Tarian (Diatas) Luka

Perempuan itu menari dengan kain & selendang warna-warni diatas awan-awan putih yang bergumpal, terserak dilangit yang pucat. Matari enggan menampakkan diri, menyelimuti tubuhnya yang lesu dengan kabut warna kelabu.

Perempuan itu terus menari diiringi langgam guntur & kilat yang beradu. Hujan bak air bah tak jua menyurutkan niatnya tuk terus menari. Berputar cepat bagai gasing, menumpu pada kedua kaki kecilnya yang ringkih & tertatih. Sesekali diseringai tawa pun tangis yang bergema. Ada luka di hatinya yang masih menganga. Namun toh dia tak peduli. Atau, masih adakah yang akan peduli? Gumamnya lirih..

Bahkan ketika darahnya menetes jadi rintik gerimis kemerahan pun dia masih saja tergelak. Gelak dalam duka. Karena tawa itu keluar disela derai  airmata. Tawa itu terdengar pilu, pedih, lara yang tak terperikan. Senyum kering yang membuatmu yakin bahwa perempuan itu bisa menerima kejoramu yang berpijar jauh melebihi pendar cahayanya.

Jika kau ingin tahu seberapa parah luka jiwanya… Coba lihatlah keatas, rasakan hadirnya. Kan kau temukan seorang perempuan yang menari tertatih, berputar makin cepat bagai gasing di lanskap langit kemerahan.

Perempuan itu adalah aku..

kekasihmu..

 [devieriana]

gambar dipinjam dari sini

Continue Reading

Sang Penari Tobong ..

Aku berkaca pada cermin tua yang buram di sudut ruang yang suram. Menatap sayu pada wajahku yang muram & masa depanku. Kata orang aku muda, cantik, luwes, grapyak. Akulah idola bagi mereka. Akulah sang kembang pentas. Akulah sang primadona. Namun, layakkah untukku semua tepuk tangan & puja-puji seperti itu? Bahagiakah aku sesudahnya? Tidak !

Duniaku terasa begitu sepi walau dalam keriuhan. Seperti malam ini yang hanya ditemani suara jengkrik yang sahut menyahut di tengah tanah lapang yang lengang. Menerpa punggungku yang hanya tersekat kebaya tipis yang mulai pudar warnanya. Padahal disudut sekat ruang yang lain pendar cahaya bohlam kekuningan cahaya campur lampu neon yang menyilau pada sebuah panggung tempatku hidup.

Lelah & keringatku mencair menyusuri tepian kota bersama serombongan pria & wanita paruh baya dalam sebuah kendara. Melanglang dari satu kota ke kota lain, dari desa yang satu ke desa yang lain. Mirip seperti sebuah rombongan sirkus dengan berbagai hewan terlatih di dalamnya. Tapi apa hendak dikata justru untuk lelahku itulah terbayar rupiah. Tak jarang hanya beberapa lembar uang kertas yang jumlahnya tak seberapa jika harus terbagi rata. Cukupkah? Jelas jauh dari ungkapan kata cukup. Tak jarang aku masih harus menahan lapar & dahaga ketika jumlah yang kuterima jumlahnya tak seberapa. Ya semua ini untuknya.. Untuk simbok & Siti buah hatiku..

Sekilas terbayang wajah anak semata wayangku di desa bersama simbokku yang menua & sakit-sakitan, berlompatan mereka silih berganti memenuhi gumpal otakku. Ah, maafkan ibu yang belum mampu membelikanku golekan kayu yang kamu mau, Nak. Maafkan ibu yang belum mampu membelikanmu baju yang layak untukmu. Maafkan ibu yang setiap hari hanya bisa merindumu tanpa bisa menggendong atau menyentuhmu. Mbok, maafkan anakmu yang harus meninggalkanmu sendiri merawat Siti tanpa teman untuk membantu keseharianmu. Biarlah aku, anakmu yang akan berjuang menambal sulam hutang kita, mencarikan uang untuk sekolah cucumu kelak agar hidupnya kelak tak seperti aku. Anakku, baik-baiklah di desa bersama simbah. Ibu akan segera pulang, ketika sudah cukup rupiah di tangan ibu.

Lamunanku seketika mengelupas saat ujung tangan Yu Surti menowel lenganku.
” Lha, kok ngelamun lagi kamu, Sri? Hayo, tinggal sedikit lagi gitu. Ndang dirapikan rambutnya.. Sebentar lagi pertunjukan akan segera dimulai. Kenapa lagi kamu, he? Kangen lagi sama anakmu? “

Aku tersenyum kelu pada wanita setengah baya yang tubuhnya masih sintal & sigrak itu.
” Iya, Yu. Kangeeen banget. Sudah berapa bulan ya kita ndak pulang ke kampung kita? “, gumamku dengan pandangan setengah menerawang.

” Lhadalah, kok malah ngelamun pengen mbalik ke kampung? Sudahlah, lupakan dulu sementara kampung yang tak punya harapan itu! Mau jadi apa kita disana, Sri? Angon bebek & kambing yang hasilnya ndak seberapa itu? Itu juga bukan bebek & kambing kita tho?”

” iya.. aku tahu. Tapi, tenanan aku kangen simbokku Yu.., juga kangen Siti anakku..”

” terus, kamu mau langsung pulang ke kampung gitu aja? atau malah mau membawa mereka ikut dalam rombongan kita ini? “, tanyanya tegas sambil menatap tajam kearahku.

Aku hanya terdiam bisu. Mendadak aku merasa menyusut dalam pandangan tajam matanya yang bulat itu.

” Pikirkanlah. Mau kamu ajak tinggal dimana mereka? Kita saja yang tidur dimana-mana, masa iya kamu rela anak sama simbokmu kamu ajak tidur ngemper dalam udara terbuka? Ora mesakke tho kamu sama mereka?”, cecar Yu Surti seolah menghempaskan seluruh khayal & impianku untuk mengajak simbok & Siti hidup bersamaku di kota ke karang terjal. Hancur berkeping-keping menjadi serpihan kecil-kecil.

” Ingat Sri, lagian kamu itu masa depan kita. Kalau ndak ada kamu, grup kita ini siapa yang bakal ngelirik? Kamu yang paling muda diantara para pengrawit & penari disini. Kalo ndak ada kamu, mau nonton apa mereka? Kowe sing sik sigrak, seger, lan katon ayu.. Kamu daya tarik grup ini Sri.. Pikirkanlah masak-masak sebelum kamu mengambil keputusan..”, tukas Yu Surti sambil memasang konde & menyisipkan mawar disela kondenya.

Aku menghela nafas berat. Ah, kenapa sungguh egois sekali kehidupan yang kujalani ini. Sebuah pekerjaan yang mudah namun berat. Salahkah jika aku kangen sama anakku sendiri setelah terpisah hampir satu tahun lamanya? Salahkah jika aku merindukan simbokku yang menua dan mulai sakit-sakitan itu? Salahkah aku ketika ingin hidup mendampingi dua orang yang tersisa dalam kehidupanku? Ketika hidup serasa tak pernah berlaku adil bagiku. Suamiku yang meninggal 2 tahun yang lalu setelah dihajar massa karena dikira maling ayam, membuatku harus hidup sendiri mengasuh Siti yang saat itu masih bayi merah, sekaligus merawat simbokku yang mulai sakit-sakitan. Pun saat kuputuskan ikut rombongan ini hanya satu harapanku, kelak akan terjadi keadilan dalam hidupku.

Airmata menggenang di pelupuk mataku, membuat celakku sedikit belepotan. Kuseka sedikit celak yang luntur itu dengan ujung kainku. Lalu melanjutkan lagi kesibukan mengonde rambut, memulas bibirku dengan gincu warna merah terang. Membentuk segurat alis, memberikan rona kemerahan di pipiku yang “nduren sajuring” & merapikan celak di atas & bawah kelopak mataku.. Penampilan luarku terlihat sangat luar biasa malam ini. Wajah bulat telur, kulit kuning langsat, & tubuh yang ramping (jika tidak ingin dibilang kurus lantaran jarang makan). Aku terlihat sempurna, walau yah.. terlihat sangat lelah. Aku lelah.. lahir & batin..

” Sri ! Cepatlah kau keluar. Pertunjukan akan segera dimulai. Penonton sudah menunggumu! “, seru lelaki tua yang kami anggap ketua.
” I..iya, pakdhe.. aku sudah siap..”, sahutku sambil mengalungkan sampur hijau & merapikan pending perak dipinggangku.

Seperti biasa, tak banyak yang melihat pertunjukan kami. Beberapa diantaranya duduk di bangku kayu seadanya yang diatur sedemikian rupa persis di depan tumpukan balok-balok yang dibuat mirip sebuah panggung. Kebanyakan mereka adalah laki-laki. Beberapa perempuan diantaranya adalah ibu-ibu yang menatap kami dengan pandangan sinis & bibir mencibir. Gending tayub mulai teralun merdu, mengiringi setiap seblak & goyang pinggul kami. Tak lama kemudian, beberapa pria mulai ikut turun menari bersama kami. Seperti biasa kamipun menari dengan sebagian dari mereka yang tatap mata & tawanya menjijikkan serta mulut bau alkohol yang membuatku serasa ingin muntah. Tapi apalah daya.. aku tak punya pilihan lain selain berpura-pura senang menari bersama mereka.

Sesekali tangan iseng mereka mendarat berusaha menggerayangi tubuhku, yang langsung kutampik secara halus. Tak jarang pula mereka ngotot menungguku selesai tampil hanya untuk menawarkan sebuah kencan yang berbau mesum. Aku tidak semurah & semudah itu ! Untuk sebuah hubungan yang seriuspun aku masih belum mampu. Aku belum bisa melupakan mendiang suamiku, yang hidup dalam kesederhanaan & kejujuran yang dipegang teguh hingga ajal menjemputnya. Hatiku masih belum sepenuhnya terbuka untuk lelaki yang berniat menggantikan sosoknya dalam kehidupanku selanjutnya. Entah sampai kapan aku mampu bertahan. Hanya pada Gusti Allah-lah kuserahkan semua keputusan & pilihan hidupku.

Beginilah kehidupanku, dalam hidup yang nomaden persis manusia purba. Hidup yang tergantung pada seblakan sampur satu, ke seblakan sampur yang lain. Hidup dari keping receh & lembar rupiah sebagai upah goyangan tubuh kami. Berpindah dari pinggiran kota yang satu ke pinggiran kota yang lain. Hidup dijalanan bersama siang yang teriknya memanggang sampai ke sumsum & malam yang dinginnya mencekat tulang. Bertahan sekaligus bernafas diantara debu & laju truk yang mengangkut kami ke persinggahan berikutnya. Semua kulakukan demi rupiah, demi kehidupan yang kami impikan akan jauh lebih baik. Walau tak selamanya nasib kami baik. Tapi setidaknya untuk sebuah harga diri yang akan aku banggakan pada simbok, mendiang suamiku & Siti buah hatiku.

Ibu tak ingin hidupmu kelak sesengsara ini, Anakku. Kelak kehidupanmu harus jauh lebih baik daripada kehidupan ibu & bapakmu. Senantiasa ingatlah akan satu hal.. Hiduplah dalam kebersihan hati & kejujuran. Dan jangan pernah kau jual harga diri & kehormatanmu pada seorang yang tak berhak mendapatkannya darimu, selain pasangan hidupmu.

Seperti ibumu… Sang penari tobong..

Jakarta, 11 November 2009

Atrium Mulia, 17.39 wib

[devieriana]

Continue Reading

Untuk Bulat Duniamu..

world in hand

Kau bilang duniamu itu bulat, persis seperti bola yang mudah menggelinding kesana kemari. Aku bilang duniaku bentuknya kotak persis seperti kubus yang hanya bisa diam di tempat mana dia diletakkan & hanya akan berpindah ketika ada yang memindahkan. Kau menertawakanku terbahak-bahak, “hei, mana mungkin dunia itu kubus!”. Tapi coba kau lihat, duniaku memang kubus. Lagi-lagi kau tertawa, bahkan kali ini jauh lebih keras.

Aku termenung gusar… Kami sama-sama punya dunia. Tapi mengapa dunia kami bentuknya berbeda? Seringkali kami berbeda kata menyikapi hal-hal yang terjadi di dunia kami. Ah ya, baiklah… mungkin karena aku belum sempat mengasah sudut-sudut duniaku hingga nantinya tampak bulat seperti duniamu ya?

Aku pun mulai sibuk mengikir sudut-sudut duniaku. Kau diam terpaku sembari sesekali mengernyitkan dahimu. Kenapa? Heran? Aku melakukan ini untukmu.  Ya, lihatlah, setidaknya aku mencoba membulatkan duniaku hingga mirip duniamu supaya kita punya dunia yang sama, dan aku tak salah lagi mengartikan cerita tentang duniamu.

Kupinta kau untuk melihat sejenak dunia yang ada di tanganku menggunakan kacamataku. Bagaimana? Sudah cukup bulatkah? Kau mengerinyitkan dahi dan berseru, “ini belum bulat!” Aku menghela nafas.

Aku lelah, aku tidak punya ribuan pangkat kesabaran seperti yang kau mau. Tak tahukah kau, sebenarnya yang kupinta hanya satu…

Sebuah pengertian…

* sebuah refleksi perenungan dari curhat seorang teman *

[devieriana]

gambar pinjam dari sini

Continue Reading

Perempuan Merah Jambu & Lelaki Panah Angin..

pink

Pada rembulan pucat & malam penuh jelaga perempuan merah jambu itu berkisah. Tentang segala balutan rasa manis, pahit, & getir  itu. Suka cita, rindu, resah, kecewa & bekas luka berdarah itu. Bergeming diantara tamparan hujan & ledakan petir yang sahut menyahut riuh terdengar jutaan kilometer diatas kepalanya. Padanya dia bercerita, tentang lelaki panah angin yang datang dari sebuah ruang & masa negeri antah berantah ribuan mil jauhnya. Lelaki yang tawa dan kerjap matanya menyimpan cinta..

Dia, lelaki yang derai tawanya masih terdengar radius puluhan kilometer diujung sana, wangi tubuhnya masih melekat samar-samar, yang belaian & pagutan-pagutan lembutnya masih membekas di ingatan. Sesekali perempuan itu memejam, mengingat & tergugu saat tanpa sengaja selarik deretan puisi berbaris, menari jumpalitan & seketika itu pula denting-denting dawai terdengar, memaksanya pulang ke rentang waktu puluhan purnama silam.. Saat sang lelaki panah angin menawarkan sebentuk hati yang telanjang..

Bergumam rembulan pucat pada perempuan merah jambu. “Segera cari, dan temukanlah dia.. Agar laramu tak berkarat..”. Perempuan merah jambu mendongak ke arah ribuan gugusan mata langit.. “Aku sudah menemukannya.. Dia tak kemana, tak disini, juga disana”, tunjuk perempuan merah jambu pada kerlip bintang yang paling terang. “Tapi dia ada disini..”, tunjuk perempuan itu pada sebuah hati yang meleleh berlumuran cinta..

Malam tua masih enggan bangun dari selimut awan gelap. Ditinggalnya kesadaran & jaga malam itu, meninggalkan perempuan merah jambu lelap bersama mimpi & angannya bersama..
Lelaki panah angin..

 

[devieriana]

gambar dari sini

Continue Reading

Bulan Yang Terluka ..

Malam itu bulan pucat kembali terluka. Tusukan-tusukan pedang  sang ilalang muda menginfeksi luka lama sang bulan pucat. Luka yang belum mengering itu kembali berdarah & bernanah. Perih itu, nyeri itu, ngilu itu, tiba-tiba menyerang & kembali meradang. Hujan badai menerpa liar padang rumput itu. Sang ilalang muda tertawa angkuh memegang pedang yang ujungnya berlumur darah.

Sang bulan pucat berteriak, mengaduh, menangis menahan ngilu. “Kau tak tahu maksudku, ilalang muda!”, teriaknya parau disela gemuruh hujan. Lukanya berdarah, makin terasa pedih luka yang menganga itu. Teriakan minta pertolongannya tak mampu mengalahkan gemuruh petir yang bersahut-sahutan. Kilat yang menyambar-nyambar & angin topan badai itu..

Sampai akhirnya badai menghempas sang bulan pucat luruh, teronggok kuyu menancap di karang yang terjal..

Sang ilalang melangkah menghampiri bulan yang terkoyak. Matanya hanya menatap hampa pura-pura kasihan.. “Itulah bayaran untuk kebebasan yang kuminta, Bulan.. “, serunya sambil menghamburkan pasir ke wajah sang bulan yang pucat, pias, tak bernafas..

Mati bersama tawa angkuh sang ilalang muda & auman serigala…

[devieriana]

Continue Reading