Tentang Forum Tematik Bakohumas Itu

Forum Tematik Bakohumas 2015

Di suatu siang, di sela mengerjakan pekerjaan rutin, berderinglah telepon di meja kerja saya.

“Hai, Mbak Dev… aku dari Biro Humas. Aku mau nanya dong, kira-kira tanggal 5 Maret nanti jadwalnya padat, nggak?”

“Jadwal Bapak?” *sambil melihat ke arah papan jadwal pimpinan*

“No, jadwal kamu…”

“Jadwalku? Kosong, sih… Kenapa, Mbak?”

“Ok, aku mau minta tolong buat jadi MC Forum Tematik Bakohumas, ya. Ini sebenarnya acaranya Kemenkominfo, tapi dia bekerja sama dengan Setneg dan Setkab untuk penyelenggaraannya. Acaranya sendiri nanti di Aula Gedung 3 ya, Mbak…”

“Oh, gitu. Boleh deh… Nanti aku bisa minta run down-nya ya, biar aku pelajari dulu”

“Sip. Untuk detail acara nanti aku email dan fax, ya Mbak”

Tak lama setelah saya menutup telepon, selembar fax masuk; ternyata dari teman yang menelepon barusan. Saya baca sekilas draf susunan acara yang tertera di sana. Tapi sejurus kemudian mata saya berhenti di bagian daftar narasumber. Di situ saya baru sadar, kalau acara yang akan saya pandu nantinya ini ternyata acara yang akan dihadiri bukan hanya oleh pengelola kehumasan di seluruh Indonesia, tapi juga akan dihadiri oleh 4 orang menteri dan Seskab.

Jujur ini agak sedikit di luar perkiraan saya. Tadinya saya cuma berpikir bahwa acara yang akan saya pandu ini ‘sekadar’ acara seminar atau sosialisasi yang akan dinarasumberi oleh pejabat terkait kehumasan, atau seperti acara-acara kantor yang selama ini saya pandu. Kalau sampai 4 menteri ini hadir dalam satu acara, berarti bukan acara yang ‘ala kadarnya’. Baru kali ini saya dipercaya untuk memandu acara antarinstansi seperti ini, dan dengan level acara yang lebih tinggi lagi dari acara-acara yang biasa saya pandu. Bagi saya ini sebuah tambahan pengalaman.

Menurut informasi panitia, hampir 90% pejabat kehumasan pemerintah yang diundang menyatakan confirm hadir dalam acara ini. Bagi panitia ini termasuk rekor karena biasanya yang confirm hadir tidak pernah sebanyak itu. Entahlah, mungkin lokasi acara juga ikut menentukan mood kehadiran peserta 😀

Akhirnya, hari yang dijadwalkan itu tiba. Semua petugas menyiapkan diri sebaik mungkin, termasuk saya. Butuh banyak koordinasi dengan protokol masing-masing menteri/Seskab dan pihak penyelenggara. Ya siapa tahu ada perubahan di tengah acara, kan saya harus mengantisipasi itu.

Acara yang sedianya dijadwalkan mulai pukul 13.30 wib itu nyatanya sempat molor hingga pukul 14.00 karena para menteri ada rapat di Istana Negara. Itu masih untung, karena sedianya rapat digelar di Istana Bogor. Lalu terbayang dong bagaimana ribetnya menteri-menteri itu berpindah acara dari Bogor ke Jakarta dengan perjalanan yang tidak mungkin ditempuh dalam hitungan 5-10 menit, sementara para peserta dan jurnalis media sudah menunggu.

Akhirnya, para narasumber itu pun tiba di lokasi. Ternyata yang berkenan hadir sebagai narasumber ada Mensesneg (Pratikno), Menkominfo (Rudiantara), Menpan RB (Yuddy Chrisnandi), Sekretaris Kabinet (Andi Widjajanto), sementara Mendagri (Tjahjo Kumolo) yang sedianya berkenan hadir sebagai salah satu narasumber ternyata berhalangan hadir karena dalam waktu yang sama beliau ada acara yang tidak bisa ditinggalkan.

Ada yang sedikit unik di acara ini. Kalau boleh saya istilahkan, acara yang sedikit ‘koboian’. Seharusnya, sesuai dengan susunan acara, Menkominfo akan memberikan memberikan sambutan sekaligus membuka acara ini secara resmi. Tapi ketika saya undang untuk memberikan sambutan, yang maju adalah Mensesneg. Semua panitia sempat kaget, karena ini di luar skenario kami. Ternyata hal itu memang disengaja oleh Mensesneg karena kebetulan beliau pukul 14.00 harus menghadap Presiden, sementara jadwal beliau untuk membawakan keynote speech baru nanti pukul 14.05-14.20 wib, jadilah terpaksa bertukar jadwal dengan Menkominfo untuk mengejar kesesuaian jadwal acara bersama Presiden. Pffiuh! Lha, ini saya baru deg-degan. Saya pikir saya yang salah 😐

Lalu ‘koboi’-nya di mana? Ya gaya tukar menukar jadwal tanpa koordinasi ke panitia itu termasuk gaya ‘koboi’. Gaya penyampaian speech beliau pun tidak formal/kaku, dan tidak menggunakan slideshow seperti layaknya sebuah paparan. Tapi justru seperti sedang memberikan kuliah umum. Mungkin jiwa dosennya masih terbawa :mrgreen: . Btw, sebenarnya Pak Menteri kurang menyukai adanya podium dan panggung, tapi apa boleh buat setting dari ‘sananya’ sudah begitu. Gaya tanpa slideshow presentasi ini ternyata juga diikuti oleh Seskab dan semua menteri yang hadir sebagai narasumber dalam acara tersebut. Pokoknya gaya para narasumber semuanya santai dan ya itu tadi semacam forum sharing.

Dalam kesempatan itu Menkominfo mengimbau kepada seluruh jajaran pengelola kehumasan, selain memanfaatkan media konvensional, mereka juga harus memanfaatkan teknologi media sosial. Intinya menggunakan pendekatan ke masyarakat dengan cara yang lebih modern dan partisipatif. Memiliki dan menggunakan akun twitter juga disarankan oleh Menkominfo. Karena humas berada di dunia yang sangat dinamis, jadi sesuatu yang reachable sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Humas harus punya setidaknya dua akun twitter; akun kantor dan pribadi, dua-duanya harus jalan.

Oh ya, sebagai orang yang kadang-kadang masih bermain di ranah socmed, saya setuju dengan pernyataan Menkominfo, “media sosial membuat semua orang bisa menjadi jurnalis. Entah isinya kredibel, semi kredibel, atau tidak kredibel sama sekali.”

Mensesneg dalam kesempatan ini mencontohkan website yang sudah mencerminkan karakter pemerintah yaitu http://setkab.go.id . “Kehumasan itu mencakup hal yang sangat kaya, menjembatani dua pihak, membangun publik trust. Saya ingin humas itu seindah aslinya. Bukan hanya isi kebijakan tetapi juga karakternya.” Ada pernyataan Mensesneg yang cukup menarik dan sempat saya twit juga, “Adanya media sosial, membuat adanya jurnalisme tanpa dewan redaksi”. Benar, Pak. Semua bisa memberitakan apapun via akun socmednya. Dewan redaksinya ya pemilik akun masing-masing.

Masih ada paparan menarik yang lainnya yang juga disuguhkan oleh Seskab. Sebagai orang yang selalu mendampingi Presiden di dalam tugasnya sehari-hari, Seskab mendayagunakan socmed untuk meng- up date kegiatan Presiden. Saya sendiri baru tahu lho, kalau ternyata 1/3 foto yang ada di http://setkab.go.id dan yang ada di akun twitter resmi Setkab adalah hasil jepretan Andi Widjajanto. Andi Widjajanto juga menuturkan bahwa sebenarnya bahasa narasi sudah lewat masanya, sekarang adalah masanya bahasa visual. Bahkan bahasa visual ini pun sekarang sudah berkembang menjadi animasi.

Walaupun saya bukan bekerja di bagian yang menangani kehumasan, tapi melalui kegiatan ini saya jadi mendapatkan up date informasi dan tambahan pengetahuan baru tentang bagaimana seharusnya seorang humas pemerintah itu menjalankan tugasnya di era yang serbacanggih ini.

Btw, thank you teman-teman Kemenkominfo yang sudah memberi saya kepercayaan untuk memandu acara Forum Tematik Bakohumas beberapa waktu lalu ya 🙂

[devieriana]
Continue Reading

Tentang Twitwar Offline Itu

social media

Akhir-akhir ini saya sudah tidak seaktif tahun-tahun lalu dalam menggunakan sosial media mainstream, utamanya twitter dan facebook. Kalaupun iya masih login ya kalau sedang ingin login saja, sekadar ingin melihat berita apa yang sedang hits di media-media itu. Kalau bicara tentang frekuensi membuka socmed yang mana, mungkin justru lebih sering membuka blog daripada twitter/facebook (walaupun up date-nya pun jarang 😆 ).

Kurang lebih seminggu yang lalu, di Twitter, terjadi ‘kehebohan’. Apa itu? Ada yang twitwar! Halah biasa! Eh, kalau di twitter terjadi twitwar antarakun mungkin kedengarannya sudah biasa ya. Tapi twitwar yang kemarin bukan sekadar twitwar antarpemilik akun seperti biasanya, tapi twitwar yang berujung perkelahian antara 2 orang dewasa yang masing-masing mempunyai perbedaan pendapat tentang politik, dan akhirnya berujung pada perkelahian fisik di Istora Senayan. Dalam hitungan detik, berita perkelahian tak elok tersebut menjadi viral di berbagai sosial media.

Ketika berita itu diunggah ke media online saya tertawa sendiri sambil bergumam, “oh, ternyata twitwarnya beneran dilanjutin ke berantem ya? 😆 “. Saya memang sempat mengikuti perdebatan mereka di twitter walaupun tidak terlalu intens. Tapi saya tidak terlalu ambil pusing, karena seperti yang sudah-sudah pasti cuma berujung debat kusir.

Awalnya adalah ketika ada salah satu akun mengetwit tentang kunjungan Presiden Joko Widodo ke Malaysia untuk membicarakan prospek kolaborasi dengan produsen mobil Malaysia Proton untuk memproduksi mobil nasional Indonesia. Ketika akun tersebut sedang membahas kemungkinan program kolaborasi tersebut ternyata ada pengguna twitter lainnya yang mengkritik rencana tersebut. Dari situlah adu kicau terjadi; saling adu argumen yang akhirnya meningkat jadi aksi saling bully.

Twitter adalah sebuah ranah di mana cyberbullying (atau sering disebut bullying 2.0 atau kekejaman online) sering diterapkan, utamanya pada situasi ketika para pengguna teknologi digital terlibat dalam perilaku menyakiti pengguna internet/teknologi digital lainnya. Bentuk cyberbullying ini bisa bermacam-macam; bisa berupa celaan, cercaan, atau hinaan kepada satu sama lain. Bisa juga berupa kata-kata atau tindakan yang bersifat mempermalukan/melecehkan dan atau membahayakan orang lain. Bukan itu saja, yang paling sering dilakukan adalah dengan menciptakan akun-akun anonim dan digunakan untuk menyerang pemilik akun yang menjadi sasaran dengan menggunakan kalimat-kalimat atau ilustrasi yang bersifat merendahkan. Bentuk lain dari cyberbullying adalah melakukan aksi pengecualian (exclusion); aksi yang secara khusus dan sengaja mengecualikan seseorang dari kelompok online, seperti misalnya memutuskan hubungan dari media sosial padahal awalnya kedua pihak ini saling berhubungan atau berteman. Dan masih banyak lagi bentuk tindakan-tindakan cyberbullying lainnya yang mungkin tanpa sadar kita sendiri pernah (khilaf) melakukannya.

Brian Solis mengatakan, “Social Media is more about sociology and psychology more than technology”.

Ketika kita bicara tentang sosial media, kita bukan hanya akan bicara tentang teknologi semata, tapi bicara tentang sosial media secara menyeluruh, baik itu secara strategis, perspektif, dan sisi psikologis para penggunanya.

Lalu, apa menariknya perkelahian dua orang yang berawal dari twitwar di twitter itu? Tidak ada menariknya sama sekali. Tapi ada hal yang bisa dipelajari di sini. Pertama, dua orang yang adu jotos di Istora seminggu yang lalu adalah dua orang yang sudah dinyatakan matang secara usia. Tapi pada kenyataannya usia bukanlah ukuran kedewasaan dalam bertindak dan berpikir. Kedua, walaupun banyak yang mengklaim dirinya sudah lama dan mahir bersosial media, nyatanya tidak semuanya paham bagaimana ‘bermain’ di sosial media; buktinya masih ada yang membawa-bawa emosi online ke offline. Ketiga, setelah insiden adu jotos kemarin, saya yakin tidak ada satupun yang peduli tentang siapa yang sebenarnya jadi pemenang, yang terlihat hanyalah dua orang dewasa yang sama-sama kehilangan martabat dan akal sehat.

Sekadar tips ringan, ada baiknya kalau kita sudah merasa jenuh bersosial media, atau mudah terbawa emosi hanya karena membaca status sebuah akun, tidak ada salahnya untuk off sejenak dari dunia sosial media. Biasanya pikiran kita akan lebih fresh ketika kita kembali mengunjungi laman sosial media kita.

Ya, akhirnya sosial media hanyalah taman bermain bagi pengguna internet… seperti saya…

“Social media is changing the world, and we’re all here witnessing it”
Ian Somerhalder

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Instagram

Instagram

Sebenarnya saya bukan orang yang hobi mengabadikan moment via kamera. Dulu, zaman saya masih narsis (alhamdulillah sekarang sudah insyaf), saya lebih suka difoto ketimbang memoto, walaupun hasil fotonya pun tak selalu bagus karena angle dan gaya saya itu-itu melulu 😆 . Kalaupun sekarang menjadi sedikit menyukai fotografi mungkin karena saya banyak bergaul dengan suami saya yang lebih dulu menyukai fotografi, meskipun hanya menggunakan kamera saku. Yaelah, bahasanya… bergaul! 😆

Dulu, dia sering menjadikan saya dan teman-temannya objek foto, selain foto alam, pemandangan, jalanan, danmakanan/minuman. Cara dia mengambil gambar dan menangkap moment dengan menggunakan angle-angle tertentu seringkali menghasilkan gambar yang menurut saya istimewa. Dari situlah saya mencoba mulai belajar menangkap objek melalui kamera ponsel saya. Kebetulan ponsel saya nan cupu ini sudah dilengkapi dengan kamera yang mampu menghasilkan gambar dengan kualitas yang lumayan tajam setajam silet, dan yang penting sudah ada auto focus-nya, jadi lumayan bisa membantu menghasilkan gambar seperti yang saya inginkan. Makanya, doakan saya bisa beli DSLR, dong! :mrgreen:

Sebelum aplikasi Instagram happening di social media, saya lebih dulu mengunggah koleksi foto-foto amatir saya di Posterous (yang sekarang sudah almarhum itu). Dari sekian banyak gambar yang saya buat, saya cenderung menyukai objek yang diambil dari jarak dekat (close up), ketimbang objek yang jauh (semacam scenery/pemandangan). Kalaupun toh ada satu/dua foto yang diambil dari jarak jauh atau berjenis pemandangan, ya kebetulan karena saya anggap menarik untuk diambil gambarnya :-p

Tapi sejak Posterous nonaktif beberapa waktu yang lalu, semangat saya untuk memotret dan mengunggahnya ke website yang lain pun ikut kuncup 🙁 . Hingga akhirnya ketika banyak yang mengunggah foto melalui Instagram, sayapun jadi ‘latah’ ikut membuat akun di sana dan mulai mengunggah sebagian foto yang pernah saya unggah diPosterous di sana.

Sama halnya dengan menulis di blog yang seringkali dipengaruhi oleh mood, di Instagram pun alasannya sama. Mood! *cengengesan*. Terkadang banyak foto yang sudah saya simpan di HP tapi diunggahnya baru nanti kalau sudah mood. Tapi sekalinya mood, sekali unggah ke bisa bundling langsung 3-5 foto. Kalau sedang tidak mood, Instagram saya sampai keluar sarang laba-labanya lho, gara-gara terlalu lama tidak ada up date.

Kalau soal objek foto, karena adanya ‘keterbatasan’ gaya dan kreatifitas yang saya miliki, saya memilih untuk tidak mengunggah foto selfie. Kalaupun ada beberapa foto saya di situ itu juga sudah hasil editan sedemikian rupa sehingga layak tayang 😆 . Tapi serius deh, akhir-akhir ini jiwa narsis sudah tidak separah dulu. Mungkin karena faktor usia dan bawaan bayi… *alasan* :mrgreen:

Ya, semoga akun yang satu ini akan tetap terawat dan ada up date secara berkala, ya…

Kala-kala ada up date.
Kala-kala tidak ada up date sama sekali…

:mrgreen:

 

[devieriana]

 

Continue Reading

Balada Dinda

gantian duduk

Beberapa waktu yang lalu hampir semua akun socmed, media cetak dan elektronik ramai membahas status Path seorang perempuan yang bernama Dinda, yang curhat tentang kekesalannya terhadap para ibu hamil yang (menurut dia) manja karena selalu minta dikasihani dan minta tempat duduk. Pertama kali saya membaca status ini di Path jujur saya merasa geli, trenyuh, sekaligus prihatin pada Dinda. Geli karena statusnya kok kekanakan sekali padahal sepertinya usia Dinda sudah lebih dari cukup untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitarnya. Tapi, ah… bukannya usia bukan ukuran kedewasaan seseorang, ya? Trenyuh dan prihatin, lantaran dia sendiri seorang perempuan yang suatu saat juga akan merasakan menjadi seorang ibu hamil. Tapi kalau ditilik dari kelancarannya menulis status semacam itu di Path sepertinya Dinda ini masih muda, belum menikah, dan belum pernah merasakan menjadi ibu hamil 😀

Well, terlepas dari curhatan Dinda, saya punya cerita sendiri tentang suka duka menjadi ibu hamil dan transportasi publik. Saya merasakan sendiri bagaimana perjuangan menggunakan sarana transportasi umum ketika hamil. Kebetulan saya bukan tipikal orang yang suka merepotkan orang lain. Pun ketika naik transportasi umum. Kalau dikasih tempat duduk ya terima kasih, kalau enggak ya nggak apa-apa. Tingkat keikhlasan orang kan beda-beda, ya. Apalagi hidup di Jakarta. Jadi ya dimaklumi sajalah… *usap peluh*

Dulu, ketika hamil pertama kali, jarak antara rumah dengan tempat saya bekerja relatif dekat, dan sarana transportasinya pun sangat mudah. Tapi walaupun begitu, bukan hal yang mudah bagi seorang perempuan yang sedang mengandung untuk memaksakan diri berjejalan di halte untuk naik Transjakarta atau moda transportasi umum lainnya. Kalau saya memaksakan diri harus ke pool bus ya sepertinya kok agak buang-buang waktu dan tenaga ya, karena pool-nya lebih jauh dari jarak antara kantor dan rumah saya, sedangkan lokasi kantor saya ada di tengah rute mereka. Sering kali saya terpaksa mengalah menunggu sampai antrean halte agak berkurang supaya saya bisa berdiri lebih depan sehingga tidak terhimpit oleh penumpang lainnya yang tenaganya jauh lebih besar. Di dalam bus pun sering kali bangku prioritas untuk ibu hamil/lansia/difabel/ibu dan anak, sudah diduduki oleh penumpang yang tidak sedang dalam kondisi penumpang yang wajib diprioritaskan. Dan tipikal para penumpang yang sudah mendapatkan tempat duduk itu biasanya sama, (pura-pura) tidur sambil menyumpalkan earplug di telinga. Sekali lagi, beruntung waktu itu tempat tinggal saya dekat, jadi kalau terpaksa harus berdiri pun (insyaallah) masih kuat 😀

Di kehamilan saya yang sekarang ini kondisinya sangat jauh berbeda. Jarak antara tempat tinggal dan kantor saya relatif lebih jauh, waktu untuk menempuh perjalanan pun otomatis lebih panjang, apalagi pada kalau naik Transjakarta jurusan Harmoni-PGC yang jalurnya panjang dan macetnya luar biasa. Saya sering kali terpaksa menunggu antrean bus sedikit berkurang supaya bisa dapat tempat duduk. Tapi lama-lama saya menemukan jalur antrean khusus untuk kaum prioritas, jadi saya bisa naik bus sebelum penumpang reguler naik.

Semakin besar kandungan saya, semakin tidak memungkinkan bagi saya untuk menggunakan Transjakarta yang jumlah armadanya terbatas dan banyak penggemarnya itu. Beruntung akhirnya saya menemukan alat transportasi alternatif yaitu shuttle bus yang kini banyak disediakan oleh pengelola mall, sebagai sarana transportasi alternatif bagi para pekerja yang tinggal di luar kota, tapi bekerja di Jakarta. Lumayan aman dan nyaman, walaupun biayanya lebih mahal. Tapi demi kenyamanan, penghematan waktu dan tenaga, penggunaan moda transportasi ini sangat layak 😀

Jadi, kalau kembali lagi tentang status Dinda tadi, saya sangat memaklumi, karena memang Dinda ini belum merasakan bagaimana rasanya menjadi ibu hamil. Jadi masih termasuk ‘wajar’, karena kan biasanya kalau belum mengalami sendiri, cuma melihat dari luarnya saja, memang paling mudah mengeluarkan statement :mrgreen: . Tapi terlepas dari sudah/belum pernah merasakan menjadi ibu hamil/lansia/difabel/membawa anak kecil, ketika kita berada di situasi tersebut coba kita reframe deh, bagaimana jika seandainya kita yang berada di posisi mereka. Jadi ya kembali lagi ke kesadaran masing-masing saja. Rasanya kita tidak perlu menghakimi orang lain yang belum diberi hidayah atau kepekaan melihat lingkungan sekitar. Kalau memang kita di situasi yang sama masih merasa sehat/mampu/ikhlas/kuat bergantian tempat duduk dengan mereka yang patut mendapat prioritas, ya monggo diberikan. Kita tidak pernah tahu, karena bisa saja suatu saat nanti gantian kita yang berada di kondisi yang sama dengan mereka.

Satu hal lagi yang penting untuk diingat, berhati-hatilah memposting status di akun social media, sepribadi apapun settingan akun socmed kita. Kalau dulu kita mengenal adagium “mulutmu harimaumu”, sekarang di era social media ada istilah, “tweetmu harimaumu”, “postinganmu harimaumu”, “statusmu harimaumu”. Sekali saja kita menerbitkan postingan/status, dan lalu menekan tombol enter/publish, seketika itu juga orang lain akan melihat, membaca, mengomentari, dan bahkan menyebarluaskannya ke berbagai akun social media hingga ke batas yang tidak mampu kita tentukan. Itulah saat di mana kita kehilangan kendali terhadap efek apa yang akan timbul kemudian.

Sekalipun kita berkomunikasi secara tidak langsung di ranah maya, namun perlu diingat bahwa yang kita ajak berkomunikasi, yang membaca postingan dan status kita itu juga manusia. Mungkin saja kita tidak bermaksud buruk, namun toh akan selalu ada hal-hal yang diterima secara berbeda jika dilihat dari kacamata orang lain.

Bukan berarti kita tidak boleh mengeluarkan statement/opini, tapi apa salahnya jika lebih berhati-hati ketika akan mengeluarkan opini. Terlebih jika itu sifatnya pribadi dan mengandung hal yang sensitif bagi orang lain.

Just my two cents 😉

 

[devieriana]

 

gambar diambil dari twitternya @gantijakarta

Continue Reading

Know Your Limit

Semalam, salah satu teman kantor me-whatsap saya. Dia melampirkan sebuah capture kalimat yang berbunyi:

path

Ketika membaca kalimat itu entah mengapa saya jadi sedih, meski saya tidak mengenal orang yang dimaksud dalam capture tersebut (Mita Diran a.k.a @mitdoq), tapi tiba-tiba teringat beberapa sahabat saya yang bekerja tak kenal waktu. Karena tuntutan pekerjaan tak jarang mereka hanya sempat istirahat selama beberapa jam dan harus segera siap/stand by untuk kembali bertugas atau menyelesaikan deadline.

Dulu, sewaktu saya masih belum berkeluarga, masih euforia-euforianya dengan pekerjaan, hampir sebagian besar waktu saya berikan untuk pekerjaan. Bahkan di waktu-waktu yang seharusnya saya luangkan bersama keluarga pun harus rela saya lepas demi menyelesaikan deadline. Kadang saya berpikir, kok saya seperti nggak punya kehidupan selain pekerjaan dan kantor, ya? Tapi seolah tidak punya pilihan lain, saya kembali tenggelam dengan kesibukan saya di kantor. Sempat juga saya mengeles, “ya nanti kalau sudah berkeluarga kan konsentrasinya bakal beda, nggak ke pekerjaan lagi. Sekarang mumpung masih single, gapapa kali…”

Nah, apakah setelah menikah saya terlepas begitu saja dengan tugas dan deadline? Tidak juga. Bahkan ketika saya cuti pun, cuma fisik saya saja yang (sepertinya) cuti; secara fisik saya di Surabaya, tapi pikiran saya ada di Jakarta. Bagaimana mau merasakan cuti kalau saya masih terima telpon, masih kirim dan terima email, masih mengecek pekerjaan anak buah (walau telpon/sms hanya untuk sekadar mengecek kondisi di lapangan, ada kesulitan/nggak). Bisa saja sih saya matikan HP dan email selama cuti. Tapi nyatanya tidak bisa semudah itu karena ada tuntutan tanggung jawab disana. Di saat itulah saya mulai merasa seperti diperbudak oleh pekerjaan dan deadline.

Bahkan ketika saya sudah beralih status menjadi PNS pun kesibukan itu masih ada. Bedanya, kesibukan saya waktu itu lebih ke kegiatan komunitas. Hampir setiap akhir pekan ada saja jadwal kegiatan di sana-sini. Bahkan di sela-sela jam kerja atau pulang kerja pun saya ada jadwal meeting. Akibatnya, tubuh saya jadi mudah drop. Apalagi saya bukan orang yang sering berolah raga untuk menjaga kebugaran tubuh. Badan saya pun menjadi rentan sakit, sering kena flu, radang, demam, dan sebangsanya.

Sama seperti kasus Mita Diran, salah satu rekan kerja suami di tempat kerjanya yang dulu juga bernasib sama. Kerja di sebuah perusahaan kontraktor membuatnya tidak lagi kenal waktu. Demi terselesaikannya target pekerjan sesuai dengan jadwal dia relakan fisiknya bekerja ekstra keras. Rasa capek luar biasa yang mendera tubuhnya tidak lagi dirasakannya, kurangnya waktu istirahat, jadwal makan yang tidak teratur, konsumsi kopi, rokok, dan suplemen penambah stamina yang berlebihan demi ‘menjaga’ agar fisiknya tetap fit dan terjaga, membuatnya harus dirawat di RS sebelum menghembuskan nafas yang terakhir di sana.

Kita itu manusia, bukan robot atau mesin. Bahkan robot/mesin saja punya waktu/jadwal untuk maintenance, kenapa tubuh enggak? Tubuh juga punya alarm yang akan memperingatkan kita ketika dia butuh istirahat. Tapi yang ada seringkali justru manusianya yang bandel, mengabaikan peringatan itu dengan alasan, “kalau nggak diselesaikan sekarang keburu kerjaan yang lain datang dan numpuk-numpuk”, atau iya, bentar lagi, nanggung nih…. Capek yang seharusnya dibawa istirahat justru menjadi pemicu untuk menggunakan obat/suplemen penambah stamina. Baru sadar kalau ternyata tubuh punya batas ketika sudah ambruk, terbaring di rumah sakit :(.

Kalau kata Nick Deligiannis :

“Remember, a professional is a person who never allowed himself to dissolve in the job and no longer have time for personal life”

Buat yang masih suka bekerja tak kenal waktu, know your limit. Love and listen to your body.

 

[devieriana]

Continue Reading