Takut Tak Sempurna..

Di pagi yang sibuk itu, handphone di atas meja – yang hampir selalu diaktifkan dalam modus vibrate/silent itu – kembali bergetar. Sedikit memecah konsentrasi saya pagi itu. Melihat sebentar ke layar handphone, sekedar mengecek adakah mungkin email, sms, atau kabar penting lainnya yang masuk. Ternyata BBM dari seorang teman yang menanyakan kabar.

Ok, sepertinya bisa ditunda dulu ya, biar saya ngebut dulu deh kerjanya. Dengan cepat ibu jari saya mengetik sebaris kalimat di layar handphone. “Jeng, aku lagi sibuk dikit nih, aku kelarin bentar ya. Seperempat jam lagi kita sambung. Ok, Bebih? :D”. Enter. Tak berapa lama dia pun membalas dengan singkat, “Ok”.

Tak lama setelah selesai berkutat dengan berkas-berkas saya pun memenuhi janji untuk meluangkan waktu ngobrol dengan si teman. Menarik, karena dari sana mengalir sebuah obrolan yang bukan sebatas basa-basi menanyakan kabar. Biasanya sih kita cuma ngobrol ringan, seputaran gosip-gosip nggak penting, dan guyonan-guyonan nggak mutu ala kami berdua. Tapi ternyata kali ini sedikit berbeda, ada hal serius lainnya dibelakang sapaan pagi itu.

“Yes, Bebih. Udah agak santai nih sekarang.. Kenapa-kenapa? Ada gosip apa pagi ini? :> “, sapa saya di BBM

“Hmm, sebenernya bukan pengen ngegosip kok.. Aku pengen diskusi sedikit nih sama kamu..”

Sejenak saya terdiam, tidak mengetikkan satu huruf pun. Mencoba menerka-nerka, kira-kira dia bakal ngobrolin apa ya. Semoga bukan masalah yang serius deh..

“Mmmh, ya.. kenapa, kenapa?”

“Mmmh, gini, kenapa ya kok akhir-akhir ini aku sering merasa gusar sendiri. Kaya ada beban yang.. entah ya, masalah yang awalnya aku anggap bisa aku atasi ternyata waktu dijalani kok berat ya..”

Saya mulai mengernyitkan dahi membaca prolog diskusinya. Saya tunggu dia menuliskan semua uneg-uneg yang seperti saya duga, memang panjang :D.

“.. akhir-akhir ini aku kaya dibayangi ketakutan-ketakutan yang mungkin nggak berdasar. Kamu dan suami kan masing-masing menikah sebagai pasangan pertama. Sementara aku, menikah dengan suami yang sudah pernah menikah sebelumnya. Divorce dengan satu anak. Selama berumah tangga aku jadi sering paranoid sendiri, takut kalau-kalau.. I would never be as perfect as his ex wife used to be.. :(“

“Hush! Nggak boleh ngomong begitu, ah! :|”, sergah saya. “Sebenernya ukuran sempurna itu yang kaya gimana sih?”

” 🙁 “

“.. tidak ada seorang pun yang terlahir dengan pribadi sempurna, Jeng. Nggak ada ayah/suami yang sempurna. Nggak ada ibu/isteri yang sempurna, juga anak yang sempurna. Semua berjalan melalui sebuah proses panjang pembelajaran. Kita nggak bisa membandingkan seseorang dengan lainnya, pun pasangan kita sekarang dengan pasangan sebelumnya. Karena memang nggak ada yang bisa dibandingkan, Jeng. Manusia itu kan terlahir unique, jadi sudah pasti “hasilnya” ya nggak akan pernah sama.. Misalnya, mantannya suamimu adalah Dian Sastro, trus kamu akan berusaha seperti Dian Sastro dalam segala hal, gitu? Enggak kan?”

“:-s “

“IMHO, saranku sih cuma satu, Jeng. Cukup jadi diri sendiri aja. Jadi isteri dan (calon) ibu dengan kepribadianmu sendiri. Mendidik & mengasuh buah hati kalian dengan cara kalian sendiri. Nggak perlu takut, apalagi membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Nggak akan fair juga kalau sampai pasangan nantinya membandingkan kamu dengan mantan pasangan sebelumnya. Karena nggak akan pernah sebanding, kalian jelas dua pribadi yang berbeda.. :)”

“….. “. Dia terdiam beberapa saat, mungkin menunggu saya menulis lagi 😀

“.. pasti ada alasan tersendiri ketika seseorang akhirnya memilih untuk hidup bersama kita ketimbang dengan yang lain. Contohnya, ketika suami memilih kamu sebagai isteri, mungkin karena kamu smart, mandiri, lembut, sabar, menyenangkan, dan yang paling penting dia merasa nyaman dengan kamu. Itu sebenernya poin kelebihan kamu, kan Jeng?”

“Iya, 🙁 . Selama ini aku udah paranoid banget dengan hal yang satu itu. Dulu sebelum menikah aku sudah pernah ditanya Mama, apakah aku siap menikah dengan orang yang pernah punya kehidupan rumah tangga sebelumnya? Aku jawab siap, aku sanggup. Tapi setelah aku jalani di lapangan, ternyata berat juga ya. Aku seperti belum rela ketika dia bicara tentang anaknya.. 🙁 “

“Dear, ada yang namanya mantan suami atau mantan isteri. Tapi nggak ada yang namanya mantan anak. Sampai kapan pun dia akan tetap jadi anak si suami. Mau nggak mau ya itu kenyataan yang harus kamu terima, menikah dengan satu paket status, menikahi pria sekaligus statusnya sebagai ayah dari pernikahan sebelumnya.. “

” iya sih.. :(“

“Jadi ya sudah, monggo diterima dan dijalani semuanya dengan legowo.. Mungkin berat buat kamu, tapi kalau kamunya ikhlas menjalani sebagai bagian dari konsekuensi pilihan yang sudah kamu ambil insyaallah kedepannya akan lebih mudah buat kamu. Amien….”

“Amien.. Thanks for the insight, Dear. Glad to have you as a friend >:D<"

“You are not perfect, Dear. But believe me you will always be perfect for him ;)”

Kalau bicara tentang kesempurnaan sepertinya nggak akan pernah selesai ya. Saya sepertinya harus berterima kasih juga pada si teman yang akhirnya dari obrolan tadi kok seperti mengingatkan diri saya sendiri untuk berhenti mengejar kesempurnaan. Karena tanpa sadar saya juga kadang-kadang berlaku demikian.

Dari percakapan singkat tapi padat itu kok jadi teringat salah satu scene di film Bride Wars yang intinya sama dengan percakapan dialog diatas. Ada sebuah kalimat yang diucapkan seorang calon suami pada calon isterinya yang khawatir tidak bisa sempurna ketika kelak menjadi seorang isteri. Kurang lebih bunyinya begini : “Life is not perfect, Honey. Life is messy. I don’t need you to be a perfect wife. I just need you to be a human live”.

Terkadang di mata pasangan kita tidak perlu menjadi seorang yang sempurna. Mereka ingin kita cukup menjadi seseorang yang manusiawi. Seseorang yang wajar jika tanpa sengaja berbuat salah, seseorang yang wajar jika banyak kekurangan. Karena sempurna hanya kata yang pantas untuk-Nya..

This is life, not heaven. So, you don’t have to be perfect! 😉

[devieriana]

gambar dipinjem dari Image Shutterstock

Continue Reading