Serupa Tapi Tak Sama

Beberapa tahun yang lalu saya pernah mengulas sebuah iklan susu pertumbuhan anak yang penggarapannya sangat matang dan serius untuk ukuran sebuah iklan susu. Bukan hanya dilihat dari pemilihan talent-nya saja yang serius, tapi juga scoring, voice over, tone, diksi yang digunakan, penggunaan black margin yang memberi efek big screen, dan segala aspek kreatif di dalamnya yang dikerjakan di level top-notch. Hasilnya, iklan tersebut bukan hanya jadi sekadar iklan produk susu semata, tapi juga iklan yang menuai banyak pujian dan menjadi sebuah karya sinematografi yang memanjakan mata dan telinga.

Di awal kemunculannya, banyak yang mengagumi konsep advertensi tersebut, walaupun ternyata iklan susu itu memiliki kemiripan konsep dengan iklan lainnya. Ya, saat itu saya sedang mengulas iklan susu Nutrilon: Life is an Adventure yang dari konsep scoring dan voice over-nya kurang lebih mirip iklan Levi’s: Go Forth – Braddox, PA . Ya sudahlah, anggap saja salah satu menginspirasi lainnya. Tapi buat saya, hingga saat ini, iklan Nutrilon itu masih juara di kelas iklan produk sejenis.

Di penghujung taun 2017 ini juga ada sebuah advertensi susu pertumbuhan anak yang membuat saya tak kalah terkesan. Memang tampilannya tidak semegah Nutrilon, tapi sejak awal kemunculannya, iklan ini sanggup membuat air mata saya menggenang.

Dancow, dalam iklan terbarunya menyajikan sebuah konsep iklan yang bukan saja ringan, tapi juga dibungkus dalam kemasan yang apik, menyentuh, and hit you right in the feels. Mengusung tagline Serupa Tapi Tak Sama“, Dancow mengajak kita melihat bahwa di balik dua hal yang sepintas sama, namun sejatinya berbeda.

Entah kenapa saya merasa tersentil melihat iklan susu Dancow ini. Tanpa sadar, kita, para orang tua pernah memperlakukan anak sebagai ‘the mini me’, bukan sebagai pribadi unik yang memiliki karakteristik berbeda dengan kedua orang tuanya. Sekalipun secara genetik memiliki kesamaan.

Sebagai orang tua, kita sering mengharapkan anak-anak memiliki minat dan bakat yang sama seperti kita. Memproyeksikan kelebihan, kekurangan, cita-cita, kekhawatiran, bahkan kecemasan kita kepada anak-anak. Bagi kita, mereka seolah cerminan kita di masa kecil yang hadir di masa kini, sehingga berhak kita ‘ubah’ dan ‘perbaiki’ menjadi seperti apa yang kita mau. Karena di alam bawah sadar, kita melihat anak- anak adalah sosok ‘the mini me’.

Jujur, saya pun pernah berpikir seperti itu. Saya pernah berharap kelak putri saya (Alea, 3.5 tahun) memiliki bakat dan kesukaan yang sama dengan saya. Suka berkesenian, menulis, dan hal lainnya yang ‘saya banget’. Saya pun ternyata tanpa sadar sudah memproyeksikan diri saya ke dalam diri Alea.

Tapi semakin ke sini, saya sadar bahwa Alea bukanlah saya dalam versi balita. Dia berbeda, walaupun secara fisik pasti memiliki beberapa persamaan dengan saya dan papanya.

Anak-anak memang mewarisi kombinasi sifat dari orang tua mereka, tapi sejatinya mereka individu yang unique dan terpisah. Semakin dini kita menyadari, mengenali, dan memahami hal ini, akan semakin mudah kita menerima mereka apa adanya; who they really are.

Kurang bijak rasanya kalau kita masihkeukeuh membanding-bandingkan zaman, apalagi memaksakan konsep “ini lho yang bener!“, “kamu tuh harusnya begini, kaya Mama dulu!”, dan konsep kebenaran lainnya menurut versi kita kepada anak-anak. Bukan hanya karena merekaunique, tapi juga karena mereka tumbuh berkembang di zaman yang berbeda dengan zaman kedua orang tuanya dulu.

Tanpa mengabaikan fungsi kontrol, selama apa yang dilakukan, diinginkan, dan dicita-citakan oleh anak itu positif, sebagai orang tua, kita tinggal mendukung dan mengarahkan saja.

Semoga kami berdua bisa jadi orang tua yang baik dan asik buat kamu ya, Alea! 😀
[devieriana]

PS: ini bukan tulisan berbayar lho, tapi murni menulis karena memang terinspirasi dari beberapa advertensi yang saya sebut di atas 😉

 

 

Continue Reading