Lentera Untuk Ipat

Life’s most urgent question is: What are you doing for others?”
– Martin Luther King, Jr. –

Pernahkah kalian membayangkan harus hidup dalam kondisi fisik yang kurang sempurna dan ketidakjelasan apa jenis kelamin kalian, apakah kalian perempuan atau laki-laki? Jangankan bermimpi menjadi seorang model yang berkulit bagus, bermimpi memiliki kulit selayaknya manusia normal saja mungkin tidak pernah terpikirkan bagaimana caranya.

Tersebutlah seorang bocah berusia 5 tahun yang tinggal di daerah Warakas bernama Fatahiyah atau yang kerap dipanggil Ipat. Dia memiliki kelainan genetik sejak lahir. Hampir separuh kulit tubuhnya menghitam dan ditumbuhi bulu, serta menurut keterangan dokter Ipat memiliki jenis kelamin yang meragukan karena ada kelainan yang membuat klitorisnya membesar.. Sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan, karena ketidaksempurnaan fisiknya ini juga berpengaruh pada kondisi psikologis Ipat. Dia tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri, dan cenderung tertutup. Kalau bertemu dengan orang lain, dia lebih sering menunduk dan tidak mau memandang wajah orang yang mengajaknya bicara.

Ayah Ipat sendiri adalah seorang pekerja serabutan yang penghasilan setiap harinya tentu kurang bisa diharapkan, sedangkan ibu Ipat adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Ipat adalah anak keempat dari lima bersaudara. Saudara-saudara Ipat semuanya tumbuh dan memiliki fisik yang normal, hanya Ipat yang memiliki kondisi fisik seperti itu.

Dulu, hampir setiap hari Ayah Ipat mengusahakan dana untuk pengobatan Ipat dengan cara mengajak Ipat ikut bersamanya sambil mengetuk simpati satu persatu orang agar bersedia membagikan sebagian rezekinya untuk pengobatan Ipat. Namun tentu saja hasilnya kurang maksimal. Ipat yang waktu itu masih balita, mengalami kelelahan fisik, dan mungkin juga psikis, karena selain harus melakukan perjalanan yang melelahkan juga harus rela mempertontonkan kekurangan fisiknya kepada orang lain.

Hari Sabtu (6/7) lalu, saya beserta empat teman yang lain, dan juga Si Hubby, berkesempatan untuk bertemu Ipat dan keluarga dalam acara buka bersama di salah satu tempat makan di daerah Danau Sunter. Itu adalah kali pertama saya melihat Ipat, anak yang rencananya akan kami bantu. Bocah berperawakan kecil itu cenderung diam, lebih banyak menunduk, tidak mau bertatapan mata dan bicara dengan kami. Butuh waktu untuk bisa menetralisasi keadaan supaya Ipat bersedia membaur bersama kami.

Saya juga berkesempatan ngobrol dengan Pak Ecim, ayah Ipat. Dia mengatakan bahwa dulu sebenarnya Ipat sudah sempat dioperasi kulitnya, yang operasinya disponsori oleh salah satu stasiun televisi swasta. Namun entah mengapa yang ditangani oleh stasiun televisi tersebut ternyata hanya sampai dengan tahap operasinya saja. Sementara tindak lanjut perawatan dan pengobatan pasca operasi tidak ada sama sekali. Terpaksalah Pak Ecim mencari dana lagi untuk pengobatan pasca operasi Ipat.

Sayangnya, dibalik kisah memprihatinkan itu ternyata masih ada pihak-pihak yang tega memanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Berkedok ingin membantu Ipat dan keluarga, ujung-ujungnya malah justru meminta uang dari keluarga Ipat yang jelas-jelas dari keluarga kurang mampu. Itulah sebabnya, kami memilih untuk mendampingi sendiri Pak Ecim dan keluarga, utamanya dalam proses pengobatan Ipat nantinya.

Masalah ternyata tak berhenti sampai disitu saja, sebagai pemegang kartu GAKIN (Keluarga Miskin), seharusnya pengobatan Ipat tidak dikenakan biaya sama sekali, namun justru kebalikannya, Ipat masih harus dikenakan biaya sebesar Rp200.000,00 untuk biaya tes kromosom di RSCM.

“Pak, bukannya semua pemegang kartu Gakin seharusnya bebas biaya pengobatan ya?”

“Iya, Mbak. Nggak tahu nih, saya juga bingung. Kemarin saya bawa Ipat periksa ke Cipto, tapi lab-nya itu yang di sebelah rumah sakitnya. Saya nggak tahu itu bagian apanya, kayanya swastanya ya, Mbak.. Jadi ya tetap harus bayar… ”

Sepertinya memang harus ada yang mendampingi Pak Ecim ke RSCM, mengingat disana rentan sekali pasien-pasien/keluarga lugu macam Pak Ecim ini digiring oleh calo menuju jalan yang tidak semestinya, sehingga pelayanan yang seharusnya gratis pun menjadi berbayar. Sebetulnya ingin sekali melakukan pendampingan terhadap Pak Ecim dalam mengurus pengobatan Ipat di RSCM, namun apa daya, karena saya dan juga 3 orang teman saya yang lain juga diikat oleh jam kerja, sehingga kurang memungkinkan jika harus melakukan pendampingan.

Selepas berbuka bersama, kami mengantarkan Ipat dan keluarganya hingga sampai rumah. Sebelumnya, jangan pernah berpikir bahwa rumah Ipat ini terletak di sebuah perkampungan dengan jalanan yang lebar, atau setidaknya cukup untuk dilewati sebuah sebuah motor/sepeda. Jalanan menuju rumahnya benar-benar sempit dalam arti kata yang sebenarnya. Jalanan setapak yang hanya muat untuk satu orang. Semakin ke dalam, semakin mengerucut hingga kami harus berjalan miring untuk menuju ke rumahnya yang berada di pojokan itu. Jalanannya pun dipenuhi dengan bebatuan. Bersyukur bahwa badan kami tidak terlalu gemuk, sehingga masih memungkinkan untuk melewati jalanan sesempit itu.

Setelah melalui perjalanan yang rumit itu akhirnya kami sampai di rumah Ipat. Indera penciuman kami pun langsung disambut dengan bau khas sungai keruh. Rumahnya sendiri berbentuk bangunan dua lantai semi permanen, kombinasi antara tembok dan triplek-triplek bekas. Sebenarnya sedih deh kalau melihat kondisi fisik rumah yang kurang layak disebut rumah itu. Namun rupanya mereka tidak punya pilihan lain untuk tinggal karena beruntung mereka masih bisa merasakan memiliki tempat tinggal dan tidak hidup menggelandang.

Ipat tampak mulai sedikit merasa nyaman dengan kehadiran kami di rumahnya. Dia mulai berani berdendang kecil, dan akhirnya dia pun mulai berani beratraksi menyanyikan lagu Playboy-nya Seven Icon dengan artikulasi yang kurang jelas. Si Hubby mengambil beberapa gambar Ipat dengan menggunakan kamera handphone secara candid. Kenapa harus candid? Ya, karena Ipat tidak pernah mau sengaja diambil gambarnya. Seperti yang saya ceritakan tadi Ipat sangat tertutup apalagi dengan orang-orang baru yang belum dikenalnya.

Sementara Ipat asyik bermain sendiri dengan abangnya, kami pun melanjutkan diskusi masalah pengobatan Ipat dan langkah selanjutnya yang akan kami ambil. Ditengah diskusi kami, tiba-tiba Ipat melintas di sela-sela kami yang saat itu duduk di lantai. Dia meminta ibunya membuka baju bawahannya karena mengeluh badannya gatal. Saat itulah saya melihat sebagian tubuh Ipat yang berwarna kehitaman dan ditumbuhi bulu. Bagian perutnya hingga ke paha, dan beberapa bagian di kakinya pun mengalami bercak-bercak kehitaman dan ditumbuhi bulu. Sungguh trenyuh melihatnya :(. Tidak berani jika saya yang mengalami hal itu. Dulu wajah saya ditumbuhi jerawat saja sudah uring-uringan dan kurang percaya diri, apalagi jika sebagian kulit saya berwarna hitam legam sejak lahir dan berbulu seperti itu :-s. Belum lagi ketidakjelasan jenis kelaminnya, apakah Ipat ini seorang perempuan atau laki-laki. Hal-hal itulah yang secara psikologis mengakibatkan Ipat mengalami krisis kepercayaan diri, karena memang kondisi fisiknya sedikit berbeda dengan manusia normal pada umumnya.

Menurut keterangan Nanda, salah satu teman yang juga akan membantu Ipat, jika kartu Gakin yang dimiliki Pak Ecim tidak berlaku, maka operasi Ipat akan menelan biaya kurang lebih sebesar 40 juta rupiah. Tentu ini adalah biaya yang sangat besar jika harus ditanggung sendiri oleh keluarga Pak Ecim yang hanya seorang buruh serabutan. Oleh karena itu, dibutuhkan bantuan dana dari para donatur, siapapun itu yang peduli terhadap nasib Ipat dan keluarganya.

Namun, jika uang tersebut sudah terkumpul dan ternyata kartu Gakin Pak Ecim berlaku sehingga seluruh biaya operasi Ipat ditangani secara gratis, uangnya mau dikemanakan? Ya, setidaknya uang tersebut bisa dipergunakan untuk membiayai hidup Pak Ecim dan keluarga selama Ipat dirawat di RS, dan bisa dipergunakan juga untuk biaya pasca operasi.

Nah, berhubung kita juga masih menunggu hasil tes kromosom dari RSCM, sehingga masih belum bisa dipastikan apa jenis kelamin Ipat. Bersyukur jika nantinya dia berjenis kelamin perempuan, karena berarti Ipat tidak membutuhkan waktu yang banyak untuk menyesuaikan diri, karena tampilan Ipat sekilas memang lebih cenderung ke anak perempuan. Tapi jika tes hasil kromosom nanti  ternyata menyebutkan hal yang sebaliknya Ipat akan butuh seorang psikolog untuk melakukan pendampingan.

Bagi teman-teman yang ingin membantu Ipat, silakan berkirim email ke saya devieriana@gmail.com, inandatiaka@gmail.com, mohtaufan@ymail.com, atau ke ekaiswahyuni@gmail.com.

Jika teman-teman juga ingin berbagi dalam bentuk donasi, silakan disalurkan ke Bank Mandiri Cabang Bandung Siliwangi dengan No. Rekening 13 0000 4747 641 a.n. Inanda Tiaka, atau ke rekening BCA cabang Kiara Condong  2800634469 a.n  Eka Iswahyuni.

 

“Be thankful for what you have, but never take what you have for granted. Share with those who are less fortunate. You do not know what tomorrow brings.”
– Catherine Pulsifer –

 

 

 

[devieriana]

 

Sumber gambar : di sini dan sini

Continue Reading