Balada Cincin Berlian

diamond ring

Di suatu siang, di tengah kesibukan saya menyelesaikan berkas yang menumpuk di meja, tiba-tiba smartphone saya berbunyi lirih. Sepintas terlihat nama seorang teman dari biro sebelah. Hmm, tumben dia bbm; biasanya jarang banget kalau nggak ada perlu/nanya sesuatu ๐Ÿ˜€

Teman: Hei, Mbak… Kamu suka cincin, nggak?

Saya: Hmm, suka… Aku suka pakai aksesoris-aksesoris gitu. Cincin apaan?

Teman: Nah, kalau gitu kebetulan banget dong, aku ada cincin berlian nih, Mbak. Mbak mau nggak? hehehe….

WHAT?! Siang-siang begini tiba-tiba ditawari cincin berlian? ๐Ÿ˜ฎ

Saya: Bentar, bentar, kamu ini nanya, mau ngasih, apa mau jualan? :mrgreen:

Teman: Hihihihihik, mbak mau liat nggak? Ada sertifikatnya kok, Mbak….

Saya: Wah, jualan nih kayanya ๐Ÿ˜†

Teman: Kinda, Mbak :lol:. Ya, namanya nyoba bisnis kecil-kecilan, Mbak…

Saya: Kalau bisnis berlian aja disebut bisnis kecil-kecilan, gimana bisnis gede-gedeannya? Jual langsung di tambangnya kaya grosiran gitu? ๐Ÿ˜†

Teman: Cuma bantuin bisnisnya mertua aku, Mbak…

Saya: Kamu tuh, mbok ya kalau nawarin berlian itu ke ibu-ibu deputi, Bu Menteri, atau ibu-ibu pejabat lainnya gitu. Nawarin berlian kok ke staf Kepala Biro. Udah gitu nawarinnya nggak pakai kira-kira, yang paling gede pula berliannya ๐Ÿ˜†

Teman: Hahahahak, kemarin aja aku bawa 6 buah ke kantor, cuma sisa 1 yang paling besar dan paling bagus. Menurutku sih modelnya ok banget!

Saya: Laris amat? ๐Ÿ˜ฎ Emang harganya berapaan sih? Bisa dicicil lewat koperasi, nggak? :mrgreen:

Teman: Murah kali, Mbak. Dari mertua aku harganya 22,5 juta. Mbak mau ambil berapa? Buat mamanya Mbak juga gapapa, kok. Kemarin aku bawa cincinnya lengkap, tapi aku lupa mau nawarin ke Mbak ๐Ÿ˜€

Eh, buset dah ya, demi apa siang-siang begini ditawari cincin berlian seharga dua puluh dua setengah juta? Habis beli berlian trus saya harus puasa, gitu? ๐Ÿ˜ฎ

Iseng saya cerita ke salah satu teman di kantor yang kebetulan mengurusi masalah simpan pinjam di kantor, beliau komentar,

“Kan kalau pinjaman yang kemarin di-approve masih ada kembaliannya tuh, Dev. Udah, beli aja! Cuma 22,5 juta ini! :mrgreen:”

Hih, kompor!

Lain lagi dengan komentar salah satu teman saya yang pecah tawanya seketika mendengar saya ditawari cincin berlian seharga 22,5 juta itu.

“Nah, berarti menurut dia kamu itu potential customer, Mbak….”

Oh, gitu ya? Jadi gimana? Perlu nge-print duit sekarang nggak nih?
๐Ÿ˜†

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

Continue Reading

Ekspresi(f)

expression

Pernah memperhatikan gaya dan ekspresi kita/orang lain sewaktu berbicara, nggak? Kalau saya sih selalu. Saya sering diam-diam memperhatikan lawan bicara saya ketika bicara atau menjelaskan sesuatu. Ternyata gayanya bermacam-macam; ada yang sangat ekspresif, biasa saja, tapi ada juga lempeng banget (nyaris tanpa ekspresi).

Saya termasuk orang yang cenderung ekspresif ketika berbicara, mungkin sudah settingannya seperti ini sejak kecil. Bukan hanya ketika ngobrol dengan sesama orang dewasa saja, tapi ke anak-anak kecil pun gayanya juga sama. Di rumah sering ada anak-anak kecil, entah keponakan atau anak tetangga. Kalau sedang bermain/ngobrol/membacakan buku dongeng saya sering berekspresi aneh-aneh menyesuaikan tema obrolan/cerita saat itu. Mereka sontak menatap saya sambil terlongong-longong. Tapi begitu saya selesai bicara mereka seperti tersenyum lega. Entah lega karena saya akhirnya selesai bicara, atau ada yang lucu dengan kata-kata atau ekspresi saya. Semoga mereka nggak menganggap saya aneh, ya…

Kurang lega rasanya kalau menceritakan sesuatu secara lurus-lurus saja, tanpa ada penekanan kata, ekspresi, dan gerakan tangan. Bahkan untuk menyatakan kata ‘jauh’ atau ‘banyak’ saja rasanya kurang mantap kalau cuma bilang, “rumahnya jauh banget’. Jadi harus ditekankan lagi “rumahnya tuh, gila… jauhhhh banget!”. Itu untuk menggambarkan waktu tempuh yang berjam-jam dan jarak tempuh yang berkilo-kilometer jauhnya. Pun halnya dengan menceritakan jumlah; kalau sekadar bilang ‘banyak’ atau ‘sedikit’ tanpa ada penekanan kata rasanya belum lega. Itu belum dengan gerakan tangan yang ke mana-mana, ekspresi wajah yang sedemikian rupa, dan masih harus ditambah dengan pembedaan warna suara dan ekspresi kalau sedang bercerita tentang karakter orang lain. Heboh, ya? Iya! ๐Ÿ˜†

Sebaliknya, saya punya teman yang kalau bercerita ekspresi mukanya datar saja. Untuk menggambarkan rumah yang jauh tidak ada pembedaaan antara jarak yang cukup jauh dan jauh banget. Pun untuk menggambarkan perasaan sedih, senang, gembira, dan takut, cuma ada satu level ekspresi. Lempeng banget.

“Aku kemarin abis kecopetan di bus dong, Dev”

Kok pakai ‘dong’, ya? Kesannya abis kecopetan kok sombong amat? :mrgreen:

“Hwaaa… trus, trus?”

“Ya udah, mau gimana lagi? Aku lagi lengah, kali”

“Yah, kasian :(. Trus?”

“Ya sedih sih, tapi mau gimana lagi, namanya juga musibah. Pelajaran, harus lebih hati-hati lagi. Habis ini mau ke kantor polisi, mau bikin surat kehilangan”

Semua itu diceritakan dalam nada dan ekspresi yang datar, lurus, dan biasa saja. Kalau diibaratkan dengan handphone, mungkin dia adalah sejenis HP monophonic. Tapi memang sejak dulu gaya berbicaranya setelannya sudah seperti itu sih. Dia memang bukan tipikal orang yang butuh ekspresi berlebihan ketika menceritakan sesuatu. Padahal kalau saya mungkin sudah sambil kayang dan salto segala.

Begitu juga ketika menjelaskan tentang rute menuju suatu tempat. Nggak ada tuh yang namanya tangan berbelok-belok, lurus, naik, turun, melebar/menyempit. Penggambaran lewat tangannya hanya berhenti di satu titik saja; di tengah. Entah itu mau lurus, belok kanan/kiri, naik, turun, posisi tangannya hanya bergerak di titik itu saja. Berbeda dengan saya yang kalau bercerita tentang rute menuju ke sebuah tempat bisa sambil saya gambar di udara/tanah. Berasa main dam-daman…

Seperti ketika saya menceritakan ulang tentang betapa ribetnya seorang penumpang pesawat di sebelah saya, yang sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Surabaya sibuk sendiri itu juga saya peragakan di depan teman-teman saya lho. Mulai dari dia mengeluarkan permen, mengeluarkan roti. Makan sebentar, lalu mengeluarkan buku. Benerin jilbab. Mengalungkan tas ke leher. Tasnya diilepas lagi lalu dipangku. Mengeluarkan obat batuk, dibuka tutupnya, nggak jadi diminum. Memasukkan lagi obat batuknya ke dalam tas. Memasukkan buku di saku tas belakang. Resleting tasnya ternyata nggak bisa ditutup, tas dibuka lagi, buku dikeluarkan, ditekuk jadi dua, ternyata tetap nggak bisa masuk. Buku dimasukkan ke dalam tas plastik. Diam sebentar, mengeluarkan permen, nawarin ke tetangga kiri/kanan, nggak ada yang mau, permen dimasukkan kembali ke dalam tas. Batuk-batuk, tutupin pakai syal. Buka tas lagi, mengeluarkan buku yang tadi, dan bermaksud untuk dibaca. Belum ada satu halaman sudah ngobrol sama teman di kursi sebelah. Lipat lagi bukunya… dst. Sampai akhirnya tiba di Surabaya..

“Liat kamu cerita kenapa aku jadi ikut capek ya, Dev…”

Ih, situ baru denger saya cerita aja capek. Gimana saya yang mengalami langsung.

Bagaimana dengan gaya bercerita/berkomunikasi kalian? Ekspresif, biasa saja, atau cenderung tanpa ekspresi? ๐Ÿ˜€

 

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

 

Continue Reading

Ujian Akhir Semester

Pernah ketawa sendiri sampai diliatin orang-orang se-busway? Belum? Lha, kenapa belum? Saya sudah dong! *bangga*. Bukan. Bukan karena saya telat minum obat trus tiba-tiba kambuh di bus, tapi ini akibat iseng baca bbm group yang sedang membahas hasil UAS anaknya temen (namanya Kaka), dan itu bikin saya nggak mampu menahan tawa. Asli absurd! =)) . Ya kalau di tempat yang nggak banyak orang sih saya bisa aja ngakak dengan gagah berani. Lha kalo di bus? Diantara orang-orang yang sedang bergelantungan dan duduk pura-pura tidur, trus tiba-tiba saya ketawa sendiri aja, gitu? Lha apa nggak akan menimbulkan berjuta tanda tanya, “Mbak, mentalnya sehat, Mbak?”

Cerita si Kaka ini mengingatkan saya ke zaman masih awal-awal sekolah di SD. Ah ya, kita pasti nggak langsung pinter, dong. Waktu kecil pasti pernah menjawab soal ujian dengan jawaban yang absurd. Ya namanya juga masih belajaran, menyerap beberapa ilmu sekaligus dengan kapasitas otak yang baru tumbuh pasti menghasilkan dispute disana-sinilah. Contohnya nggak usah jauh-jauh, saya dan Si Kaka ini.

Coba yah, apa reaksi kalian kalau baca screen capture ini?

Kalau saya, selain bertanya-tanya juga ngakak tertahan sampai perut kaku. What the… KIPLI? Siapakah gerangan Si Kipli ini kok sampai (berani-beraninya) jadi nabi dan rosul yang terakhir? Nama lengkapnya Julkipli? ๐Ÿ˜•

Usut punya usut, Si Ayah akhirnya cerita:

“iya, ternyata anakku diajari lagu nama-nama nabi sama guru ngajinya. Ada Adam, Idris,….. dst sampai Zulkifli. Jadi ajarannya baru nyampe Zulkifli, belum sampai Muhammad. Dan kok ya pas yang didenger cuma Kipli-nya aja..”

Saya langsung ngakak nggak berhenti-berhenti. MWAHAHAHAHA! =))

Tenang, itu baru soal pertama. Di soal berikutnya, jawaban Si Kaka juga nggak kalah lucunya. Kali ini soal PKn. “Upacara pembakaran mayat di Bali disebut …..” Kaka pun menjawab pertanyaan itu dengan polos: “obong-obong”. Ayahnya pun komentar sambil tergelak, “woogh, cah gemblung!” . Saya lagi-lagi tak bisa menahan tawa. Lha, emangnya sampah kok diobong?ย  Tapi bener sih, obong itu kan bakar, ya? Obong-obong berarti bakar-bakar. Masuk logika ;))

Jawaban soal berikutnya pun tak kalah menakjubkan. Kali ini pertanyaannya adalah “Pembangunan harus dilakukan oleh …..” Dijawab oleh Kaka dengan mantap: “Bapak’e Suli. Suli teman kampung Kaka. Bapak’e kerja buruh bangunan…”. Kali ini Ayahnya mengelus dada, “owalah, anakku, anakku…”

Mantab, Nak! Pakai penjelasan pula! Seharusnya soalnya lebih dilengkapi lagi, “Pembangunan Balai RW di sebelah rumah dilakukan oleh…” Nah itu baru bener, oleh Bapaknya Suli yang tukang bangunan tadi. Ketika dikonfirmasi oleh ayahnya, Si Kaka masih bersikeras kalau jawabannya benar, dan menjawab pertanyaan Ayahnya itu dengan lugas dalam bahasa Jawa:

“Lho, bener Yah… Bapak’e Suli iku suka mbangun rumah, tiap hari melakukan pembangunan… Bu Sulem iku ancene (emang) nggak ngerti…”

Ya Tuhaaaan, saya ngakak sesorean di dalam bis nggak berhenti-berhenti. Tiga jawaban Kaka itu sukses membuat perut saya kaku lantaran menahan tawa. Tapi tenang Ka, kamu nggak sendiri. Tante dulu waktu SD juga gitu, kok \m/

Waktu SD dulu ada soal ulangan Bahasa Indonesia, semacam soal cerita, gitu. Ceritanya tentang liburan di rumah Paman dan Bibi yang tinggal di desa. Paman dan Bibi punya peternakan kuda. Nah, ketika tiba pada pertanyaan berikut ini saya mendadak bingung. “Paman adalah suami …”. Saya jawab aja kuda. Asli saya nggak tahu silsilah suami isteri itu apa. Suami itu artinya apa, isteri itu artinya apa. Lagian ada ilustrasi gambar kuda yang sedang mengangkat kedua kaki depannya. Saya mikirnya suami isteri itu semacam istilah untuk binatang peliharaan, gitu. Gemblung, ya? X_X

Papa yang melihat hasil ulangan Bahasa Indonesia itu nggak mampu menahan tawa. Makanya kalau lihat ada kuda malah justru ngeledekin saya, “tuh, isterinya Paman lewat tuuuh…”ย  ๐Ÿ˜

Pun ketika menjawab pertanyaan apa nama baju tradisional Ujungpandang (sekarang Makassar), saya jawab baju goblok. Kan bodo(h) itu sama aja goblok. Haduuuh, nista sekali sih daya nalar saya waktu SD :((. Bodo dan bodoh itu beda jauh… *puk-puk diri sendiri*

Kalau diingat-ingat lagi, waktu kecil aja saya sudah absurd begitu, makanya pas sudah gede absurd-nya sudah level advance, tinggal nyari sertifikasi aja, nih ;))

Buat Kaka, kamu cerdas, Nak. Daya nalarmu jalan. Terus belajar ya, Sayang. Biar makin pinter :-*

Kalau kalian punya cerita apa tentang masa kecil kalian? Absurd jugakah? Monggo lho kalau mau di-share ๐Ÿ˜‰

 

 

[devieriana]

sumber gambar asli dariย Ayahnya Kaka ๐Ÿ˜€

Continue Reading

Takut Tak Sempurna..

Di pagi yang sibuk itu, handphone di atas meja – yang hampir selalu diaktifkan dalam modus vibrate/silent itu – kembali bergetar. Sedikit memecah konsentrasi saya pagi itu. Melihat sebentar ke layar handphone, sekedar mengecek adakah mungkin email, sms, atau kabar penting lainnya yang masuk. Ternyata BBM dari seorang teman yang menanyakan kabar.

Ok, sepertinya bisa ditunda dulu ya, biar saya ngebut dulu deh kerjanya. Dengan cepat ibu jari saya mengetik sebaris kalimat di layar handphone. “Jeng, aku lagi sibuk dikit nih, aku kelarin bentar ya. Seperempat jam lagi kita sambung. Ok, Bebih? :D”. Enter. Tak berapa lama dia pun membalas dengan singkat, “Ok”.

Tak lama setelah selesai berkutat dengan berkas-berkas saya pun memenuhi janji untuk meluangkan waktu ngobrol dengan si teman. Menarik, karena dari sana mengalir sebuah obrolan yang bukan sebatas basa-basi menanyakan kabar. Biasanya sih kita cuma ngobrol ringan, seputaran gosip-gosip nggak penting, dan guyonan-guyonan nggak mutu ala kami berdua. Tapi ternyata kali ini sedikit berbeda, ada hal serius lainnya dibelakang sapaan pagi itu.

“Yes, Bebih. Udah agak santai nih sekarang.. Kenapa-kenapa? Ada gosip apa pagi ini? :> “, sapa saya di BBM

“Hmm, sebenernya bukan pengen ngegosip kok.. Aku pengen diskusi sedikit nih sama kamu..”

Sejenak saya terdiam, tidak mengetikkan satu huruf pun. Mencoba menerka-nerka, kira-kira dia bakal ngobrolin apa ya. Semoga bukan masalah yang serius deh..

“Mmmh, ya.. kenapa, kenapa?”

“Mmmh, gini, kenapa ya kok akhir-akhir ini aku sering merasa gusar sendiri. Kaya ada beban yang.. entah ya, masalah yang awalnya aku anggap bisa aku atasi ternyata waktu dijalani kok berat ya..”

Saya mulai mengernyitkan dahi membaca prolog diskusinya. Saya tunggu dia menuliskan semua uneg-uneg yang seperti saya duga, memang panjang :D.

“.. akhir-akhir ini aku kaya dibayangi ketakutan-ketakutan yang mungkin nggak berdasar. Kamu dan suami kan masing-masing menikah sebagai pasangan pertama. Sementara aku, menikah dengan suami yang sudah pernah menikah sebelumnya. Divorce dengan satu anak. Selama berumah tangga aku jadi sering paranoid sendiri, takut kalau-kalau.. I would never be as perfect as his ex wife used to be.. :(“

“Hush! Nggak boleh ngomong begitu, ah! :|”, sergah saya. “Sebenernya ukuran sempurna itu yang kaya gimana sih?”

” ๐Ÿ™ “

“.. tidak ada seorang pun yang terlahir dengan pribadi sempurna, Jeng. Nggak ada ayah/suami yang sempurna. Nggak ada ibu/isteri yang sempurna, juga anak yang sempurna. Semua berjalan melalui sebuah proses panjang pembelajaran. Kita nggak bisa membandingkan seseorang dengan lainnya, pun pasangan kita sekarang dengan pasangan sebelumnya. Karena memang nggak ada yang bisa dibandingkan, Jeng. Manusia itu kan terlahir unique, jadi sudah pasti “hasilnya” ya nggak akan pernah sama.. Misalnya, mantannya suamimu adalah Dian Sastro, trus kamu akan berusaha seperti Dian Sastro dalam segala hal, gitu? Enggak kan?”

“:-s “

“IMHO, saranku sih cuma satu, Jeng. Cukup jadi diri sendiri aja. Jadi isteri dan (calon) ibu dengan kepribadianmu sendiri. Mendidik & mengasuh buah hati kalian dengan cara kalian sendiri. Nggak perlu takut, apalagi membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Nggak akan fair juga kalau sampai pasangan nantinya membandingkan kamu dengan mantan pasangan sebelumnya. Karena nggak akan pernah sebanding, kalian jelas dua pribadi yang berbeda.. :)”

“….. “. Dia terdiam beberapa saat, mungkin menunggu saya menulis lagi ๐Ÿ˜€

“.. pasti ada alasan tersendiri ketika seseorang akhirnya memilih untuk hidup bersama kita ketimbang dengan yang lain. Contohnya, ketika suami memilih kamu sebagai isteri, mungkin karena kamu smart, mandiri, lembut, sabar, menyenangkan, dan yang paling penting dia merasa nyaman dengan kamu. Itu sebenernya poin kelebihan kamu, kan Jeng?”

“Iya, ๐Ÿ™ . Selama ini aku udah paranoid banget dengan hal yang satu itu. Dulu sebelum menikah aku sudah pernah ditanya Mama, apakah aku siap menikah dengan orang yang pernah punya kehidupan rumah tangga sebelumnya? Aku jawab siap, aku sanggup. Tapi setelah aku jalani di lapangan, ternyata berat juga ya. Aku seperti belum rela ketika dia bicara tentang anaknya.. ๐Ÿ™ “

“Dear, ada yang namanya mantan suami atau mantan isteri. Tapi nggak ada yang namanya mantan anak. Sampai kapan pun dia akan tetap jadi anak si suami. Mau nggak mau ya itu kenyataan yang harus kamu terima, menikah dengan satu paket status, menikahi pria sekaligus statusnya sebagai ayah dari pernikahan sebelumnya.. “

” iya sih.. :(“

“Jadi ya sudah, monggo diterima dan dijalani semuanya dengan legowo.. Mungkin berat buat kamu, tapi kalau kamunya ikhlas menjalani sebagai bagian dari konsekuensi pilihan yang sudah kamu ambil insyaallah kedepannya akan lebih mudah buat kamu. Amien….”

“Amien.. Thanks for the insight, Dear. Glad to have you as a friend >:D<"

“You are not perfect, Dear. But believe me you will always be perfect for him ;)”

Kalau bicara tentang kesempurnaan sepertinya nggak akan pernah selesai ya. Saya sepertinya harus berterima kasih juga pada si teman yang akhirnya dari obrolan tadi kok seperti mengingatkan diri saya sendiri untuk berhenti mengejar kesempurnaan. Karena tanpa sadar saya juga kadang-kadang berlaku demikian.

Dari percakapan singkat tapi padat itu kok jadi teringat salah satu scene di film Bride Wars yang intinya sama dengan percakapan dialog diatas. Ada sebuah kalimat yang diucapkan seorang calon suami pada calon isterinya yang khawatir tidak bisa sempurna ketika kelak menjadi seorang isteri. Kurang lebih bunyinya begini : “Life is not perfect, Honey. Life is messy. I don’t need you to be a perfect wife. I just need you to be a human live”.

Terkadang di mata pasangan kita tidak perlu menjadi seorang yang sempurna. Mereka ingin kita cukup menjadi seseorang yang manusiawi. Seseorang yang wajar jika tanpa sengaja berbuat salah, seseorang yang wajar jika banyak kekurangan. Karena sempurna hanya kata yang pantas untuk-Nya..

This is life, not heaven. So, you don’t have to be perfect! ๐Ÿ˜‰

[devieriana]

gambar dipinjem dari Image Shutterstock

Continue Reading

Tulisanku, pikiranku, emosiku..

Kemarin siang saya ngobrol dengan seorangย mantan seorang pekerja televisi yang sekarang jadi PNS seperti saya ;)). Kami ngobrol tentang banyak hal, termasuk hal yang kemarin sempat jadi “hot issue”, insiden dibalik taping Kick Andy tanggal 19 Januari 2011.

Sepintas kalau membacaย cerita insiden dibalik taping acara Kick Andy itu reaksi saya sebagai orang awam pasti ikut terpancing emosi, dan turut berempati dengan apa yang sudah terjadi dengan ibu itu. Sempat sedikit terpengaruh juga untuk menyebarluaskan link itu di twitter atau akun jejaring sosial lainnya yang saya punya, biasalah emosi ;)). Tapi entah kenapa saya mendadak urungkan niat karena saya ingat bahwa tulisan ini baru mewakili salah satu pihak saja, belum ada klarifikasi balik dari pihak Kick Andy selaku pihak yang diprotes.

Akhirnya ya sudahlah, saya endapkan masalah itu sampai akhirnya saya bacaย klarifikasi dari Andy F. Noya dan akhirnya nggak sengaja mengobrol dengan si teman yang tadi. Mumpung ketemu sama mantan orang yang pernah kerja di balik layar nih (walaupun bukan dari stasiun televisi yang sama dengan Kick Andy) saya tanya-tanya tentang apa yang membuat saya penasaran, dan alhamdulillah dia dengan senang hati mau menjelaskannya. Itung-itung nambah ilmu, ya kan? ๐Ÿ˜‰ \:D/

Saya : eh, kamu kan pernah lama kerja di dunia penyiaran nih, sekarang kamu juga kerja di bidang yang masih ada hubungannya dengan pers dan media, gimana kamu menyikapi “insiden” itu?

Teman : masalah ini sebenernya agak complicated sih, Mbak. Banyak poin yang bisa dibahas disini.. :-B

Saya : hehe, iya mereka sepertinya berbicara dari 2 persepsi dan perspektif yang berbeda.. ๐Ÿ˜€ . Kalau menurutmu gimana?

Teman : gini, sebelumnya kita harus tahu kenapa sebuah program itu dibuat LIVE atau TAPING. Biasanya kalo TAPING ada beberapa alasan, misalnya : biar hemat, biar bisa diulang, biar bisa diedit, dsb

Saya : Oh, ok, terus?

Teman : nah yang aku baca dari klarifikasinya Andy F. Noya kenapa Kick Andy pakai sistem taping salah satunya adalah bertujuan untuk “menutupi” statement-statement yang tidak perlu diuraikan ke ranah publik. Biasanya sebelum acara taping, penonton yang ikut acara itu perlu di-briefing terlebih dahulu. Kalau sudah di briefing tapi sewaktu acara berlangsung ternyata ada pihak yang komplain begini-begitu bisa jadi ada poin yang missed entah itu di pihak penontonnya atau di pihak Kick Andy-nya. Nah, penjelasan Andy F. Noya di poin 6, 10, dan 14 sebenarnya itu adalah fungsi editing. Jadi ketika acara itu sifatnya adalah taping, jangan pernah berpikir kalau apa yang kita saksikan di studio semuanya akan ditayangkan.

Saya : ok, jadi pasti ada pemangkasan disana-sini ya. Trus, yang dikatakan disitu Andy F. Noya mengeluarkan jokes yang sangat tidak pantas, itu gimana?

Teman : mmh, nggak semua orang yang diwawancara akan dengan mudahnya merasa nyaman dengan situasi yang asing, Mbak. Bayangkan ya, kamu sebagai orang yang awam harus memberikan statement tentang sesuatu, di dalam studio, didepan kamera dan sorotan lampu, ditonton penonton sekian ratus orang, apalagi bicaranya di depan praktisi. Pastilah ada “jipernya” . Menurut aku, jokes yang dilontarkan Andy F. Noya itu bermaksud untuk membuat si narasumber merasa nyaman. Karena gini Mbak, nggak mudah membuat orang nyaman menceritakan pengalamannya, kecuali pengalaman yang menyenangkan. Jadi ada kalanya untuk mendapatkan jawaban yang dinginkan seorang host harus muter-muter dulu.. ๐Ÿ˜‰

Saya : jadi menurut kamu semua itu sudah sesuai prosedur? Masih dalam koridor, gitu?

Teman : iya, jangankan untuk acara talkshow seserius Kick Andy ya, aku aja yang dulu menangani program musik, misalnya aku pengen jawaban A dari si artis, host-ku bisa muter-muter dulu Jakarta-Bandung-Surabaya-Klaten untuk mendapatkan jawaban yang aku mau..

Saya : hahahaha, serius? ๐Ÿ˜ฎ :))

Teman : iya, jadi sebenernya sih jawaban itu kita sudah tahu, karena sebelum acara pasti kan kita sudah melakukan survey, ada wawancara juga..

Saya : tapi kalian ingin statement itu meluncur langsung dari mulut si narsum ya?

Teman : betul, karena gini, Mbak.. nggak mungkin seorang narasumber itu kita naikkan tanpa kita tahu siapa dia. Jadi pastinya kita sudah melakukan wawancara dan riset sebelumnya. Nah, apa yang sudah kita dapatkan sewaktu riset itu yang harus kita keluarkan saat on air. Caranya gimana? Ya pastinya nggak mungkin kita langsung dapet statement seperti yang kita mau khan? Jadi ya pasti muter-muter dulu.

Saya : oh gitu, terus menurut kamu Kick Andy-nya salah atau nggak sih dalam hal ini?

Teman : aku ngomong ini bukan karena aku membela salah satu pihak ya, Mbak. Tapi menurutku core-nya Kick Andy sudah benar, menjaga rahasia narasumber ya salah satunya dengan TAPING. Ingat, jangan menelan bulat-bulat apa yang direkam pada saat taping. Apa yang “hot” atau kontroversial waktu itu bisa jadi justru yang diturunkan (tidak disiarkan) on air. Gitu, Mbak.. Nah, Bu Tatty sepertinya belum memahami konsep ini, inti acaranya seperti apa, proses dan alurnyaย  bagaimana, jadinya akan seperti apa, dll. Beliau berpikir bahwa Bu Elly Risman akan tampil full-program, padahal enggak, beliau hanya sebagai narasumber yang akan mengomentari aja. Kita sih sudah hafal kok sama tipikal yang begitu-begitu. Kru TV sih biasanya nelen ludah doang bisanya ;))

Saya : halah, kasian banget sih ;))

Teman : apalagi kalo misalnya di poin 13 disebutkan bahwa Bu Elly dan tim Kick Andy sudah ketemuan, berarti Bu Elly bukan hanya datang pada saat acara, dan bisa jadi Bu Elly juga ikut bikin rundown, jadi penasehat, dll. Waktu aku jadi creative dulu, kalo ada profesional yang ikut dari awal pasti kita ajak untuk membahas tiap-tiapย  segmennya, isinya bakal gimana, dll. Gitu , Mbaaak.. ๐Ÿ™‚

Saya : ya ya ya..

Teman : ada satu yang patut disayangkan di tulisan Bu Tatty. Beliau menyebutkan bahwa “si remajaย  pernah “dipakai” oleh anggota DPR dan BIN”. Hati-hati dengan statement seperti itu, karena yang mengeluarkan isu itu kan beliau duluan, programnya sendiri bahkan belum tayang. Disini aku melihat, beliau belum memahami fungsi editing. Seperti yang aku bilang tadi, tidak semua apa yang terjadi selama siaran taping layak dan pasti akan ditayangkan juga secara on air.. ๐Ÿ˜‰

Saya : mungkin ibu itu terlanjur emosi kali ya? ๐Ÿ˜•

Teman : ngerti sih, kalau aku sih gini Mbak, pada saat aku marah memang aku akan tuliskan itu ya, kayanya puas banget tuh ya kalau sudah berhasil nulis uneg-uneg ya, tapi aku memilih untuk menuliskannya di draft, bukan lalu aku tulis di blog aku klik publish. Karena ya namanya nulis di media yang bisa dengan mudah diakses umum kita juga harus hati-hati sih Mbak.. Takutnya apa yang kita tulis secara emosional itu justru kitanya yang salah paham ๐Ÿ˜€

Saya : iya sih, takutnya udah salah paham, nyebar kemana-mana pula.. Mmmh, sama sih aku juga gitu, kalau pas emosi nulisnya cukup di notepad. Kalau pas lagi normal dan aku baca lagi pasti nyengir aja ;))

Teman : pendekatan ke remaja sekarang sama jaman dulu itu beda. Jaman sekarang nggak bisa kita langsung teriak “SAY NO TO FREE SEX!”. Mana ada remaja yang mau denger, yang ada pada kabur kali. Makanya acara penyuluhan-penyuluhan kaya gitu kita selipkan lewat acara musik, lomba, dll. Pendekatan ke anak sekarang nggak bisa pakai tombak dan tembak. Gitu sih menurut aku, Mbak ๐Ÿ™‚

Jadi begitulah, obrolan saya dengan si teman itu. Diluar apa yang terjadi antara Bu Tatty Elmir dengan Andy F. Noya saya merasa ada ilmu yang sudah saya peroleh dari obrolan santai siang itu. Bukan hanya dari teman saya, tapi juga dari beliau berdua.

Tidak mudah memang mengolah emosi. Ada banyak cara untuk menyalurkannya, termasuk salah satunya dengan jalan menulis sebagai terapi untuk penyaluran emosi. Soal media yang akan digunakan untuk curhat pun bisa macam-macam. Mau curhat secara tertutup di diary, atau curhat terbuka di media online, semuanya boleh dan sah-sah saja. Bedanya dengan curhat di diary, curhat di media online efeknya akan bisa dirasakan secara langsung oleh yang membuat curhat, karena yang bersangkutan akan langsung mendapat respon dan reaksi yang beragam dari yang mengakses catatannya. Apalagi ketika curhatan itu berhubungan dengan nama yang sudah dikenal banyak orang. Tapi yang jelas pasti ada sisi positif dan negatif dengan kita menuliskan “curhat” atau keluhan di media online.

Catatan ini dibuat untuk introspeksi pribadi dan berbagi sedikit pengetahuan yang mungkin bagi sebagian besar kita belum banyak yang tahu.

Note to self :
1. Jangan reaktif ketika membaca sebuah berita atau statement yang mengandung sifat kontroversial.
2. Jangan mudah terpancing emosi ketika mendengar berita yang baru didengar dari satu sisi saja, usahakan mendengar dari dua sisi agar jika sewaktu-waktu pendapat kita dibutuhkan, kita bisa memberikan opini yang objektif.
3. Jangan mengikuti/mendengarkan suatu berita secara sepotong-sepotong, karena akan menimbulkan persepsi yang berbeda. Dengarkanlah secara utuh.

Begitulah.. ๐Ÿ˜€

[devieriana]

ilustrasi pinjam dari sini

Continue Reading