What the hell is water?

Disclaimer: sesungguhnya ini adalah postingan nyinyir. Buat yang baca, sabar ya ;))

Jujur, saya suka sebel sama orang-orang yang minta tolong tapi pakai syarat harus begini, harus begitu. Lah, kalau minta tolong kenapa nggak semampunya yang nolong? Kenapa harus memberi syarat ini itu? Kalau memang ada syaratnya ya kenapa bukan dia aja yang melakukannya sendiri?

Seperti kisah ada seorang teman berikut ini. Dia adalah seorang fresh graduate yang minta dicarikan pekerjaan. Dia bilang kalau pengen kerja di perusahaan telekomunikasi. Berhubung dulu saya pernah kerja di telco, dan info terakhir yang saya terima waktu itu, tempat kerja saya yang dulu itu sedang butuh callcentre agent, ya saya informasikan apa adanya.

Awalnya dia tanya-tanya seputar kerjaan di call centre. Ya saya jelaskan semua segamblangnya. Tapi begitu saya bilang kalau pola kerjanya shifting, dia langsung mundur teratur. Dia pengen kerja yang office hour, dan nggak “cuma” staf. Maksudnya, dengan ijazahnya sekarang paling enggak dia dapet posisi dengan level supervisor, gitu. Lah, jadi saya yang bengong-bengong. Sepengalaman saya sih namanya cari kerja ya dari nol dulu, apalagi kalau masih “ijo royo-royo”, kalau telur nih baru netas, belum pernah kerja sebelumnya. Toh walaupun “cuma” staf kalau kerjaan kita bagus dan dianggap kompeten di bidang yang kita tekuni, karir dan gaji bagus selanjutnya akan mengikuti kok.

Atau ada lagi kisah seseorang yang berkali-kali mengirim surat ke kantor saya yang sekarang, bukan untuk melamar pekerjaan tapi untuk meminta bantuan supaya anak-anaknya dibantu mencari kerja. Itu pun pakai milih, kalau nggak di Pertamina, ya di Indomobil, di Astra, atau di kantor-kantor mentereng lainnya. Padahal dari cerita si bapak pengirim surat yang panjangnya selalu minimal 3 lembar (ditulis tangan itu) anaknya sekarang sudah bekerja di salah satu perusahaan besar tadi tapi berstatus karyawan outsource. Dia ingin anak-anaknya jadi pegawai tetap di salah satu perusahaan-perusahaan besar itu. Menurut kisahnya, anak-anaknya itu pernah ikut berbagai macam test tulis dan interview di berbagai perusahaan tapi selalu gagal. So, salahnya di mana, coba?

Mau bercita-cita setinggi langit, atau idealis sekalipun, sebenernya sih nggak ada masalah, tapi apa nggak sebaiknya tetap realistis? Bukan berarti seorang fresh graduate yang bercita-cita ingin langsung menjadi manager itu nggak realistis. Bisa aja kok. Siapa tahu pas rezekinya bagus, dia beneran langsung jadi manager. Keajaiban bisa terjadi kepada siapa saja, kan? Tapi kalau nggak ada keajaiban kaya gitu, ya kenapa nggak realistis menjadi staf aja dulu? Itung-itung sambil belajar, cari ilmu & pengalaman, biar ada yang ditulis di CV. Baru deh tuh, kalau memang selama bekerja dia dianggap capable, karir yang lebih baik pasti sudah menunggu. Seorang manager juga nggak mendadak jadi manager, kali. Mereka juga meniti karirnya dari bawah, bekerja dengan tekun, menguasai pekerjaannya dengan baik, dan punya jiwa kepemimpinan. Emangnya jadi manager itu gampang? Dipikir hanya berbekal ijazah S1 doang sudah berhak menentukan karir dia di mana? Ya kecuali kita punya perusahaan sendiri, atau kita seorang pewaris kekayaan dengan aset di mana-mana, yang seluruh asetnya wajib ditangani secara langsung oleh keluarga. Nah, kan… kalau ngomel-ngomel gini akhirnya jadi merepet panjang, kan? ;))

Kalau untuk kasus kedua, saya cuma bisa prihatin. Memang, orangtua mana sih yang nggak pengen anak-anaknya hidup enak, karir bagus, kalau bisa menunjang ekonomi keluarga, menjadi kebanggaan orangtua. Tapi dalam hal ini yang tertangkap kok kesannya jadi kurang bersyukur, ya? CMIIW.

Anak-anak bapak itu sebenarnya sudah bekerja kantoran, bukan kerja lapangan yang berpanas-panas di luar sana, nggak sengsara-sengsara amatlah. Notabene seharusnya  nggak ada masalah, ya. Soal besaran gaji itu relatif. Untuk memperbaiki karir, mereka juga sudah berusaha melamar pekerjaan yang memiliki masa depan lebih cerah, gaji yang lebih baik tapi kebanyakan selalu gagal di tahap seleksi masuk. Hingga akhirnya orangtuanya meminta bantuan agar anak-anaknya dibantu masuk di Pertamina, Indomobil, Astra, Kemenkeu, dll itu. Yah, kalau itu sih saya juga mau, Pak… hehehehe.

Saya dan kedua adik saya semua mencari kerja sendiri, nggak pakai ngelobby ke siapa-siapa. Selepas kuliah saya malah sempat menganggur setahun karena nggak dapat-dapat kerja :(. Dapat kerja pun dapatnya di perusahaan kecil di daerah yang jauh pula. Tapi ya saya jalani hampir 3 tahun. Ketika ada kesempatan pindah, saya pun pindah. Nyatanya ternyata tempat ini nggak jauh lebih baik.

Tapi sisi positifnya, ada ada product knowledge yang saya kuasai dengan baik, dan akhirnya bisa menjadi modal saya berkarir di tempat yang jauh lebih baik. Di perusahaan inilah saya mengabdikan diri selama hampir 7 tahun lamanya, sebelum akhirnya saya diterima sebagai PNS. Begitu pula dengan si bungsu, saya tahu bagaimana perjuangan mencari pekerjaan, hingga akhirnya sekarang diterima sebagai pegawai tetap di salah satu BUMD di Jawa Timur. Kalau adik saya yang kedua relatif jauh lebih beruntung, setelah lulus kuliah tanpa menunggu lama dia sudah mendapatkan pekerjaan sebagai Legal Officer di salah satu bank swasta nasional, dan bahkan sekarang ditarik ke kantor pusat.

Jadi teringat dengan salah satu paragraf tulisan David Foster Wallace. Ada 2 ekor ikan muda yang sedang berenang di air, tiba-tiba mereka berpapasan dengan seekor ikan tua yang mengangguk ke arah mereka dari arah yang berlawanan. “Morning, boys. How’s the water?” Dua ikan muda tersebut tetap berenang sambil saling menatap. Kemudian salah satunya bertanya, “What the hell is water?”

Poin utama dari cerita ikan di atas adalah sesungguhnya hal yang paling jelas & kenyataan yang paling penting, seringkali menjadi hal yang paling sulit untuk dilihat dan dibicarakan. Seperti itulah  hidup. Kalau mau langsung enaknya ya nggak ada. No pain, no gain. Apapun yang kita terima sekarang, disyukuri aja. Rezeki memang sudah ada yang mengatur, tapi bukan berarti kita nggak berusaha, kan?  😉

Nah, sebelum saya merepet makin panjang dan nggak jelas, cukup di sini dulu deh. Nulis panjang-panjang itu ternyata capek, Kak…:|

 

[devieriana]

 

ilustrasi dipinjam dari sini

You may also like

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *