Obama – election, new president, hope, new change, euphoria..

 

 

barack-obama

 

 

 

 

 

Semalam seolah semua perhatian dunia tersedot ke semua siaran live pelantikan Barack Obama sebagai presiden USA yang ke 44. Tapi kesan yang saya tangkap kok malah jadinya semakin mengiyakan kalau Amerika Serikat itu sebagai kapitalis sejati ya. Ya gimana enggak, wong presiden aja laku “dijual” . Nih ya, mulai topeng Obama, t-shirt, pin sampai siaran langsung pelantikan yang disaksikan jutaan pasang mata yang semuanya itu bertujuan menangguk keuntungan dollar.. Ya iyalah, masa meraup keuntungan dalam bentuk dedaunan? :p

 

 

Walaupun semalam ada siaran langsung di beberapa stasiun televisi di Indonesia dengan iklan yang bejibun, tetapi saya justru sudah di alam mimpi tuh ketika siaran langsung dimulai (hehe, gak seru amat ya gue?). Dan pertanyaan paling exist pagi ini adalah : “lu nonton Obama ga semalem?”, hehehe.. bahkan tadi pagi liat Liputan6 SCTV meliput di SD St Fransiskus Asisi (bener ya nama SD-nya?) malah semaleman guru & murid nonton acara mereka live di tv.. Yampun itu anak2 ya tar kalo paginya telat sekolah jangan dimarahin ya pak/bu.. please deh.. Ya mungkin mereka ada kebanggaan tersendiri karena Obama kan pernah sekolah di sekolah mereka beberapa tahun yang lalu.. But actually the point is, Obama is not your president.. Kenapa sampai segitunya sih.. Beberapa rekan sepakat bahwa Barack Obama bukan presiden kita dan tidak ada manfaatnya ikut-ikutan euforia yang nisbi dan absurd alias ga penting kaya gitu.. (haiiaaahhh .. istilahku yaaa.. heheheeh..). Okelah kalo misal itu adalah sebagai perayaan “pemecah sejarah” bahwa konsep seorang president untuk USA selama ini adalah dari kalangan WASP (white, anglosaxon, protestant), dan terbukti bahwa Obama yang notabene berbeda dari konsep itu akhirnya bisa jadi president.. That’s fine, gapapalah..

 

 

Mmh.. tapi kalo diperhatikan kok kayanya berasa kontras aja dengan acara pelantikan presiden kita sendiri yang (kayanya.. moga-moga sih saya salah ya..) tidak dianggap oleh rakyat Indonesia sendiri. Ini presiden mereka sendiri lho, tapi ga kedengeran gegap gempitanya seperti pas mereka dengan antusias menyaksikan pelantikan Obama sebagai presiden ya? Atau memang orang Indonesia kurang bisa mengemas dan menjual acara resmi supaya bisa menjadi acara yang lebih enjoying, bisa dinikmati, yang tidak terlalu berkesan kaku & protokoler sehingga bisa lebih dinikmati oleh semua kalangan ya? Masukan aja nih, siapa tau tar ada orang tv yang baca tulisan saya ini trus pengen membeli hak siar acara pelantikan president kita & pengen mengemas jadi tontotan yang ga menjenuhkan.. hehehe.. itu mimpi saya.. :p
Emmh, tapi bisa juga masih ada rasa tidak enak menjual presiden sendiri.. hehehe.. :p

 

 

Ya sutra.. biarlah Amerika bersuka ria dengan presiden ke-44 mereka. Saya hanya bisa bilang : “Mr. Barack Obama, You are not my president..But congratulations for you, anyway..”

 

 

 

 

 

Continue Reading

I'm Never Wrong

“Apaan sih, sok tau lo ah, gini salah, gitu salah..?”
“yee emang elunya yang salah, lo itu seharusnya begini, begini, begini..”
“lah, gue kan..bla,bla,bla..” *membela diri*
– dialog di salah satu pojokan ruangan –

*ngedumel*
“kenapa sih dia itu kalo diingetin ga pernah mau terima? ngerasa dirinya paling bener aja..”

“Halah, ngapain sih ada kritik-kritikan segala? Selama kita ngejalaninnya bener ya sudah tho? Repot amat?!”. Being defensive ketika menghadapi kritik itu reaksi yang wajar , karena pada dasarnya tidak semua orang mau & siap dikritik. Yang bisa melihat kesalahan kita kan orang lain. Ketika kita sudah dihadapkan pada sebuah kritik ya itu berarti memang ada yang salah di diri kita. Kalau kitanya yang belum-belum sudah defensif & merasa kitalah yang paling benar ya percumalah semua kritik itu, tidak akan pernah dapat feedback. Banyak diantara kita yang lebih suka mendengarkan saran dari orang yang dianggap lebih senior, lebih capable dibanding dengan omongan teman sendiri padahal arah omongannya sama. Kalau teman yang notabene kita sudah tahu karakternya terus tiba-tiba kasih masukan, pasti kitanya yang nyolot : “halah, jangan sok tau lo ah !!”. Tapi beda ketika yang ngomong itu seorang yang lebih tua, lebih pakar, jawabannya : “Wah, bener banget deh kata-kata ibu.. bagus banget ya sarannya. Terimakasih untuk pencerahannya ya bu..” *sambil kasih standing applauses*
Padahal omongan yang keluar intinya sama lho.. 🙁

Sikap open terhadap kritik. Itu yang masih belum bisa di terima semua orang. Saya pernah membaca uraian Dale Carnegie, mengenai Al Capone– pemimpin mafia di Chicago sana – dan para penjahat kelas wahid ternyata tidak pernah sekalipun memandang diri mereka sebagai penjahat. Hmm, masa sih sampai begitu? Mereka yang jelas-jelas berbuat kriminal, memperkosa, membantai manusia dengan tanpa alasan, melindungi peredaran obat bius, ternyata tidak pernah memandang diri mereka bersalah. OMG.. Masih dalam buku yang sama, Dale juga menceritakan bahwa hampir 100% dari mereka yang berada dipenjara Sing-Sing – penjara kriminal nomer satu di New York- juga sama sekali tidak melihat diri mereka sebagai para kriminal, melainkan sebagai korban. Sungguh-sungguh kenyataan yang hampir tidak dapat dipercaya. Yang lebih mengherankan lagi, jika sifat yang satu itu, juga terjadi dikalangan atas. Contohnya Presiden Taft – masih menurut buku itu – ketika berbuat sebuah kesalahan, dan diberitahu tentang itu, juga tidak pernah mengaku salah. Wow, lengkap sudah. Jika demikian berarti sifat “tidak mau disalahkan” itu melekat secara merata di mahluk yang bernama manusia. Dari penjahat hingga level presiden. Dari orang miskin sampai konglomerat..

Kita memang selalu pointing finger kearah kesalahan orang lain dibandingkan kesalahan kita sendiri. Lampu sorot untuk orang lain, sedangkan lilin redup untuk diri sendiri. Untuk orang lain, sedapat mungkin kita gunakan kata : “lah, harusnya kan dia…” . Sedangkan untuk diri sendiri : “ya gimana lagi aku kan…”.

Tidak perlu jauh-jauh deh, saya sendiri masih sering melakukan hal itu, suka mengkritisi orang lain, padahal saya sendiri juga belum tentu benar. Kalau saya menemukan ketidaksesuaian ya saya langsung nyolot, mengkritik habis-habisan. Tapi ketika saya yang disalahkan pasti akan dengan sigap saya memberikan pembelaan 😀 . Sepertinya saya juga mulai menggenapi analisa Dale Carnegie tentang sifat dasar manusia, yaitu begitu mudah melihat kesalahan orang lain, tetapi buta atau membutakan diri dengan kesalahannya sendiri… :(. Saya juga lebih suka membicarakan kesalahan orang disekitar saya, daripada konsentrasi membenahi kekurangan-kekurangan saya sendiri. Padahal jelas-jelas lebih menguntungkan untuk memperbaiki diri sendiri dibanding, bertindak sebagai “tuhan kecil” yang menghakimi, mengkritik bahkan menelanjangi kesalahan orang lain. Sedangkan TUHAN “yang beneran” saja tidak menghakimi kita, sebelum waktunya..

Saya kagum terhadap media cetak besar seperti KOMPAS. Sebagai market leader, selalu menerima koreksi dan kritik dari pembacanya dengan menjawab secara santun. Bayangkan kalau kalau redaksinya menjawab kritikan/koreksi dari pembacanya dengan menjawab , “TERSERAH deh. Kalau emang situ nggak suka, ya udah, jangan baca koran KOMPAS, masih banyak koran lain, kan?”
*nggeblak*
Apa ya gak langsung Kompas gulung tikar kalau sampai redaksinya arogan kaya begitu?

Memang masih sulit bagi sebagian orang Indonesia untuk menerima kritik. Seolah olah kritik atau koreksi yang dilontarkan itu membuka aib bahwa dia memang “bodoh”, “salah”. Padahal ya bukan begitu maksudnya. Kritik itu yang penting adalah cara penyampaian yang pas, sehingga mampu diterima oleh si objek yang di kritik Ada yang berupa sindiran (tulisan atau omongan), ada yang ngomong straight to the point, ada yang muter-muter dulu baru ke inti masalah. Tinggal cari media & gaya bahasa mana yang tepat buat disampaikan kepada si objek. Bukankah salah satu tujuan kita mengkritik adalah supaya dia memperbaiki kesalahannya? Mau mengakui kesalahan & menyikapi kritik secara bijak tidak akan membuat kita jadi krisis confidence kok.Tapi justru akan membuat kita berjiwa besar.

gambar ngambil dari sini

Continue Reading

:: S O U L M A T E ::

soulmate

Hmm, pernah gak kalian terpikir bahwa kalian sebenernya memiliki soulmate di luar sana? Ya syukur-syukur sih kalau sudah menemukan ya.. Sempat baca di beberapa tulisan tentang definisi soulmate itu sendiri.. jadi penasaran, sebenernya soulmate itu seperti apa sih, atau soulmate itu sendiri sebenarnya ada ga sih?

Kebanyakan orang mengartikan soulmate itu adalah bagian dari satu pasang, seperti layaknya sendal dan sepatu. Memang definisi keberpasangan itu benar adanya (ada kiri dan kanan), tetapi bisa aja kan misalnya warna si pasangan sendal itu beda (misalnya merah dan putih) atau merknya beda, atau tapi yang pasti ukurannya gak boleh beda, krn pastinya gak akan enak dipake oleh siapapun. Ya kan?

Menurut saya pribadi, untuk konsep berpasangan itu tidak bisa zaakelijk di tentukan sedemikian pas-nya seperti halnya memilih sandal dan sepatu karena pada dasarnya kita kan manusia yang punya hati dan jiwa. Seandainya berpasangan itu hanya dilandasi pada kesamaan tampilan luar, terus bagaimana dengan keberpasangan jiwa dan hati yang tentunya memiliki jauh lebih banyak kebutuhan untuk dimengerti?

Pernah saya iseng-iseng diskusi sama seorang teman pas sama-sama lagi tunggu busway.. (niat ya bo?), tentang apa sih arti soulmate, atau kamu percaya adanya soulmate dalam kehidupan kamu ga sih? atau soulmate was made by God or by human?

jawabannya pun beragam.. Ada yang bilang :

” soulmate itu ya pasangan gue, suami gue.. kalo bukan soulmate gue ngapain gue nikah ma dia.. “

” gua pernah punya soulmate nih Dev, dia jauh di luar kota, tapi gua ama dia tuh kaya ada kabel yang nyetrumin, gua bisa ngrasain apa yang dia rasain, sebaliknya dia juga gitu.. kaya berasa gua punya webcam gitu.. Seems so strange, but it’s true..”

” gue percaya soulmate itu ada, tapi ga harus yang jadi suami/istri kita sekarang.. percaya ga lo, Dev? “

” Aku ma suami seperti satu tubuh yang bisa saling merasakan… Ketika aku sakit, dan dia sedang tidak di rumah dia pasti langsung menelpon dan menanyakan apakah aku sedang sakit di bagian ini atau di bagian itu, karena pada saat yang sama dia juga merasakannya. Atau seringkali kami punya pikiran yang sama untuk melakukan sesuatu atau membicarakan sesuatu.. “

– btw, jadi inget ma mama & papa yang suka tiba-tiba kembar beli barangnya, mulai bentuk, warna, model, hari & tgl yang sama kalo beli barang tertentu padahal gak janjian.. –

Intinya sih ada dua kubu yang menyatakan bahwa soulmate itu adalah pasangan kita yang sekarang, tapi ada juga yang mengatakan bahwa sebenernya soulmate itu lebih ke belahan jiwa yang “mungkin” belum tentu orang yang menjadi pasangannya sekarang. Nah lho.. kok bisa?

Mmmh, kayanya perlu dipilah antara “word” dan “description”. Ada “soul mate” , dan ada “spouse”, yang mana kalo didefinisikan / dideskripsikan kurang lebihnya :
– soul mate : this person is very similar to you in thought and feeling
– spouse : this person is married to you

Jadi, soul mate tidak selalu berarti pasangan hidup. Ada juga yang mengatakan bahwa “soulmate” itu seperti “belahan jiwa”, orang yang match dengan kita, mulai dari cara berpikir, melihat masalah, cara memperlakukan pasangan dan cara menyelesaikan masalah, jadi bukan semata- mata satu hati, tetapi ada banyak kesamaan yang bisa membuat keduanya bisa jadi partner yang kompak (satu tujuan).

Belum puas juga mengartikan sendiri, saya bertanya juga pada mbah google. Akhirnya dapat juga jawabannya di tante wiki. Berikut ini ulasannya :

Belahan jiwa adalah sebuah istilah yang terkadang digunakan untuk menandakan seseorang yang memiliki perasaan mendalam dan daya tarik antar pribadi yang natural (tidak dibuat- buat). Konsep yang berkaitan ialah adanya dua jiwa kembar yang akan menjadi belahan jiwa terakhir bagi pasangannya, satu- satunya salah satunya hanya separuh dari sebuah jiwa yang asli, dengan begitu masing- masing jiwa yang masih separuh itu harus bergerak untuk mencari yang lain dan bersatu. Bagaimanapun, tidak semua orang menggunakan teori dan percaya pada konotasi mistiknya. Sebenarnya teori diatas berdasarkan buah pikiran Aristophanes ,plato symposium, bahwa manusia sesungguhnya tergabung dari empat lengan, empat kaki, dan sebuah kepala yang terdiri dari dua wajah, tetapi Zeus (dewa yunani) takut akan kekuatan mereka dan memecahnya menjadi separuh bagian saja, sebagai hukumannya mereka harus menghabiskan hidup mereka untuk mencari separuh bagiannya lagi untuk menjadi sempurna..

Kalau dibaca-baca di atas sepertinya jadi lebih berpihak dengan pendapat bahwa belahan jiwa sudah ditentukan dari Tuhan ya, terlepas dari teori dewa- dewa Yunani lho…Terus gimana dong kalau kita sudah memiliki belahan jiwa, atau gimana kalau kita tidak dapat menemukan belahan jiwa kita? Atau bagaimana jika kita menikah bukan dengan belahan jiwa kita.Nah lho.. (lama-lama ngembang kemana-mana pertanyaan gua ya? heheheheeh…)

Kalau sudah seperti itu apakah lantas kita harus membentuk seseorang menjadi serupa dengan kita? mendekati dengan apa yang kita perkirakan sebagai belahan jiwa? Agar kita tidak perlu mencari dan tetap seolah menikah dengan belahan jiwa kita? Tetapi menurut saya yah.. maaap-maap aja nih ya kalo salah.. kalaupun belahan jiwa adalah setengah dari jiwa kita, setengah bagian itu pasti bukan sisi yang sama, dalam arti tidak menambahi apa yang telah dimiliki, tetapi saling melengkapi satu sama lain (bingung ga? sama aku juga lama-lama bingung ma tulisanku sendiri.. hahaaha….). Maksud saya gini, jangan terlalu bangga jika saat ini memiliki seseorang yang sifatnya sama, dan cocok dalam segala hal. Saya justru mempertanyakan hal itu, apakah kalian berdua harus sama-sama bertindak sebagai hati di sisi kiri? atau sama- sama di sisi kanan? Berusaha selalu sama biar dianggap soulmate? *lieur*

Dah, ini PR buat yang baca deh, pasangan jiwa yang akan menjadi isteri or suami kita memang sudah dari lahir diciptakan untuk kita atau sebenernya kita yang harus berupaya merakit sendiri soulmate kita?

[devieriana]

Continue Reading

Tidak ada yang benar, kecuali saya..

untitled3

Hari ini, saya & sahabat saya kembali berdiskusi, after long time we did’nt do it. Karena kesibukan masing-masing & mood yang kurang pas untuk berdiskusi tentunya, hehehehe.. Beberapa waktu yang lalu saya sempat mengkritik anak buah saya yang kelupaan mencantumkan alamat email saya sebagai cc ketika melakukan request edit ke spv. Walaupun sepele tapi sekedar mengingatkan boleh dong. Tapi apa yang saya peroleh adalah : pembelaan diri & mulai menyalahkan saya. Dongkol, sebel, marah, kesel, males, itu hal yang saya rasakan. Dan saya rasa itu hal yang manusiawi jika seseorang mengingatkan rekannya tapi justru malah dikata-katain.

Kritik, menurut wikipedia adalah “masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan”. Siapa sih di dunia ini yang pengen di kritik? siapa sih yang dengan sukarela dibilang “ga bener”? Siapa sih yang pengen kelihatan salah di mata orang lain? Siapa sih yang pengen dibilang “gak mampu” oleh orang lain? Saya rasa tidak ada. Semua orang ingin tampil sempurna, tanpa cela, selalu benar, sesuai rule & berada dalam koridor.

Jujur nih ya, sayapun ketika dikritik, entah oleh suami, mantan manager saya, atau sahabat saya awalnya pasti membela diri kenapa saya berlaku seperti itu, hehehe.. *nyengir dulu ah*. Tapi lepas dari itu pasti ada improvement, perenungan, pemikiran yang saya lakukan. Yang bisa melihat kelemahan & kekurangan kita kan orang lain. Ibarat, kita tidak bisa melihat tengkuk kita sendiri, iya kan? 😉

Saya pernah membaca uraian Dale Carnegie, mengenai Al Capone– pemimpin mafia di Chicago sana – dan para penjahat kelas wahid ternyata tidak pernah sekalipun memandang diri mereka sebagai penjahat. Hmm, masa sih sampai begitu? Mereka yang jelas-jelas berbuat kriminal, memperkosa, membantai manusia dengan tanpa alasan, melindungi peredaran obat bius, ternyata tidak pernah memandang diri mereka bersalah. OMG.. Masih dalam buku yang sama, Dale juga menceritakan bahwa hampir 100% dari mereka yang berada dipenjara Sing-Sing – penjara kriminal nomer satu di New York- juga sama sekali tidak melihat diri mereka sebagai para kriminal, melainkan sebagai korban. Sungguh-sungguh kenyataan yang hampir tidak dapat dipercaya. Yang lebih mengherankan lagi, jika sifat yang satu itu, juga terjadi dikalangan atas. Contohnya Presiden Taft – masih menurut buku itu – ketika berbuat sebuah kesalahan, dan diberitahu tentang itu, juga tidak pernah mengaku salah. Wow, lengkap sudah. Jika demikian berarti sifat “tidak mau disalahkan” itu melekat secara merata di mahluk yang bernama manusia. Dari penjahat hingga level presiden. Dari orang miskin sampai konglomerat..

Kita memang selalu melihat lebih jelas kearah kesalahan orang lain, dibandingkan kesalahan kita sendiri. Lampu sorot untuk orang lain, sedangkan lilin redup untuk diri sendiri. Untuk orang lain, sedapat mungkin kita gunakan kata : “lah, harusnya kan dia…” . Sedangkan untuk diri sendiri : “ya gimana lagi aku kan…”.

Tidak perlu jauh-jauh deh, saya sendiri masih sering melakukan hal itu, suka mengkritisi orang lain, padahal saya sendiri juga belum tentu benar. Ketika saya menemukan ketidaksesuaian, saya langsung nyolot, mengkritik habis-habisan. Tapi ketika saya yang disalahkan pasti saya akan dengan sigap memberikan pembelaan 😀 . Sepertinya saya juga mulai menggenapi analisa Dale Carnegie tentang sifat dasar manusia, yaitu begitu mudah melihat kesalahan orang lain, tetapi buta atau membutakan diri dengan kesalahannya sendiri…jadi malu… :p . Saya juga lebih suka membicarakan kesalahan orang disekitar saya, daripada konsentrasi membenahi kekurangan-kekurangan saya sendiri. Padahal jelas-jelas lebih menguntungkan untuk memperbaiki diri sendiri dibanding, bertindak sebagai “tuhan kecil” yang menghakimi, mengkritik bahkan menelanjangi kesalahan orang lain. Sedangkan TUHAN “yang beneran” saja tidak menghakimi kita, sebelum waktunya..

.. PEACE dulu ah..

[devieriana]

 pict source mintywhite.com

Continue Reading

Friends in chemistry ..

 Jujur, saya suka dengan orang yang smart, enak diajak ngobrol, nyambung ketika diajak ngobrol dengan tema apapun. Ya, memang ga banyak sih orang yang seperti itu. Tapi sekalinya ketemu & match saya bisa “jatuh cinta” sama dia.. Eiits, bukan jatuh cinta yang itu ya. Tapi lebih ke merasakan adanya chemistry sama orang lain, itu yang paling saya suka. kadang ga perlu diomongin orang itu udah nyambung, istilahnya “flip-flop” atau “tek-tok” banget..

Saya pernah menjumpai teman-teman yang berkriteria seperti itu. Rasanya menyenangkan aja bisa nyambung ketika ngobrol, ngalir, ga ada matinya deh pokoknya. Ga perlu orang yang diatas saya usianya, yang lebih mudapun saya pernah ketemu. Saya ngomong apa, dia tau. nanti ia ngobrolin apa saya juga tau. Menyenangkan banget deh ketemu “orang-orang langka” macam mereka. Yang paling sering tuh ketemu dengan orang yang keliatannya kalau dilihat dari cv sih pinter, lulusan S2 /S3 Perguruan Tinggi ternama dalam/luar negeri, tapi kalau ga ada chemistry-nya rasanya obrolan sesantai/seserius apapun rasanya garing banget.

Saya ga menganggap diri saya tahu segalanya, pinter, dan sejenisnya. Woohhhooo.. emang siapa saya? Samasekali gaklah.. Tapi kalau ketemu sama orang-orang yang saya maksudkan tadi tuh rasanya angin segar banget, dimana saya bisa berdiskusi, ngobrol, tukar pikiran.. seru aja. Apa yang sebelumnya saya ga tau akhirnya bisa jadi tahu, apa yang sebelumnya dia ga tau saya bisa kasih info (kalau kebetulan saya juga tau infonya).  Lalu apakah usia juga mempengaruhi tingkat kedewasaan seseorang, atau bisa nyambung/enggaknya seseorang itu dengan kita? jawabnya.. gak banget. Kedewasaan seseorang, kepandaian seseorang bukan dilihat dari usia. Tapi lebih ke kematangan emosi, pengalaman hidup, rajinnya dia untuk mengupdate informasi & pengetahuan, membuka diri terhadap perubahan, peka terhadap orang lain.

Pernah saya ngobrol dengan seseorang yang kelihatannya cukup smart & okelah menurut saya, tapi saya kok langsung ilfil ya ketika saya ajak bincang-bincang beliaunya lebih sering bilang “oh ya? masa sih?”, yaaahh.. cape deehh 🙁 . tapi ada juga yang biasa-biasa aja tapi ternyata “wow inside”.. alias asik banget, ilmu pengetahuannya luas.. jadi saya yang pas-pasan ini bisa belajar banyak dari dia.. 🙂

Ya sudahlah tak apa, ga mungkin saya menuntut orang semuanya harus nyambung sama saya, ga mungkin orang lain harus ber-chemistry sama saya. Karena yang cehmistry kan ga bisa di setting, ga bisa dibentuk.. semuanya serba mengalir secara alamiah.. Saya ga bermaksud milih-milih temen lho ya, saya seneng ngobrol & berteman dengan siapa saja. Cuma, kalau ketemu dengan orang yang “sejiwa” dengan saya tuh rasanya blessing banget.. hehehehehe.. Soalnya termasuk fenomena yang langka kalo bisa ketemu lagi dengan teman yang seperti itu.. 🙂

[devieriana]

 

gambar pinjam dari sini

Continue Reading