Marah di Socmed?

emoticon

Twitter, Facebook, Path, Instagram. Atau sebut saja semua nama situs pertemanan yang ada; sengaja dibuat agar komunikasi antarpersonal menjadi jauh lebih mudah. Salah satu persamaan situs-situs tersebut adalah adanya fasilitas bagi para penggunanya untuk menuliskan apapun yang mereka lihat, rasakan, dengar, dan lakukan ke dalam sebuah kolom khusus untuk up date status, di mana mereka bisa saling berinteraksi dan langsung mendapatkan respon balik dari pemilik akun lainnya.

Keberadaan social media membuat up date status menjadi bagian dari gaya hidup. Hampir semua kegiatan bisa jadi bahan untuk up date status. Saat jatuh cinta, up date status. Kangen, up date status. Galau, up date status. Marah, up date status. Meeting, up date status. Lagi ngopi-ngopi cantik atau makan-makan di tempat tertentu, up date status. Bahkan sampai lapar dan kebelet ke belakang pun sempat-sempatnya up date status. Luar biasa sekali penemu ide kolom up date status ini! ๐Ÿ˜† Karena kebetulan memang sebelumnya mungkin belum terbersit dalam pikiran kita metode apa yang kira-kira bisa mengeluarkan apa yang dipikirkan secara cepat dan mudah… :mrgreen:

Bak pisau bermata dua, keberadaan social media ini punya sisi positif sekaligus negatif. Ketika social media digunakan untuk berbagi hal-hal yang positif, dia akan memberikan manfaat bagi para penggunanya; tapi sebaliknya, ketika social media digunakan untuk hal-hal yang negatif tentu efeknya akan mengikuti.

Saya pibadi, sejak awal membuat akun di social media memang sengaja cuma untuk berbagi hal-hal yang menyenangkan saja; tidak ingin menuliskan status bernada kemarahan atau galau. Bukan apa-apa, sayanya yang malu :mrgreen:. Lebih sering meng-update status lucu ketimbang status yang serius. Pernah sih sesekali memosting hal-hal serius kalau memang diperlukan.

Sebagai pengguna social media tentu tak asing dengan berbagai status yang berhamburan di timeline socmed kita. Tidak melulu hal-hal yang positif/lucu, tapi pasti juga status-status kemarahan dan emosi. Berbeda dengan galau yang kadang masih saya maklumi, lebih sering bertanya-tanya mengapa seseorang harus menuliskan kemarahan dan caci maki di social media? Kalau memang punya masalah dengan seseorang kenapa tidak diselesaikan saja melalui media yang lebih pribadi, bukan di media terbuka seperti Twitter, Facebook, atau Path? Talk in person.

Social media bisa menjadi alat yang hebat jika digunakan secara benar dan produktif. Tapi kalau kita justru menghabiskan terlalu banyak waktu di sana, sama saja kita mengisolasi diri sendiri. Salah satu trainer saya pernah bilang,

“sekarang ini kita terlalu dikerdilkan oleh sebuah alat bernama gadget. Bahkan ketika berkumpul bersama pun yang terlihat adalah orang-orang yang asyik menekuri gadget masing-masing.”

Iya juga sih. Seringkali menghadapi sebuah situasi di mana beberapa orang sedang berkumpul tapi wajahnya pada menunduk terkonsentrasi ke gadget masing-masing. Bahkan saya sendiri pernah ada di sebuah meet up tapi malah asyik mention-mention-an sama peserta meet up yang lain ๐Ÿ˜†

Sering berlintasan di kepala saya ketika melihat seseorang yang menulis status marah-marah di social media:

“Apa sih menariknya melihat tulisan capslock berbalas capslock? Apa bagusnya sih memarahi orang lain di social media? Apakah ingin menunjukkan kalau pemilik akun lebih superior, sementara yang lain lebih subordinat?”

Di manapun itu, ketika seseorang dalam kondisi sedang marah, mereka cenderung sulit untuk berpikir secara logis karena dikuasai oleh emosi. Di situlah bahayanya sebuah media komunikasi instan ketika berada di dalam genggaman seseorang yang sedang marah dan lepas kontrol.

Sama seperti lainnya, saya pun pernah mengalami hal-hal menjengkelkan. Tapi ketika saya ingin memosting ’emosi’ saya ke social media, selalu terjadi dialog dengan diri saya sendiri. Apa iya saya benar-benar menginginkan emosi, kemarahan, dan konflik saya dengan orang lain itu layak ‘dipertontonkan’ di depan umum? Atau, perlukah seluruh follower dan orang-orang yang ada di friend list saya tahu kegalauan saya? Is it worth the energy? Kalau ternyata jawabannya ternyata lebih banyak tidaknya, ya berarti mungkin memang tidak perlu.

Obrolan di BBM, sms, atau chat di media lainnya pun sebenarnya berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Tidak semua orang punya kemampuan yang bagus dalam berkomunikasi, menerjemahkan apa yang dimaksud ke dalam bahasa tulis, sekaligus memilih diksi yang tepat agar mudah dipahami oleh lawan bicara. Sebaliknya, tidak semua orang punya kemampuan yang cepat dalam memahami maksud kita. Karena ketika dikomunikasikan ke dalam bahasa tulis, seringkali isyarat verbal dan non-verbal menjadi ‘hilang’ esensinya. Itulah mengapa saya sebenarnya lebih memilih bertemu langsung atau menelepon yang bersangkutan untuk menjelaskan apa maksud saya supaya tidak terjadi kesalahpahaman yang berlarut-larut.

Kebanyakan kita menggunakan social media untuk berjejaring, menambah teman, dan untuk tujuan positif lainnya, kan? Kalau kita lebih sering memosting status-status bernada kemarahan, apa iya memang itu ‘pesan’ yang ingin kita sampaikan kepada teman, kolega, dan follower kita; bahwa kita adalah seorang hot headed? Is this the message that you really want to deliver?

Think again ๐Ÿ˜‰

[devieriana]

sumber ilustrasi dari sini

Continue Reading

Avatar

mask

Di sebuah sore yang basah setelah diguyur hujan sejak siang, di salah satu sudut sebuah kedai coffee giant, saya memenuhi janji temu dengan dengan salah satu sahabat yang kebetulan sedang transit di Jakarta seusai dia menghadiri undangan sebagai narasumber di negara tetangga. Seperti biasa, obrolan hangat langsung tercipta karena memang sudah lama sekali kami tidak pernah bertemu karena alasan jarak, waktu, dan kesibukan masing-masing.

Obrolan bergulir begitu saja, mulai dari saling bertukar kabar tentang kondisi masing-masing, berlanjut ke berbagai topik obrolan lain yang sifatnya random. Begitulah memang kebiasaan kami; apapun bisa jadi bahan obrolan sekalipun topiknya absurd.

“Eh, akun facebook kamu kenapa dihapus?”, tanya saya.

“Hmm, nggak apa-apa, lagi jenuh sama social media. Padahal aktivitas social mediaku belum seheboh kamu, ya? ;))” jawabnya sambil menyesap secangkir coffee latte kegemarannya.

“Ah, kamu synical banget, deh. Aku udah nggak seaktif dulu kok. Facebook cuma login kalau lagi pengen, kalau enggak ya nggak login. Kalau ngetwit sih masih, tapi itu juga udah nggak aktif-aktif banget. Aku juga pernah ngerasa jenuh kaya kamu, tapi ya udah, nonaktif sementara aja dari socmed; sambil melakukan hal lain yang jauh lebih real. You know what I mean-lah”, saya tertawa sendiri mendengar kata-kata saya barusan.

Dia tertawa renyah sambil mengunyah sepotong waffle pesanannya. Hingga saat ini dialah partner in crime saya yang paling nyambung untuk berdiskusi tentang apapun. Tema obrolan yang random seringkali mengisi obrolan-obrolan kami. Tapi di balik kerandoman itu selalu ada ending menarik yang bisa saya ambil dan pelajari. Di balik kata-katanya yang sederhana terkadang justru mengandung arti dan pemikiran-pemikiran yang mendalam.

Terakhir dia bertanya seputar kabar aktivitas saya di socmed, dan saya jawab dengan cengengesan. Ya, karena saya tahu, dia adalah orang yang paling kritis dan bawel ketika saya masih eksis di mana-mana. Setiap kali saya bercerita tentang kegiatan saya di akhir pekan, dia selalu geleng-geleng kepala. Menurutnya, saya orang yang nggak sayang sama badan, karena setelah seminggu ngantor, kadang masih harus meeting dengan klien di sore harinya, di akhir pekan masih harus berkegiatan bersama komunitas. Dan selalu, setelah beraktivitas nyaris tanpa istirahat itu kerap kali saya mengeluh kecapekan dan kurang fit, tapi kalau dinasihati saya suka ngeyel. Beberapa diskusi panjang dan sedikit eyel-eyelan kami lalui, sampai akhirnya saya ‘insyaf’ dan mengiyakan nasihat-nasihatnya. Lagi-lagi secara tidak langsung, saya belajar tentang bagaimana cara berkomunikasi. Terkadang untuk meminta orang lain untuk berubah tidak bisa dilakukan dengan jalan intimidasi dan emosi. Dari obrolan yang santai, sederhana, dan tidak menggurui, ajakan/nasihat itu bisa diterima tanpa ada adu argumentasi yang berlebihan kok. Ah ya, lagi-lagi cuma masalah teknik, cara.

Di tengah percakapan tentang blog saya yang sempat ter-suspend, dia cuma tertawa.

“Blog kamu ter-suspend? LAGI?

“Iya, maklumlah, waktu itu hostingannya masih cari yang gratisan, jadi ya gitu deh. Sempat galau nggak bisa nulis selama beberapa bulan. Mana banyak postingan lama yang hilang pula, udah di-back up sih, tapi belum sempat di-download. Terus sekarang pas blognya udah ON lagi, jadi agak males nulis gitu. Kenapa, ya? :-w”

“Mmmh… mungkin karena ada konsep dan tema tulisan tertentu yang kamu paksakan untuk ditulis di blog…ย  :-“”

“Ah, aku nulis apa yang pengen aku tulis aja kok, nggak ada tema/konsep tertentu. Atau…, emang berasanya gitu, ya? :-?”

“Hmm, iya, kadang-kadang ๐Ÿ™‚ . Anyway, aku jadi ingat seorang teman. Dia mulai dikenal orang berawal dari eksistensinya di socmed. Semakin dia dikenal orang, semakin dia dianggap baik, pintar, bijaksana, dan menyenangkan, semakin dia ‘terjebak’ dalam pencitraan yang melelahkan. Tulisan dan status-statusnya berisi kalimat-kalimat inspiratif dan memotivasi banyak orang. Uhhm.. bagus sih, tapi entah kenapa aku melihat dia seperti sebuah avatar; sebuah citra; dia tidak sadar sedang mencitra dirinya. Sebagai manusia, kita pasti punya sisi baik dan buruk, kan? Dia juga manusia biasa yang bisa capek, bisa sebel, bisa galau, bisa misuh-misuh juga kalau lagi marah. Hingga akhirnya dia mengeluh jenuh dengan semua pencitraan yang tidak sengaja telah dibangunnya sendiri. Diam-diam dia rindu jadi dirinya sendiri seperti saat belum banyak dikenal banyak orang. Nah, singkat saja aku bilang, “So, why busy become an avatar kalau kamu capek? “

Spontan saya mengernyitkan dahi. Di saat yang sama saya juga sedang galau tingkat internasional, dan kata-kata dia sore itu membuat saya merenung sendiri. Avatar.

“Di luar sana, ada banyak orang yang berusaha menginspirasi dan memberi semangat ke orang lain, sementara di saat yang sama sebenarnya dia juga sedang butuh pencerahan, inspirasi, dan suntikan semangat. Aku, belum bisa jadi avatar. Aku masih membatasi diriku cukup menjadi guru untuk mahasiswaku saja; nggak lebih. I’m scared if someone really following me. Not yet I am far from wise person. Nggak pengen being toxicate by fame…”

Dengan kapasitas otak yang terbatas, saya manggut-manggut sambil berusaha mencerna kata demi kata yang keluar dari bibirnya dengan cermat.

“Virtual thing is like a knife with two edges. Katakanlah aku yang yang mungkin over protective dengan diriku sendiri, ya. Aku cuma nggak pengen jadi orang yang terlalu menikmati sanjungan, pujian, dan akhirnya jadi overjoyed. Karena kalau manusia sudah berada di titik itu dia akan sulit melihat kesalahannya sendiri, cenderung defensif sama kritik. Kamu pasti masih ingat, kan, gimana narrow minded-nya aku beberapa tahun yang lalu?”

Sekali lagi saya mengangguk pelan,ย  menyesap secangkir Earl Grey yang hampir dingin;ย  sambil terus menebak ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara.

“Beberapa temanku masih ada yang menganggap socmed dan pernak-perniknya itu dunia yang sesungguhnya. Lucu, ya? Padahal still there’s a bold line between real and virtual. Hmm… by the way, aku seneng lihat kamu kembali ‘normal’ kaya beberapa tahun lalu ;)”

“Oh, jadi selama ini kamu pikir aku nggak normal, gitu? [-(“

Dia lagi-lagi tertawa,

“Ah, nggak normalnya baru sedikit, kok. Tapi serius, glad to have you back on the track… “

Seusai pertemuan itu, di sepanjang jalan menuju rumah, saya berusaha mencerna kembali inti obrolan kami sore tadi. Semakin banyak orang mengenal seseorang, akan semakin banyak pula hal yang harus dia jaga, dia lindungi, atau dia tutupi; setidaknya agar semua tetap terlihat normal dan baik; kecuali apa yang dicitrakan di luar itu sama dengan dia yang sebenarnya. Namun jika ternyata dia adalah orang dengan pribadi sebaliknya, pencitraan hanya akan menempatkan dirinya ke dalam posisi yang sulit dan serbasalah; terutama ketika dia ingin (kembali) menjadi diri sendiri.

Sesungguhnya ‘fame’ dan ‘pure’ itu cuma beda tipis.

Just my two cents…

 

 

Sebuah sentilan halus di sore menjelang malam yang gerimis.

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Antara medok & Megapolitan

Kemarin timeline saya mendadak muncul bahasan yang berhubungan dengan logat yang ‘medok’. Berawal dari tweetย @KeiSavourie yang menyatakan keheranannya melihat benturan budaya yang terjadi di Surabaya. Menurutnya, salah satu syarat menjadi kota megapolitan itu dengan tidak terlalu banyak menggunakan bahasa daerah, karena menurutnya penggunaan bahasa daerah menunjukkan semangat kesukuan dan eksklusifisme, jadi kurang cocok dengan modernisme.

Alhasil sore itu pun timeline saya penuh adu kicau antara Kei dengan beberapa akun lainnya. Menurut saya pribadi apa yang di-tweet Kei juga kurang tepat kalau ingin menjadi sebuah ‘teori’ baru tentang modernisasi denganย  menjadikan logat medok daerah menjadi salah satu parameter pantas tidaknya sebuah kota berpredikat sebagai kota megapolitan.

Kebetulan saya orang Jawa Timur, saya lahir di Surabaya yang besar di Surabaya dan Malang. Saya paham betul dengan pergaulan dan bahasa sehari-hari yang digunakan oleh orang-orangnya. Mayoritas kami menggunakan bahasa Jawa dengan logat Suroboyoan yang kental. Saya sendiri kalau di rumah berkomunikasi dalam 2 bahasa, Jawa dan Indonesia. Kalau bercakap-cakap dengan teman-teman kami ortu lebih memilih bercakap dengan menggunakan bahasa Indonesia, alasannya: “anak sekarang jarang ada yang bisa berbahasa daerah sesuai dengan tingkatan bahasanya.”

Bahasa Jawa memiliki 3 tingkatan bahasa, yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko. Krama inggil (krama alus) adalah bahasa yang digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua. Krama madya digunakan saat berbicara dengan orang yang sebaya atau jarak usianya tidak terpaut jauh di atas kita. Sedangkan ngoko digunakan saat berbicara dengan orang yang sebaya/lebih muda. Walaupun demikian penggunaan bahasa Jawa halus (krama inggil dan krama madya) di kalangan orang-orang Surabaya tidak sehalus di Jawa Tengah. Kebanyakan sudah bercampur dengan kata-kata sehari-hari yang ‘lebih kasar’. Kasar di sini bukan berarti bahwa arek Suroboyo itu identik dengan kekasaran, ya. Tapi lebih merujuk ke sikap tegas, lugas, dan terus terang. Sikap basa basi yang diagung-agungkan orang Jawa ‘tidak berlaku’ di kehidupan arek Suroboyo \m/

Nah, ngomong-ngomong soal medok, ketika saya pindah ke Jakarta sekitar 6 tahun yang lalu, logat saya juga medok tapi masih dalam tahap yang bisa dimaafkan ;)). Sempat dijadikan bahan becandaan karena logat saya dianggap ‘lucu’ di antara logat Jakarta mereka yang kental, tapi saya sih santai saja, malah lucu. Apalagi ketika mereka mengira berbahasa Jawa itu mudah, ‘cuma’ mengubah kata-kata yang berakhiran “a” menjadi “o”, seperti nama jadi nomo, lupa jadi lupo. Nggak gitu juga, kali! :))

Untungnya logat medok saya itu sama sekali tidak terdengar ketika masih bertugas di call centre. Bahkan setelah ‘pensiun’ sebagai call centre officer, saya sempat mengisi kelas calon-calon call centre officer dan ikut menguji mereka bersama para rekan ‘alumnus’ officer yang lain. Kami harus jeli mendengarkan mereka bicara baik secara langsung maupun via telepon, memastikan mereka sejak awal bebas dari logat kedaerahan; mencermati kata-kata yang mengandung huruf: d, b, p, f, v, r, l; dan tentu saja mereka harus bebas cadel. Mengapa harus bebas dari logat kedaerahan? Call centre sebagai pusat pelayanan pelanggan di seluruh Indonesia idealnya suara yang terdengar juga bebas logat kedaerahan. Tentu akan terdengar lebih enak didengar ketika logat kami terdengar ‘seragam’ walaupun call centre kami tersebar di 4 kota besar, dengan 4 logat khas yang berbeda pula: Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan.

Sebagai seorang yang kurang paham pergaulan di Surabaya, saya memaklumi Kei. Pada praktiknya nggak segitunya jugalah. Di forum-forum formal, di sekolah, kampus, di beberapa kantor/instansi, bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari non formal. Intinya bahasa Indonesia tetap dipergunakan di waktu dan tempat yang sesuai. Sebenarnya sih akan sama saja kalau kita pergi ke daerah lain, pasti akan terdengar orang bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa daerah mereka, kan?

Setiap kota pasti punya keunikan tersendiri, pun halnya Surabaya. Salah satu keunikan Surabaya selain logat orang-orangnya yang medok, juga ragam bahasa yang jauh lebih banyak, karena meskipun Jawa adalah suku mayoritas yang ada di sana, Surabaya juga menjadi tempat tinggal berbagai suku bangsa di Indonesia, di antaranya suku Madura, Tionghoa, Arab, dan sisanya merupakan suku bangsa lain seperti Bali, Batak, Bugis, Manado, dll.


Membaca tweet di atas membuat saya jadi antara ingin tertawa dan menangis dalam waktu yang bersamaan :((. Duh, pelestarian budaya Jawa kan bukan ‘cuma’ dari memedokkan gaya bicara saja, Kak. Kalau cuma kaya begitu, apa kabar itu para bule yang mahir memainkan gamelan dan menari tarian daerah kita padahal mereka sehari-harinya bicara dalam bahasa asing? Aduh, jadi pengen tepokin jidatnya siapa gitu, deh ๐Ÿ˜

Oleh kota mana pun predikat megapolitan itu nantinya akan disandang, biarkan dia berkembang sesuai dengan kultur masyarakatnya. Modernisasi toh bukan cuma diukur dari bahasa apa yang digunakan oleh mayoritas penduduknya, dan atau dari medok/tidak logat mereka, tapi harus dilihat secara holistik. Siapa tahu justru local wisdom justru bisa bersanding dengan modernisasi? Saya tinggal di sana sudah puluhan tahun, kalau ada yang bilang ada pemaksaan penggunaan satu bahasa kepada suku/ras lain yang ada di Surabaya, di mana letak pemaksaannya, ya? ๐Ÿ˜•

Kembali lagi ke konsep megapolitan, saya sempat membacanya diย sini . Saya kutipkan sedikit:

“Megapolitan adalah kota dengan ciri-ciri: (1) jumlah penduduk yang sangat besar; (2) jaringan yang tercipta menggambarkan keterkaitan bukan saja berskala nasional tapi juga internasional; (3) dari sudut ruang, menggambarkan adanya keterkaitan antar berbagai kota secara individual bahkan penggabungan.”

Bagaimana? Adakah di sana yang menyebutkan medok/tidaknya penduduk di suatu daerah menjadi parameter pantas tidaknya sebuah kota berstatus megapolitan? ;;) Ya siapa tahu predikat kota megapolitan selanjutnya justru bukan Surabaya, tapi kota lain di luar Pulau Jawa misalnya, secara fisik kota, infrastruktur, dan syarat-syarat lain-lainnya sudah terpenuhi dan siap dinyatakan sebagai kota megapolitan, apa iya hanya gara-gara masyarakatnya berlogat medok kedaerahan lantas predikat kota megapolitannya dicabut? Ya kan lucu.

Ok, mungkin Kei ingin menyampaikan hal yang jauh lebih luas dari apa yang sudah dia tuliskan kemarin, tapi berhubung cara/kalimat penyampaiannya ada yang kurang tepat akhirnya menimbulkan mispersepsi banyak pihak, dan parahnya dia sendiri jadi terjebak dalam logical fallacy.

Menyatakan ide/opini dalam bahasa tulis (yang dibatasi karakter) itu ternyata tidak mudah, ya? :p

Just my two cents

 

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Kompasianival 2012

Jumat sore kemarin (16/11) Masย Bukik mem-bbm saya, meminta tolong untuk hadir mewakili Indonesia Bercerita menerima penghargaan dari Kompasiana di hari Sabtu (17/11). Acara yang bertajuk Kompasianival 2012 ini merupakan rangkaian acara ulang tahun Kompasiana yang ke-4, yang tahun ini diadakan di Skeeno Hall – Gandaria City lantai 3.

Saya berangkat dari rumah sekitar pukul 18.00, sampai di sana sekitar pukul 19.00. Baru saja saya mendaratkan kaki memasuki ruangan yang penuh dengan booth-booth komunitas itu kok ya tepat pas acara pengumuman pemenang \:D/. Jadi semacam baru bangun tidur; nyawa belum genap, sudah diminta untuk berbaris ;)). Tapi bagus juga sih, jadi saya kan nggak perlu menunggu terlalu lama untuk menerima penghargaan itu. Bukan apa-apa, soalnya di sana nggak ada yang saya kenal; saya juga tidak bersama kru sekomunitas karena kebetulan masing-masing sudah punya acara di waktu yang sama. Jadi ya sudahlah, yang penting saya hadir untuk menerima penghargaan :D.

Sekadar laporan pandangan mata, Skeeno Hall sebagai tempat perhelatan acara Kompasianival kalau saya perhatikan sepertinya kurang dimanfaatkan secara maksimal, karena terlihat banyak space yang kosong. Entah karena jumlah booth komunitas peserta yang ikut tidak terlalu banyak, atau memang sengaja dibuat seperti itu. Humm, kalau menurut saya suasana di dalam Skeeno Hall juga kurang catchy, (cmiiw) sepertinya lebih banyak didominasi dengan warna hitam, ya? Semoga cuma mata saya aja yang siwer, ya. Dalam ekspektasi saya sepanjang perjalanan menuju ke lokasi acara, saya akan berada dalam sebuah suasana yang heboh layaknya sebuah event bertemakan karnaval. Tapi ketika sampai di sana ternyata nggak seheboh yang ada dalam bayangan saya. Ok, berarti sayanya yang lebay kali, ya? Tapi saya yakin panitia sudah bekerja dengan heboh dan berusaha mati-matian menyelenggarakan acara ini kok ya… ๐Ÿ˜‰

Tentang apa dan bagaimana kriteria secara khusus sehingga 10 komunitas ini dianggap sebagai “Komunitas Paling Berjasa di Media Sosial” dan berhak mendapatkan plakat dan uang tunai sebesar satu juta rupiah (dipotong pajak) ini saya kurang jelas (karena bukan panitia, hehe..). Yang pasti ada 10 komunitas yang berhak meneriman penghargaan itu, beberapa diantaranya ada Coin A Chance, Save Street Child, Ayah ASI, danย Indonesia Bercerita \m/ \:D/

Anyway, selamat ulang tahun buat Kompasiana, semoga semakin hore dan sukses selalu. Terima kasih kepada Kompasianival yang telah memberikan penghargaan kepada komunitas kami, Indonesia Bercerita. Semoga api kecil yang kami sebarkan melalui mendongeng ini tidak akan berhenti sampai di sini saja, namun akan menjadi nyala yang lebih besar lagi, dan semoga akan ada banyak lagi orang yang terinspirasi untuk memiliki semangat yang sama; mendidik dan membangun karakter anak bangsa melalui dongeng \m/.

Buat Indonesia Bercerita, selamat ya… :-* >:D<

 

[devieriana]

 

foto: dokumentasi pribadi

Continue Reading

Ghost Writer

Sejak peluncuran buku otobiografi terbaru Chairul Tanjung yang berjudul Anak Singkong, tanggal 30 Juni 2012 lalu, twitter juga diramaikan oleh protes keras sang penulis buku tersebut, Inu Fabiana, yang merasa hasil kerja kerasnya tidak dihargai. Entah, apakah ini bagian dari strategi marketing buku itu, atau memang ada konflik sesungguhnya antara si ghost writer dan si penyusun yang namanya tertulis di buku tersebut,ย Tjahja Gunawan Adiredja ๐Ÿ˜•

Ghost writer adalah seseorang yang menyediakan jasa penulisan artikel, buku cetak, dan atau konten web lainnya dengan kualitas penulisan yang tinggi, dengan format, topik, kata kunci, dan ketentuan lainnya yang telah ditentukan oleh klien. Ghost writer bertugas untuk “menerjemahkan” maksud dan ide klien ke dalam bahasa tulisan yang koheren dan utuh. Mengapa klien nggak mencoba menulis saja sendiri, daripada ribet mesti ‘menjahitkan’ ide ke ghost writer? Tidak semua orang yang pandai bicara di depan publik juga pandai merangkai kata dalam bentuk tulisan. Itulah salah satu alasan mengapa mereka menyewa jasa seorang ghost writer, salah satunya adalah untuk membantu menerjemahkan ide tersebut ke dalam format bahasa tulis.

Setelah menyimak twit Inu tanggal 1 Juli 2012 secara utuh, entah mengapa saya merasa ada kejanggalan di beberapa poin twitnya. Sependek pengetahuan saya, apapun itu jika sebuah project yang sejak awal sepakat dikerjakan secara profesional sudah seharusnya ada perjanjian hitam di atas putih yang disepakati di awal project sehingga sama-sama mengamankan kedua belah pihak. Karena pastinya dalam perjanjian tersebut akan menyangkut hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak pertama dan pihak kedua, kan? Mau yang mengajak kerja sama itu saudara atau sahabat sekalipun, kalau kerja sama itu sudah berbentuk kerja profesional dan berbayar, aturan mainnya pun harus jelas.

Kalau ada yang ingin membaca kultwit lengkap Inu Fabiana tentang #bukuCT bisa diikuti di sini. Nah, jika diperhatikan lebih jeli, poin 13 dan 14 kultwit tersebut merupakan poin yang terlewatkan oleh Inu, yang seharusnya justru menjadi poin penting project penulisan buku Chairul Tanjung tersebut.


Secara tidak langsung Inu menyatakan posisinya sebagai penulis di balik layar, di sisi lain secara tidak langsung Inu sudah mengesampingkan haknya sendiri. Andai saja dia tegas di awal kerja sama, dia sebagai apa dan akan dibayar secara profesional dengan nominal berapa, kesalahpahaman seperti ini pasti tidak akan terjadi. Sebagai seorang ghost writer seharusnya paham bahwa namanya pasti tidak akan tertampil di buku/karya yang ditulisnya, kalaupun tertampil pastinya bukan di sampul depan, tapi ada di dalam buku, bisa jadi hanya di lembar ucapan terima kasih.

Sampai di pertengahan twit disebutkan ada permintaan ibundanya agar Inu menampilkan namanya di buku yang dia tulis. Inu pun menyetujui dan mengusahakannya.


Menurut saya, ini bukan soal kalah-mengalah, ini sudah mengacu pada pekerjaan, pilihan profesi, dan menyangkut konsistensi. Koreksi kalau saya salah, sejak awal tidak ada paksaan untuk mengerjakan project ini, bukan? Jadi seharusnya tidak ada kata-kata “mengalah”, dan bukankah secara tersirat sejak awal dia sepakat bekerja sebagai seorang ghost writer, ya? Hmm, melihat begitu ruwetnya proses di balik penulisan buku ini jadi bikin penasaran… bentuk perjanjian kerja sama project ini seperti apa, ya? ๐Ÿ˜•

Selang sehari setelah kasus ribut-ribut di media tentang buku tersebut, muncul lagi twit dari yang bersangkutan, dan lagi-lagi terasa janggal buat saya.


Tapi akhirnya saya menyimpulkan bahwa terjadinya semua dispute ini adalah kurang adanya koordinasi terkait project yang sedang dikerjakan, utamanya adalah di perjanjian kerja sama.


Terlepas dari kasus buku Chairul Tanjung, entah siapa yang benar/salah, ada pelajaran yang bisa saya petik dari kasus ini. Pertama, be consistent, kalau di awal bekerja sebagai A, selanjutnya ya jadi A. Jangan pas sudah setengah jalan minta berubah posisi menjadi B atau X, kesannya jadi kurang profesional. Kedua, kalau belum siap melihat hasil karya kita diambil hak intelektual dan hak ciptanya oleh klien, jangan coba-coba untuk menjadi ghost writer. Artikel/karya yang telah diterbitkan, hak intelektual dan hak ciptanya sepenuhnya akan menjadi milik klien. Itu sudah merupakan perjanjian tidak tertulis seorang ghost writer dengan kliennya. Ketiga, jangan pernah menyepelekan surat perjanjian kerja sama dalam bentuk apapun dengan pihak manapun karena ini menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak. Keempat, semua kesepakatan seharusnya berlangsung di awal, sebelum project itu dilakukan. Kalau setuju ya ambil, kalau nggak setuju ya jangan diambil. Jangan memulai pekerjaan apapun sebelum ada kesepakatan. Jadi kesepakatan itu bukan di tengah, atau di akhir project. Berkontraklah!

Just my two cents ๐Ÿ™‚

[devieriana]

sumber ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading