimana kerjaan budak korporat kaya gue? Next time gue bakal usahain buat kumpul sama kalian yaa… Selamat ngumpul-ngumpul ya, kalian. Miss you all… “

Ketika membaca pesan singkat itu, entah kenapa, ada sedikit perasaan kurang nyaman. Semacam ada penggunaan istilah yang kurang pas di hati.

Sampai sekarang saya masih sering mendengar teman/kerabat yang membahasakan dirinya sebagai ‘kacung kampret’, ‘kuli kantor’, budak korporat, dan sebutan sejenis lainnya sebagai penggambaran betapa berat/sibuknya pekerjaan yang mereka lakukan; semacam penggambaran adanya ‘kesamaan’ beban pekerjaan yang mereka lakukan dengan kuli kasar. Bedanya, berhubung mereka adalah orang kantoran, maka sebutannya kuli kantor.

Kita pasti pernah ada di sebuah kondisi harus membatalkan sebuah janji temu karena memang sedang sibuk di kantor, lembur, atau ada urgent matters yang berhubungan dengan pekerjaan. Kenapa tidak bilang saja apa adanya, tanpa harus membubuhkan embel-embel, “ya namanya juga kacung kampret, mana bisa menikmati liburan dan kumpul-kumpul kaya kalian”, atau “ya beginilah nasib budak korporat, dijalanin aja…”

‘Sehina’ apapun pekerjaan kita, seremeh apapun pekerjaan yang kita lakukan, atau untuk menggambarkan betapa rumit dan ruwetnya detail pekerjaan yang kita lakukan sehingga hanya kita yang dianggap sanggup melakukan itu, atau kasarannya tidak ada orang yang mau ada di posisi kita; apapun itu, hargai. Di luar sana ada banyak sekali orang yang belum mendapatkan pekerjaan, dan mungkin saja menganggap kalau pekerjaan kita itu jauh lebih baik, lebih enak, lebih menyenangkan dari pada pekerjaan mereka.

Dulu, orang tua saya pernah bilang begini, “kita akan menjadi apa yang kita pikirkan, apa yang kita ucapkan. Jadi, hati-hati kalau bicara, karena ucapan itu sama saja dengan doa”. Nasihat itulah yang masih saya pegang hingga sekarang.

Sugesti positif itu juga saya terapkan dengan cara berpakaian. Walaupun semua kembali lagi ke soal pilihan, apakah kita lebih suka berpakaian rapi, atau asal-asalan, saya pribadi lebih suka berpenampilan rapi dan pantas. Rapi dan pantas itu tidak harus mahal, lho. Cukup berbusana sesuai dengan tempat, acara, dan kebutuhan. Sepele ya, tapi sesungguhnya cara berbusana kita itu merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain, lho.

Mungkin ini cuma soal kebiasaan, karena semua berawal dari lingkungan. Terlahir dalam sebuah keluarga yang dalam beberapa hal masih memegang teguh ajaran Jawa dengan segala pernak- perniknya, salah satu ajaran yang masih diterapkan di keluarga saya adalah “ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana”. Ungkapan itu memiliki makna bahwa bahwa berharganya diri kita berasal dari ucapan (lidah) kita, sedangkan berharganya badan (raga) kita dillihat dari bagaimana cara kita berbusana.

Gambaran ungkapan ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana tersebut mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang kita pakai, penampilan kita, tutur kata kita, serta ucapan-ucapan kita pasti akan menimbulkan reaksi timbal balik penghargaan/sikap orang lain kepada kita.

Contoh paling sederhana adalah tahu kapan harus menggunakan sepatu/sandal selama di kantor. Selama di kantor, selama jam kerja, saya berusaha konsisten menggunakan sepatu, bukan sandal. Apalagi ketika menerima tamu (baik pegawai dari kantor sendiri maupun dari luar), karena ada juga teman yang membedakan kapan ‘boleh-boleh saja’ pakai sandal selama itu pegawai kantor sendiri (dengan alasan, “ah, udah kenal ini”), dan kapan harus pakai sepatu (karena tamunya dari luar instansi). Mungkin saya satu-satunya orang yang paling sebal ketika ada teman yang menerima tamu dengan hanya menggunakan sandal jepit. Bukan mau sok idealis ya, apa yang saya sebutkan di atas, bukan berarti sama sekali kita tidak boleh pakai sandal selama di kantor, silakan saja menggunakan sandal ketika akan ke kamar kecil, atau akan wudhu/shalat. Tapi apakah tidak akan lebih baik ketika sedang di kantor ya gunakan sepatu sebagaimana mestinya, bukan sandal. Tamu saja kalau mau berkunjung ke kantor kita mereka berusaha tampil rapi/pantas, masa iya kita sebagai tuan rumah menerima mereka asal-asalan? Di mana bentuk penghargaan kita kepada orang lain, padahal mereka sebisa mungkin berusaha menghargai kita sebagai tuan rumah?

Last but not least, mulai belajar menghargai diri sendiri sebelum menghargai orang lain, yuk! Mulai mengurangi juga penggunaan julukan ‘kacung kampret’, ‘budak korporat’, ‘kuli kantor’, atau sebutan negatif lainnya kepada diri sendiri atau orang lain.

Be grateful that we actually have a decent job; something to be proud of. If we don’t have dignity, then what are we?

 

 

[devieriana]

 

picture source: here

Continue Reading
1 2 3 15