Cerita Sepanjang Jalan

Seorang ibu berbaju merah berpenampilan rapi menaiki Kopaja yang saya naiki di bilangan Gunawarman. Dia duduk di sebelah saya sambil menggengam selembar uang dua ribuan. Matanya celingukan ke sana-ke mari seolah mencari seseorang/sesuatu. Kalau boleh saya artikan sepertinya ibu itu mencari kenek bus yang biasanya sudah menagih ongkos sesaat setelah penumpang naik. Tapi kebetulan memang Kopaja yang kami naiki itu tidak ada keneknya, jadi semua penumpang yang akan turun dan membayar harus langsung ke sopirnya. Entah kalau yang duduk di belakang, apakah mereka sempat maju ke depan untuk sekadar membayar, atau memilih langsung turun begitu saja.

Ternyata benar apa yang saya perhatikan, ibu itu mencari kenek yang sedari tadi tidak menagih ongkos padanya.

Ibu X: “Eh Mbak, serius ini bus ini nggak ada keneknya, ya?”

Saya: “Sepertinya nggak ada, Bu. Soalnya sejak saya naik dari terminal Blok M semua penumpang bayarnya langsung ke sopirnya”

Ibu X: “Waduh, berarti ribet banget dong, ya? Kenapa nggak dibikin sistem kaya di luar negeri, ya? Begitu penumpang naik, mereka masukin koin di box dekat pintu masuk bus, baru naik. Nanti mereka tinggal turun. Kenapa nggak pakai sistem kaya gitu aja, ya?”

Saya: “Pemerinth kita belum kepikiran sampai ke sana kayanya, Bu :D” *jawab saya ngasal*

Ibu X: “Kalau kaya gini penumpang-penumpang yang di belakang bisa aja mereka males ke depan dan langsung turun, kan? Kasian dong sopirnya… ”

Saya: “Iya, sopirnya modal percaya sama penumpang aja sih kalau udah kaya begini, Bu :)”

Saya lihat ibu itu menggelengkan kepalanya beberapa kali, tanda keheranan. Saya hanya tersenyum samar, memaklumi. Mungkin ibu itu terbiasa dengan kultur di luar negeri, atau baru sekali ini naik Kopaja tanpa kenek. Memang kebayang sih betapa ribetnya transportasi besar tanpa kenek. Kalau di daerah mungkin masih banyak angkot yang tanpa kenek, itu hal yang lumrah. Tapi kalau bus tanpa kenek memang ya butuh kepercayaan tingkat tinggi sih.

Lain lagi cerita seseorang yang baru sebatas dengar cerita saya tentang betapa riweuh dan kumuhnya transportasi umum di Jakarta. Akhirnya kemarin ketika dia berkesempatan ke Jakarta, sengaja dia memilih naik angkutan umum seperti yang biasa saya naiki. Komentarnya, “Ya ampun, Kopaja itu busnya rusuh, jelek, dan nggak higienis banget, ya? Males aku naik Kopaja lagi!” Saya cuma tertawa. Dalam hati saya komentar, ya namanya juga transportasi umum yang murah meriah, bayar 2000 sampai di tujuan dengan selamat saja sudah alhamdulillah. Kalau mau yang higienis, bersih, adem, ya naik taksilah ;)).

“Sekarang aku jadi tahu gimana rasanya jadi kamu yang tiap pulang kantor selalu naik Kopaja/Metromini. Udah macet, busnya kaya begitu, sopirnya kalau nyetir ugal-ugalan. Sekarang aku ngerti gimana rasanya naik angkutan umum di Jakarta. Kamu juga harus hati-hati ya kalau di terminal Blok M, banyak premannya gitu :|” Saya sudah waspada sejak awal saya datang ke Jakarta kok, Kak :). Ya kadang kalau saya lagi males naik angkutan umum, lagi pengen borju dikit,  ya saya naik taksi juga sih. Tapi ya nggak sering-seringlah, bisa bangkrut saya.

Dulu saya sempat “mengidolakan” sarana trasportasi Transjakarta sebagai transportasi alternatif yang manusiawi karena ber-AC, tempat duduknya nyaman, dan aman. Tapi namanya orang bisa punya niat jahat kapan saja dan di mana saja, bahkan di Transjakarta sekalipun. Bukan hanya kriminalitas saja yang kerap terjadi, tapi juga pelecehan seksual yang bisa terjadi di atas sarana transportasi ini.

Saya juga pernah hampir mengalami pelecehan seksual di Transjakarta dan membuat sedikit trauma kalau harus pulang malam dari kantor dan naik Transjakarta. Dipepet sampai muka berhadap-hadapan dengan sangat dekat pernah. Hampir dicium sama bapak-bapak bertubuh gempal dan berbaju batik juga pernah :((. Baru kali itu saya begitu ketakutan sampai harus lari tunggang langgang turun dari Transjakarta di terminal Blok M, dan buru-buru naik Kopaja, dan menyembunyikan diri di bangku kosong paling depan.

Kalau kejadian yang paling baru sih kemarin, dalam perjalanan saya pulang kantor naik Metromini 75 arah Pasar Minggu tiba-tiba segerombolan siswa berseragam putih abu-abu memaksakan naik bus yangsudah penuh sesak. Mereka bergelantungan bukan hanya di pintu bus di depan saya sambil saling berpegangan tangan teman-teman lainnya yang punya posisi lebih masuk ke dalam, mereka bergelantungan di jendela-jendela yang saya tahu kacanya juga punya batas kekuatan untuk menahan beban. Sungguh miris dan ngeri. Belum lagi ketika bus harus berbelok ke arah Mampang Prapatan, sopir bus sengaja membelokkannya dengan tajam sehingga belasan siswa SMA itu nyaris terjatuh dan terlindas kendaranan lainnya. Berbagai cacian dan komentar miris menghiasi perjalanan saya sore itu, demi melihat mereka yang seperti punya nyawa cadangan bergelantungan di luar bus seperti itu.

Tiba-tiba seorang bapak duduk di sebelah saya sambil bersedekap dan geleng-geleng kepala.

Bapak X: “Yang di belakang udah bawa parang sama rantai tuh, Mbak…”

Saya: “Oh, ya? 😮 Mereka ini pulang sekolah atau mau tawuran sih, Pak?”

Bapak X: “Kayanya sih opsi yang kedua, Mbak… Mereka ini biasanya nggak bayar ongkos juga…”

Benar saja, sedetik kemudian mereka turun di daerah Buncit Raya dan memang mereka tidak membayar ongkos naik bus. Sambil mengacungkan kode ibu jari, mereka berteriak, “sampai ketemu di lokasi, yaaa!” Sekelebat saya melihat ikat pinggang spike yang digulung dan dimasukkan ke dalam tas. Hadeeeuh, selain nyawanya yang rangkap tujuh, mereka rupanya juga ikut kursus tawuran, ya? 😐

Beginilah pemandangan rutin yang saya temui ketika pulang kantor. Tetap waspada kalau mau naik transportasi apapun, sekali pun itu menggunakan taksi. Kalau naik taksi sendirian saya hampir selalu menginformasikan ke keluarga atau teman untuk mencatat nomor lambung taksi, nama pengemudinya, dan arah tujuan ke mana. Ya buat jaga-jaga aja sih. Yang waspada saja kadang masih kecolongan, apalagi yang lengah.

Buat yang baru datang di Jakarta, selamat datang di Ibu Kota kita yang tercinta. Selamat bergelut dengan segala kemacetan, kekusutan, dan hiruk-pikuknya Jakarta. Semangat ya, Kak! \m/

[devieriana]

Continue Reading

Serba-serbi CPNS

 Sejak beberapa bulan yang lalu hampir semua kementerian sudah mulai disibukkan dengan aktivitas rekrutmen/seleksi CPNS. Memang tahun ini masih terhitung tahun moratorium (penundaan) pengadaan CPNS, tapi berhubung ada banyak permintaan jabatan yang dikecualikan, maka rekrutmen pun dilaksanakan tapi dengan jumlah formasi yang tidak sebanyak rekrutmen reguler. Di kementerian saya saja hanya tersedia 20 formasi yang akan diperebutkan oleh ribuan pelamar.

Metode seleksinya pun berbeda dengan seleksi di tahun-tahun sebelumnya. Ujian dilakukan secara serentak tanggaln 8 September 2012 di semua kementerian. Kalau dulu kita bisa ikut ujian di beberapa kementerian karena jadwal ujian yang tidak bersamaan, kalau sekarang pelamar harus memilih akan mengikuti ujian di kementerian mana.

Dari sekian ribu pelamar yang masuk tentu saja tidak semua lolos seleksi administrasi dan hadir waktu verifikasi berkas fisik. Ada saja yang gagal karena faktor tertentu. Nah, mulai tanggal 28-31 Agustus kemarin pelamar-pelamar yang sudah lolos seleksi administratif diharuskan datang sendiri untuk verifikasi berkas ke Pusdiklat Setneg.

Kebetulan saya bertugas di hari ketiga dan keempat. Di hari pertama saya tugas kok ya pas pusing luar biasa dan demam tinggi setelah vaksin HPV sehari sebelumnya. Entah kenapa setiap kali habis vaksin badan saya selalu demam, nah yang kemarin termasuk reaksi yang terlebay, karena disertai pusing, mual, dan demam tinggi. Jadi,  memaksakan tetap tugas di sela kondisi badan yang kurang fit itu sesuatu banget. Karena tetap harus ramah padahal kepala nyut-nyutan dan badan menggigil. Alhamdulillah hari terakhir tugas badan sudah mendingan dan bisa lebih maksimal ketika melayani verifikasi berkas.

Jadi panitia CPNS itu tentu ada suka dukanya, termasuk lucu dan gemesnya. Berhubung telepon biro ada di meja saya, otomatis sayalah yang harus mengangkat dan kadang menjawab pertanyaan mereka. Seringnya mereka kurang membaca pengumuman dengan teliti, padahal di sana sudah disebutkan dengan jelas semua syarat, ketentuan, dan keterangan lainnya. Yah, berasa dejavu jadi petugas callcentre, padahal sudah pensiun 7 tahun yang lalu 😀

Ada beberapa kejadian absurd yang terjadi selama proses rekrutmen cpns ini. Berikut ini beberapa diantaranya.

 

1. Sudah diprint, Mbak!

Suatu siang, seorang pelamar dari Maluku Utara menelepon untuk memastikan informasi yang dibacanya di website kami.

Pelamar: Mbak, saya Raymond (bukan nama sebenarnya) pelamar dari Maluku Utara. Saya sudah dinyatakan lolos seleksi administrasi kemarin, kartu ujian juga sudah saya print, jadi saya tinggal datang nanti tanggal 8 September di Gelora Bung Karno ya, Mbak? *logat Indonesia Timur yang sangat kental*

Saya: Mas Raymond sudah baca semua pengumumannya, belum?

Pelamar: Oh, sudah, Mbak. Sudah.. Di situ disebutkan saya lolos seleksi administrasi, sudah saya print kartu ujiannya, dan saya nanti datang ujian tanggal 8 September 2012, toh?

Saya: Mas Raymod mendaftar untuk posisi apa?

Pelamar: Perancang Perundang-undangan

Saya: Kalau Perancang Perundang-undangan berarti Mas Raymond harus datang ke Jakarta Hari Kamis, 30 Agustus, pukul 09.00-15.00 wib, dong

Pelamar: E.. saya tidak ada informasi itu, Mbak. Mbak bisa kirimkan saja infonya ke email saya?

Saya: Lho, semua ada di website, silakan dilihat kembali, di sana juga sudah disebutkan secara jelas apa saja yang perlu dibawa. Atau silakan pengumumannya di-print saja biar bisa dibaca-baca ulang, sekaligus di situ kan ada petanya, biar nanti Mas Raymond nggak kesasar waktu mau ke Pusdiklat…

Pelamar: Oh sudah, Mbak… itu sudah saya print *mulai ngeyel*

Saya: Apanya, Mas?

Pelamar: Kartu ujiannya….

Saya: :(( *banting-banting konde*

 

2. Depannya aja, Mbak?

Setiap pelamar yang datang ke meja verifikator sudah haruis membawa berkas lengkap berupa ijazah, transkrip, KTP, surat pernyataan yang sudah dibubuhi materai, dan foto 3×4 dengan background warna merah.

 

Saya: Di belakang foto silakan ditulis nama dan nomor pesertanya ya, Mbak….

Pelamar: Oh, ok… di belakang belakangnya aja ya, Mbak?

Saya: Ya kalau Mbak mau bagian depannya digambarin kumis juga gapapa…

 

3. Toilet di mana, ya?

 

Pelamar: (sambil mengisi form surat pernyataan dan menulisi bagian belakang foto) Mbak, kalau toilet di mana ya, Mbak?

Saya: Tuh, di gedung depan, kan ada petunjuknya toilet belok kanan…

Pelamar: (sambil menulis tapi ngga menoleh ke arah yang saya tunjukkan tadi) Di mananya, Mbak? Di gedung depan itu terus ke?

Saya: Itu lho, gedung depan setelah keluar pintu ini lho, kan nanti ada tulisan toilet, trus ada panah-panahnya. Atau kalau kamu bingung ikutin aja remah-remah roti yang kita sebar menuju toilet….

Pelamar: emang saya semut? ;))

 

Lho, emang bukan? Ya kali, bakal lebih mudah nemuin toiletnya kalau dikasih remah-remah roti atau patahan ranting pohon 😐

 

4. Tolong dibulatkan…

Namanya juga usaha, ada saja usaha calon pelamar untuk mengelabuhi panitia demi bisa mengikuti seleksi, salah satunya dengan memudakan usia, dan atau memperbesar IPK. Kebetulan di kementerian kami minimal IPK yang dipersyaratkan adalah 3.00. Jadi ketika pelamar mencoba memasukkan IPK yang kurang dari 3.00 pasti akan ditolak. Nah, banyak yang berusaha menginput IPK 3.00 supaya bisa masuk ke sistem dan mengisi data. Biasanya ketahuannya kalau verifikasi berkas asli, karena kadang ukuran bekas yang di-attach terlalu kecil sehingga tidak bisa diverifikasi secara maksimal, jadi kita beri kesempatan untuk menunjukkan berkas asli.

 

Saya: Maaf ini IPK kamu kan 2.99, jadi mohon maaf belum bisa ikut ujian, ya. Kan minimal IPK yang dipersyaratkan 3.00. Jadi ini berkas aslinya saya kembalikan, surat pernyataan dan kartu ujian saya tarik, ya…

Pelamar: Lho, kalau saya nggak lolos kenapa saya diinfokan lolos seleksi administratif, Mbak? 😐

Saya: Karena IPK yang coba kamu masukkan 3.00, otomatis sistem mengizinkan kamu masuk untuk mengisi data. Sementara file attachment yang kamu masukkan sangat kecil jadi nggak bisa terbaca oleh kami. Makanya kami beri kesempatan kamu untuk menunjukkan berkas asli. Dan ternyata IPK kamu kurang dari yang dipersyaratkan. Jadi mohon maaf belum bisa ikut ujian, ya…

Pelamar: Yah…, tapi kan IPK 2.99 kalau dibulatkan juga bisa jadi 3.00, Mbak 😐

 

Kayanya anak ini belum pernah dibulatkan terus ditaburi wijen, ya? 😐

Sebenarnya jadi panitia itu seru, karena ada “hiburan” dibalik menyeleksi pelamar yang masuk. Seperti ketika ada seorang pelamar yang memasukkan data tertulis secara serius, tapi begitu dilihat attachment-nya lha kok semuanya foto. Empat file yang seharusnya berisi lampiran foto 4×6 background merah, ijazah, transkrip, dan KTP itu semuanya terisi foto narsis. Mending kalau dia perempuan ya, ini laki, Kak ;)).

Foto pertama adalah foto dia ketika diwisuda, memakai toga lengkap, menggenggam ijazah, senyum lebar, dengan pose yang agak miring. Foto kedua adalah foto dia bersama seorang bayi di baby stroller, tampak atas. Foto ketiga adalah foto gaya alay, diambil dengan kamera HP yang diambil tampak atas. Foto keempat adalah foto dia dengan baju batik lengan panjang dengan background katering kondangan, lengkap dengan dekorasi bunga di pinggir-pinggir meja prasmanan. Hmppfft… Dikira aplikasi kita ini facebook apa, yah? 😐

Alhamdulillah tahapan-tahapan awal seleksi sudah terlampaui, tinggal hari besarnya aja nanti tanggal 8 September nanti. Buat yang akan mengikuti ujian, jangan lupa berdoa, dan sarapan. Nggak usah terbebani, santai aja, kalau sudah rezeki nggak akan ke mana kok 😉

Good luck, ya! :-bd

 

[devieriana]

Continue Reading