Sang Penari Tobong ..

Aku berkaca pada cermin tua yang buram di sudut ruang yang suram. Menatap sayu pada wajahku yang muram & masa depanku. Kata orang aku muda, cantik, luwes, grapyak. Akulah idola bagi mereka. Akulah sang kembang pentas. Akulah sang primadona. Namun, layakkah untukku semua tepuk tangan & puja-puji seperti itu? Bahagiakah aku sesudahnya? Tidak !

Duniaku terasa begitu sepi walau dalam keriuhan. Seperti malam ini yang hanya ditemani suara jengkrik yang sahut menyahut di tengah tanah lapang yang lengang. Menerpa punggungku yang hanya tersekat kebaya tipis yang mulai pudar warnanya. Padahal disudut sekat ruang yang lain pendar cahaya bohlam kekuningan cahaya campur lampu neon yang menyilau pada sebuah panggung tempatku hidup.

Lelah & keringatku mencair menyusuri tepian kota bersama serombongan pria & wanita paruh baya dalam sebuah kendara. Melanglang dari satu kota ke kota lain, dari desa yang satu ke desa yang lain. Mirip seperti sebuah rombongan sirkus dengan berbagai hewan terlatih di dalamnya. Tapi apa hendak dikata justru untuk lelahku itulah terbayar rupiah. Tak jarang hanya beberapa lembar uang kertas yang jumlahnya tak seberapa jika harus terbagi rata. Cukupkah? Jelas jauh dari ungkapan kata cukup. Tak jarang aku masih harus menahan lapar & dahaga ketika jumlah yang kuterima jumlahnya tak seberapa. Ya semua ini untuknya.. Untuk simbok & Siti buah hatiku..

Sekilas terbayang wajah anak semata wayangku di desa bersama simbokku yang menua & sakit-sakitan, berlompatan mereka silih berganti memenuhi gumpal otakku. Ah, maafkan ibu yang belum mampu membelikanku golekan kayu yang kamu mau, Nak. Maafkan ibu yang belum mampu membelikanmu baju yang layak untukmu. Maafkan ibu yang setiap hari hanya bisa merindumu tanpa bisa menggendong atau menyentuhmu. Mbok, maafkan anakmu yang harus meninggalkanmu sendiri merawat Siti tanpa teman untuk membantu keseharianmu. Biarlah aku, anakmu yang akan berjuang menambal sulam hutang kita, mencarikan uang untuk sekolah cucumu kelak agar hidupnya kelak tak seperti aku. Anakku, baik-baiklah di desa bersama simbah. Ibu akan segera pulang, ketika sudah cukup rupiah di tangan ibu.

Lamunanku seketika mengelupas saat ujung tangan Yu Surti menowel lenganku.
” Lha, kok ngelamun lagi kamu, Sri? Hayo, tinggal sedikit lagi gitu. Ndang dirapikan rambutnya.. Sebentar lagi pertunjukan akan segera dimulai. Kenapa lagi kamu, he? Kangen lagi sama anakmu? “

Aku tersenyum kelu pada wanita setengah baya yang tubuhnya masih sintal & sigrak itu.
” Iya, Yu. Kangeeen banget. Sudah berapa bulan ya kita ndak pulang ke kampung kita? “, gumamku dengan pandangan setengah menerawang.

” Lhadalah, kok malah ngelamun pengen mbalik ke kampung? Sudahlah, lupakan dulu sementara kampung yang tak punya harapan itu! Mau jadi apa kita disana, Sri? Angon bebek & kambing yang hasilnya ndak seberapa itu? Itu juga bukan bebek & kambing kita tho?”

” iya.. aku tahu. Tapi, tenanan aku kangen simbokku Yu.., juga kangen Siti anakku..”

” terus, kamu mau langsung pulang ke kampung gitu aja? atau malah mau membawa mereka ikut dalam rombongan kita ini? “, tanyanya tegas sambil menatap tajam kearahku.

Aku hanya terdiam bisu. Mendadak aku merasa menyusut dalam pandangan tajam matanya yang bulat itu.

” Pikirkanlah. Mau kamu ajak tinggal dimana mereka? Kita saja yang tidur dimana-mana, masa iya kamu rela anak sama simbokmu kamu ajak tidur ngemper dalam udara terbuka? Ora mesakke tho kamu sama mereka?”, cecar Yu Surti seolah menghempaskan seluruh khayal & impianku untuk mengajak simbok & Siti hidup bersamaku di kota ke karang terjal. Hancur berkeping-keping menjadi serpihan kecil-kecil.

” Ingat Sri, lagian kamu itu masa depan kita. Kalau ndak ada kamu, grup kita ini siapa yang bakal ngelirik? Kamu yang paling muda diantara para pengrawit & penari disini. Kalo ndak ada kamu, mau nonton apa mereka? Kowe sing sik sigrak, seger, lan katon ayu.. Kamu daya tarik grup ini Sri.. Pikirkanlah masak-masak sebelum kamu mengambil keputusan..”, tukas Yu Surti sambil memasang konde & menyisipkan mawar disela kondenya.

Aku menghela nafas berat. Ah, kenapa sungguh egois sekali kehidupan yang kujalani ini. Sebuah pekerjaan yang mudah namun berat. Salahkah jika aku kangen sama anakku sendiri setelah terpisah hampir satu tahun lamanya? Salahkah jika aku merindukan simbokku yang menua dan mulai sakit-sakitan itu? Salahkah aku ketika ingin hidup mendampingi dua orang yang tersisa dalam kehidupanku? Ketika hidup serasa tak pernah berlaku adil bagiku. Suamiku yang meninggal 2 tahun yang lalu setelah dihajar massa karena dikira maling ayam, membuatku harus hidup sendiri mengasuh Siti yang saat itu masih bayi merah, sekaligus merawat simbokku yang mulai sakit-sakitan. Pun saat kuputuskan ikut rombongan ini hanya satu harapanku, kelak akan terjadi keadilan dalam hidupku.

Airmata menggenang di pelupuk mataku, membuat celakku sedikit belepotan. Kuseka sedikit celak yang luntur itu dengan ujung kainku. Lalu melanjutkan lagi kesibukan mengonde rambut, memulas bibirku dengan gincu warna merah terang. Membentuk segurat alis, memberikan rona kemerahan di pipiku yang “nduren sajuring” & merapikan celak di atas & bawah kelopak mataku.. Penampilan luarku terlihat sangat luar biasa malam ini. Wajah bulat telur, kulit kuning langsat, & tubuh yang ramping (jika tidak ingin dibilang kurus lantaran jarang makan). Aku terlihat sempurna, walau yah.. terlihat sangat lelah. Aku lelah.. lahir & batin..

” Sri ! Cepatlah kau keluar. Pertunjukan akan segera dimulai. Penonton sudah menunggumu! “, seru lelaki tua yang kami anggap ketua.
” I..iya, pakdhe.. aku sudah siap..”, sahutku sambil mengalungkan sampur hijau & merapikan pending perak dipinggangku.

Seperti biasa, tak banyak yang melihat pertunjukan kami. Beberapa diantaranya duduk di bangku kayu seadanya yang diatur sedemikian rupa persis di depan tumpukan balok-balok yang dibuat mirip sebuah panggung. Kebanyakan mereka adalah laki-laki. Beberapa perempuan diantaranya adalah ibu-ibu yang menatap kami dengan pandangan sinis & bibir mencibir. Gending tayub mulai teralun merdu, mengiringi setiap seblak & goyang pinggul kami. Tak lama kemudian, beberapa pria mulai ikut turun menari bersama kami. Seperti biasa kamipun menari dengan sebagian dari mereka yang tatap mata & tawanya menjijikkan serta mulut bau alkohol yang membuatku serasa ingin muntah. Tapi apalah daya.. aku tak punya pilihan lain selain berpura-pura senang menari bersama mereka.

Sesekali tangan iseng mereka mendarat berusaha menggerayangi tubuhku, yang langsung kutampik secara halus. Tak jarang pula mereka ngotot menungguku selesai tampil hanya untuk menawarkan sebuah kencan yang berbau mesum. Aku tidak semurah & semudah itu ! Untuk sebuah hubungan yang seriuspun aku masih belum mampu. Aku belum bisa melupakan mendiang suamiku, yang hidup dalam kesederhanaan & kejujuran yang dipegang teguh hingga ajal menjemputnya. Hatiku masih belum sepenuhnya terbuka untuk lelaki yang berniat menggantikan sosoknya dalam kehidupanku selanjutnya. Entah sampai kapan aku mampu bertahan. Hanya pada Gusti Allah-lah kuserahkan semua keputusan & pilihan hidupku.

Beginilah kehidupanku, dalam hidup yang nomaden persis manusia purba. Hidup yang tergantung pada seblakan sampur satu, ke seblakan sampur yang lain. Hidup dari keping receh & lembar rupiah sebagai upah goyangan tubuh kami. Berpindah dari pinggiran kota yang satu ke pinggiran kota yang lain. Hidup dijalanan bersama siang yang teriknya memanggang sampai ke sumsum & malam yang dinginnya mencekat tulang. Bertahan sekaligus bernafas diantara debu & laju truk yang mengangkut kami ke persinggahan berikutnya. Semua kulakukan demi rupiah, demi kehidupan yang kami impikan akan jauh lebih baik. Walau tak selamanya nasib kami baik. Tapi setidaknya untuk sebuah harga diri yang akan aku banggakan pada simbok, mendiang suamiku & Siti buah hatiku.

Ibu tak ingin hidupmu kelak sesengsara ini, Anakku. Kelak kehidupanmu harus jauh lebih baik daripada kehidupan ibu & bapakmu. Senantiasa ingatlah akan satu hal.. Hiduplah dalam kebersihan hati & kejujuran. Dan jangan pernah kau jual harga diri & kehormatanmu pada seorang yang tak berhak mendapatkannya darimu, selain pasangan hidupmu.

Seperti ibumu… Sang penari tobong..

Jakarta, 11 November 2009

Atrium Mulia, 17.39 wib

[devieriana]

Continue Reading

Jiwa Yang Terabai

crossroad

 

Berdiri dia dalam diam
di sudut sebuah persimpangan..
Jalanan didepannya terpecah dalam satuan kilometer
yang panjang dan tak beraturan
Debu jalanan mengaburkannya
menjadi jalanan panjang tak berujung
dan kumparan yang terulur

Dimanakah sosok itu?
Meninggalkan sebuah hati yang bias dan tak jelas
Terabai bagai angin yang tak tergapai
Tercekik, mengejang..
Lalu melayang..

Akankah sosok itu akan hilang menembus labirin waktu yang berbeda?
Pelahan memasuki sekat ruang yang tak bisa dia ingat kalau dia pernah ada
Atau akankah hanya horizon sang waktu
yang mampu menjawab sebuah tanya?

 

 

 

 

gambar dipinjam dari

 

 

Continue Reading

Untuk Jakarta Fashion Week..

 

First of all, saya mau cerita kalau saya alhamdulillah kepilih jadi salah satu penonton yang nantinya akan membuat reportase (eh, gila bahasanya ketinggian bu), apa ya, cerita tentang Jakarta Fashion Week yang salah satu sponsor utamanya adalah majalah Femina. Nanti kita akan diminta posting tentang Jakarta Fashion Week ini di blog masing-masing yang selanjutnya akan dipilih oleh Femina menjadi ulasan terbaik.

Oh Man, ini kesempatan langka. Bisa join di event besar macam ini. Kebanggan tersendiri buat saya untuk bisa membuat sebuah apresiasi terhadap dunia yang pernah saya singgahi beberapa tahun lalu sebelum saya aktif bekerja di telekomunikasi seperti sekarang ini.

Dulu, saya pernah bekerja sebagai desainer di sebuah perusahaan garment yang bergerak di bidang menswear & jeanswear di kota Malang. Nggak nyambung sama background edukasi saya yang sekretaris itu sih. Lebih ke hobby  sebenernya. Hobby menggambar yang saya mix dengan ketertarikan saya dengan dunia fashion, meski saya nggak bisa jahit.. 😀

Dan siang ini ada sebuah email dari salah satu moderator yang meminta saya kirim url blog saya, nomor HP & foto diri buat ID Card masuk ke event pagelaran JFW nantinya. Percakapan lucu via email terjadi antara saya & mbak moderator ..

————————————–
Dear Olive n Devi,

Bisa tolongin gak? Kita butuh nmr hape, alamat blog dan foto kalian berdua buat ID card ke acara ini (JWF). sori kalo udah ngirim di email sebelumnya, sini lg ribet panik bingung mo bongkar2 inbox lagi. Pretty please…aku tunggu secepatnya ya? Thx a lot 🙂

—————————————-

Saya : xixixixix.. tenang bu..
nyoh tak kasih..
* Devi Eriana Safira
0811 177x xxx
http : www.www.devieriana.com
fotonya mesti pasfotokah? aku ndak bawa..

 

Mod :  fotonyaaaaaaaa………. *kok pasfoto sih* 😆

 

Saya :  lho lha iya kan katanya foto.. foto diri kan?
butuhnya yang gimana? berbentuk pasfoto atau boleh apa aja pokoke gambar diri kita?

 

Mod : berbentuk poster atau baliho gitu lah, wahahahaha…
eh mbuh deng aku jg blm tanya fotonya yg kyk gmn, blm ngirim fotoku jg. doh… bntr aku tanyain ya..

 

Saya : woooo emang deh, dasar.. 😆 . Kirain udah paham, ternyata enggak.. :mrgreen: *ngesend foto dalam bentuk spanduk*

 

Mod : Ok pasfoto aja katanya, diattach di email aja. Gak trima spanduk apalagi keset 😆

 

Saya : lhoo.. terlanjur tak send dalam bentuk celana dalam.. 😀
Udah tak bilang tadi kalo yang pasfoto diriku ndak bawa. Tapi kalo foto narsis agak-agak tampak samping gitu ada.. Udah tak crop, tak kasih cap bibir sekalian 😆   .Boleh ndak? wis tho, yang penting kan mukanya sama .. 😀 .
Kalo ok, tak kirim sekarang nih..

 

Mod : Ya udah kirim aja lah  *males mikir*  😆

 

Saya : mwahahahahahahahahahaha.. Ya wis, ini aja ya.. Nggak punya lagi aku..

 

Mod : *glek* SIAPA INIIIII???? CHRISTINE PANJAITAN YAAAAAAA????  😆

 

Saya : ya.. daripada dibilang Azis Gagap.. ya sudahlah, tak apa kau bilang Christine Panjaitan.. Eh butuh yang lainkah? yang ada brengos sama jakunnya mungkin?tak kasih pose yang sebelum operasi ke Thailand..
*ngakak kayang*

 

——————————————-

 

 

Ya begitulah.. Emmh, wish me luck yah.. 🙂

 

 

 

Continue Reading

Untuk Bulat Duniamu..

world in hand

Kau bilang duniamu itu bulat, persis seperti bola yang mudah menggelinding kesana kemari. Aku bilang duniaku bentuknya kotak persis seperti kubus yang hanya bisa diam di tempat mana dia diletakkan & hanya akan berpindah ketika ada yang memindahkan. Kau menertawakanku terbahak-bahak, “hei, mana mungkin dunia itu kubus!”. Tapi coba kau lihat, duniaku memang kubus. Lagi-lagi kau tertawa, bahkan kali ini jauh lebih keras.

Aku termenung gusar… Kami sama-sama punya dunia. Tapi mengapa dunia kami bentuknya berbeda? Seringkali kami berbeda kata menyikapi hal-hal yang terjadi di dunia kami. Ah ya, baiklah… mungkin karena aku belum sempat mengasah sudut-sudut duniaku hingga nantinya tampak bulat seperti duniamu ya?

Aku pun mulai sibuk mengikir sudut-sudut duniaku. Kau diam terpaku sembari sesekali mengernyitkan dahimu. Kenapa? Heran? Aku melakukan ini untukmu.  Ya, lihatlah, setidaknya aku mencoba membulatkan duniaku hingga mirip duniamu supaya kita punya dunia yang sama, dan aku tak salah lagi mengartikan cerita tentang duniamu.

Kupinta kau untuk melihat sejenak dunia yang ada di tanganku menggunakan kacamataku. Bagaimana? Sudah cukup bulatkah? Kau mengerinyitkan dahi dan berseru, “ini belum bulat!” Aku menghela nafas.

Aku lelah, aku tidak punya ribuan pangkat kesabaran seperti yang kau mau. Tak tahukah kau, sebenarnya yang kupinta hanya satu…

Sebuah pengertian…

* sebuah refleksi perenungan dari curhat seorang teman *

[devieriana]

gambar pinjam dari sini

Continue Reading

Inilah Jakarta, Darling!

 

Beberapa kali saya melintasi daerah-daerah pinggiran kota Jakarta yang kumuh. Kadang hanya sekedar melintas, tapi kadang juga karena mencari jalan tikus untuk menghindari banjir atau kemacetan. Pemandangan yang membuat trenyuh kerap tersaji secara gamblang & apa adanya. Gambaran sebuah usaha untuk survive di ibukota terpampang jelas di depan mata.

 

Salah satunya adalah para penjaja makanan di sepanjang kolong kereta api. Jika ditilik dari keamanan & kenyamanan tentu jauh dari kata “aman & nyaman”, apalagi jika dibandingkan dengan restoran dengan pelayanan prima dan lingkungan yang cozy baik untuk sekedar hangout, ngobrol atau makan bersama keluarga/kerabat. Tapi apalah daya ketika perut mulai meronta minta diisi tentu tak banyak pilihan yang ada di otak mereka selain bagaimana cara menyumpal mulut dengan makanan yang “nampol” di perut. Higienitas? Ah itu urutan nomor sekian, yang penting kenyang aja dulu.

“Welcome to Jakarta, darling! Inilah Jakarta, lengkap dengan kehidupan keras yang menempa manusia-manusia di dalamnya. Jadi, jangan heran kalau lihat hal-hal begitu. Itu mah udah biasa. Kalau nggak kaya gitu mana bisa hidup di ibukota kaya begini. Bukankah ibukota lebih kejam dari ibu tiri,? “, begitu kata seorang sahabat ketika iseng saya bercerita tentang hal-hal yang saya lihat.

 

Kenapa jadinya ironis banget sama slogan pariwisatanya Jakarta, “Enjoy Jakarta”, ya. Buat yang kemampuan finansialnya diatas rata-rata  ya jelas enjoy. Lha kalau buat yang kemampuan finansialnya cekak, nggak punya pekerjaan alias pengangguran, apanya yang mau di-enjoy? Paling-paling juga dijawab, “siapa suruh datang Jakarta?” 😀

 

Seperti pemandangan yang saya lihat, yaitu menjamurnya warung-warung di bawah rel kereta api. Hanya mencoba membayangkan, bagaimana ya rasanya makan di sela getaran kereta api yang setiap kali melintas tepat diatas mereka? Bagaimana rasanya berusaha menikmati makanan tapi dalam keadaan was-was (buat yang tak terbiasa makan disana)? Katakanlah saya sedang berkhayal ya.. apa mereka tidak khawatir kalau tiba-tiba kereta apinya anjlok lalu menimpa mereka yang tengah asyik makan disana? “ya jangan makan disanalah, kaya nggak ada pilihan tempat makan yang lain aja, kan banyak tuh yang nggak di bawah rel kereta api..”. Ok, ini hanya sebuah umpama. Pada kenyataannya mereka justru hidup dari hasil membuka kedai makanan disana selama bertahun-tahun. Toh buktinya mereka juga bisa eksis walaupun kondisi kedai makanan mereka sangat jauh dari kata “aman & nyaman”. Karena buat konsumen kelas mereka, “yang penting murah & kenyang”. Meski mungkin pernah terselip juga kekhawatiran di benak mereka seperti yang saya bayangkan tadi. Life must go on. tak ada pilihan lain selain bertahan dengan bisnis di lokasi berbahaya, karena mendirikan “usaha” dengan lahan & lokasi yang layak jelas jauh dari kemampuan finansial mereka. Jangankan buka usaha dengan lokasi yang layak, buat hidup aja mereka masih ngos-ngosan.

 

Ah, bisnis memang tak pernah kenal rasa takut. Setidaknya bagi para pemilik warung di bawah rel kereta api itu. Bagi mereka, dimana ada pasar & kesempatan, disitulah ada uang. Terlebih lagi jika menilik kondisi perekonomian negara kita yang sering tidak berjalan sebagaimana mestinya.

 

Ya, seperti kata sahabat saya :  Inilah Jakarta, darling!

 

 

 

Continue Reading