What A Day! (1)

Bagaimana rasanya “dipaksa” untuk keluar dari zona nyaman untuk menikmati sebuah posisi baru yang jauh dari kesan nyaman dibandingkan dengan posisi sebelumnya? Ya, sekarang saya sedang mengalaminya 😐

Ceritanya, kemarin adalah hari yang penuh dengan kejutan. Karena, saat saya sedang menikmati pekerjaan di zona nyaman saya mendadak harus siap menerima posisi baru yang tentu saja tidk senyaman posisi sebelumnya, ya setidaknya itu pemikiran awal saya saat itu.

Sebenarnya issue tentang adanya penggantian Team Leader Quality Assurance Telkomsel itu sudah terdengar seminggu yang lalu. Tapi ya namanya gosip, jadi ya belum sepenuhnya bisa dipercaya. Apalagi orang yang digosipkan juga masih tenang, adem ayem, masih bekerja seperti biasa. Sampai akhirnya sore kemarin, menjelang jam pulang dipanggillah kami berempat, saya, Irma, Takim, dan Olin. Deg-degan dan bertanya-tanya pasti ada..

“Kalian berempat saya panggil kesini karena saya ingin melakukan seleksi untuk posisi Team Leader QAO yang akan ditinggalkan oleh Nanang per tanggal 1 Februari..”

“Hah? Lho?! What?”. Kami berempat mulai panik karena setahu kami Nanang (TL QAO yang sekarang) akan tinggal dulu selama satu bulan sebelum resign, sesuai dengan ketentuan kontrak kerja kami. Kalau semendadak ini jelas bukan hal mudah yang bisa kami terima. Sebenarnya mental kamilah yang belum siap untuk menerima posisi yang lebih tinggi 😀

Spv : Selama enam bulan terakhir ini nilai kalian para QAO kami pantau, dan hasilnya terpilihlah kalian berempat yang nilainya tinggi. Tapi ini belum final. Nanti sore tolong teman-teman jangan pulang dulu ya. Karena TL-nya kan belum terpilih. Mbak Ketut akan membuat list data, diurutkan mulai yang nilainya paling tinggi sampai yang paling rendah., mulai dari kehadirannya, ketepatan pengambilan sample-nya, dan akurasi penilaiannya. Tentus aja yang paling tinggi nilainya, dialah yang akan terpilih sebagai team leader penggantinya Nanang. Jadi mohon kesiapannya untuk bekerja lebih keras daripada sebelumnya ya..

Kami : *speechless, hening, dan tidak ada yang berani cengengesan.. ;)) *

Spv : ya sudah, silahkan teman-teman kembali ke tempat masing-masing, nanti setengah jam lagi akan dihubungi. Oh ya, tolong jangan pulang dulu ya..

Kami : iya, Mbak.. *sambil deg-degan*

Sepanjang jalan menuju ke lantai 8 kami mulai tebak-tebakan siapa yang bakal jadi kandidat terkuat. Kalau masalah kehadiran sepertinya saya tidak akan masuk hitungan deh. Karena saya kan bulan Agustu 2008 kemarin sempat “cuti” selama kurang lebih 15 hari karena harus bedrest pasca operasi cesar. Jadi dalam hati saya merasa “aman”, tidak akan terpilih ;))

Pukul 16.45 wib, mendadak telepon di meja Nanang, TL saya berdering. Sementara si Nanang entah ada dimana. Kami saling berpandangan. Tegang banget ya? ;)). Ya memang seperti itu suasananya. Berbagai pikiran dan perasaan pasti berkecamuk. Seperti menunggu pengumuman siapa yang akan keluar sebagai pemenang Puteri Indonesia gitulah ;))

Akhirnya telepon itu pun diangkat oleh salah satu teman yang duduknya paling dekat dengan meja TL kami :

Teman : Ya Mbak.. Oh, Mas Nanangnya lagi nggak ada.. Oh gitu, sebentar ya mbak..”

.. T E G A N G !!..

Teman : Mbak Devi, nih ada mbak Ketut katanya mau ngomong
Saya : Hah? 😮

DHIIIEEEENG.. Masa saya sih?! :-ss

Saya : ya, Mbak..

Mbak Ketut : Devi, setelah kita analisa, dari data 6 bulan terakhir total nilainya kamu ternyata yang paling besar diantara teman-teman yang lain. Jadi selamat ya say, per tanggal 1 Februari 2008 kamu jadi Team Leader Quality Assurance Officer callcentre Jakarta. Gimana? Sudah siap kan?

Saya : *pengen nangis* Hwaa, enggak, Mbak! huhuhuh.. Jadi pengen ikut Nanang, resign juga nih.. :((

Mbak Ketut : yah kok Devi gitu. Ini namanya amanah Dev.. Kamu seharusnya bersyukur bisa dapat amanah seperti ini, kamu dianggap mampu memimpin teman-teman QAO. Saya yakin kamu bisa kok. Kan pengalaman kamu jadi TL juga sudah banyak..

Saya : tapi kan dulu saya TL-nya agent callcentre, Mbak. Bukan TL-nya QAO.

Mbak Ketut : ya semuanya pasti dulunya pernah mengalami “nggak pernah”, kan? Dicoba dululah. Kamu pasti bisa kok..

Saya : Ya udah deh mbak, saya bersedia. Tapi saya boleh tandem dulu kan, Mbak?

Mbak Ketut : ya boleh dong. Ya udah, congrats ya, Dev..

Saya : Makasih. Mbak.. *lemes*

KLIK! Saya pun menutup telepon dengan tidak bersemangat.

Teman-teman langsung memeluk saya,cupika-cupiki seperti saya habis menang undian apa gitu. Terutama 3 kandidat yang lain itu, jelas mereka lebih lega daripada saya, karena tanggung jawab itu akan berada di pundak saya, kan? :(( . Akhirnya, sore itu saya menjadi sangat pendiam. Khusyuk mendengarkan Nanang mengajarkan cara kerja & membuat laporan, menginformasikan tanggal-tanggal rawan yang harus saya ingat karena berkenaan dengan due date penyerahan laporan.

1 Februari 2009 itu bukan sebulan atau seminggu lagi. Tanggal 1 Februari 2008 itu sudah besok? Mana ada sih proses hand over pekerjaan secepat ini? Biasanya juga disiapkan dulu paling tidak seminggulah untuk si calon pengganti menyesuaikan diri, belajar dulu. Kalau sehari begini mana bisa maksimal? Berkali-kali saya mengeluh dalam hati. Karena saya orangnya memang tidak bisa dadakan.

Berbagai pikiran berseliweran : “Duh, nanti kalo udah jadi TL masih bisa nulis nggak,ya? Masih bisa buka facebook nggak, ya? Masih bisa chatting? Masih bisa dengerin mp3 sampai mabuk nggak ya? Kan kalau sudah jadi TL jadwalnya padat banget, belum kalau nanti mengisi kelas training, harus bisa “melindungi” anak buah saya kalau dikomplain sama teman-teman partial & fully outsource. Hedeh, bisa nggak yaaa? :-ss “

Seorang teman mengirim sms yang bunyinya begini :

” Tuhan punya rahasia yang indah dan berbicara dalam bahasa yang misterius, tetep willing to do the best ya, Mbak. Enjoy & keep smiling. Semoga semakin lebih baik, makin sinergis & makin bersemangat.. Amin3x “

Baiklah kalau begitu. Semoga bisa menjalankan amanah ini dengan sebaik-baiknya ya. Amien ya rabbal alamien.. [-o<

[devieriana]

Continue Reading

Menghargai Perasaan Orang Lain

Ada pepatah yang mengatakan…

” Perlakukanlah orang lain,seperti kamu ingin di perlakukan oleh orang lain..”

Kalo bicara tentang “menghargai perasaan” sebenernya mana sih yang penting menghargai perasaan sendiri atau orang lain?

Untuk dapat menghargai perasaan orang lain, nggak jarang kita harus bisa mengesampingkan perasaan kita sendiri. . Like idiosyncrasy of ourselves with the mere of others. Seperti bersikap pretentious & toleran disaat yang bersamaan. Kadang dengan mencoba menghargai perasaan orang lain kita jadi kesannya makan ati banget.. Paling kesel kalo ada temen yang tidak bisa mengerti perasaan kita.. Setengah mampus kita bikin dia nyaman sama kita, eeh.. lha kok ndilalah dia nyantai aja melakukan hal yang nyakitin perasaan kita.. Dan inosennya bilang “emang gue salah ya?”.  Please deh ya, grow up..
Suka sedih banget saya kalo ketemu hal kaya gini..

Saya belajar untuk berhati-hati dengan perasaan dan emosi, terutama terhadap teman, keluarga, rekan kerja. Intinya sih orang lain. Berusaha untuk menghargai perasaan mereka dengan melakukan “reframing”, menempatkan saya di posisi orang lain. Mencoba mengenali diri sendiri dengan mengenali apa yang kita sukai & apa yg tidak kita  sukai. Hal-hal apa yg bisa kita tolerir & hal-hal apa yg bikin kita marah..

Tidak mudah memang memahami perasaan orang lain, namun jika kita cukup peka kita bisa menumbuhkan empati kita terhadap mereka..

Continue Reading

Permen = Uang ?!!

foil_wrapped_hard_fruit_candy

 

 

 

 

 

Sebenarnya topik yang ingin saya angkat ini bukan topik yang samasekali baru, bahkan mungkin sudah terblang lama & basi ya. Tapi lebih ke keheranan & rasa kepenasaranan saya saja. Dulunya kenapa atau gimana awalnya uang bisa digantikan dengan permen sebagi kembalian..

 

Mungkin dipikirnya kita seneng-seneng aja kali ya terima kembalian dalam bentuk permen, toh ga sampai sekantong ini. Ya awal-awalnya mungkin kita merasa fine-fine saja , permennya kan bisa kita makan sambil jalan menuju parkiran, atau pas lagi nunggu angkot. Tapi kok lama-lama jadi ga enak ati sendiri melihat begitu banyak permen hasil kembalian belanja di toko/supermarket yang sudah berhasil saya kumpulkan. Mau dijual lagi ya pastinya ga bisa, apalagi mau ditabung dalam bentuk deposito.. (heheh.. kalau yang ini pemikiran saya yang lebay amit-amit deh..). Tapi andaikan ada bank yang menerima deposito dalam bentuk permen, ditanggung pas pencairan dana kita pada jamaah ke dokter gigi, he5x.. God, what a hiperbolic I am..)

 

 

Memangnya bisa ya kita kalau naik angkot bayar Rp 500-nya pakai permen? Atau pihak toko/supermarket mau ya kalau uangnya kurang terus kita bayarnya pakai permen? Entah karena sudah banyak yang mengkritisi atau memang kesadaran dari pihak toko/supermarket ya sekarang mereka tidak lagi memberikan kembalian dalam bentuk permen tapi mengalihkan dalam bentuk “sumbangan untuk PMI”. Seperti yang sudah saya alami beberapa kali ketika saya membeli barang di toko/supermarket atau apotik. yang sedikit mengherankan ucapan mereka seperti sudah “di set” seperti itu, “apakah Ibu tidak keberatan jika kembalian Ibu sebesar Rp 200,- disumbangkan untuk PMI?”. Ya dengan pertimbangan kemanusiaan sih saya oke-oke saja, toh cuma Rp 200,- ini.

 

 

Tapi ketika kejadian ini makin sering saya alami kok akhirnya menimbulkan tanda tanya tersendiri bagi saya ya.. Bukannya saya “maruk” ngebelain uang kembalian Rp 100-500,- ya, tapi akhirnya saya jadi nanya-nanya sendiri, apa iya beneran disumbangkan buat PMI? kalau iya, saya bisa dapat buktinya dari mana? Bagaimana cara mereka memilah antara dana yang disumbangkan untuk PMI dengan yang memang benar-benar margin perusahaan? Apakah memang ada agreement resmi antara pihak toko dengan PMI?

 

 

 

Ya ini cuma pemikiran saya sebagai masyarakat awam saja. Maksud saya sih lebih ke pertanyaan di sisi transparansi aja. Jangan sampai ada anggapan mengalihkan perhatian masyarakat dari “si permen” itu tadi menjadi “sumbangan ke PMI” yang ujung-ujungnya menguntungkan pihak penjual, begitu.. 🙂

 

 

 

 

 

 

Continue Reading

Obama – election, new president, hope, new change, euphoria..

 

 

barack-obama

 

 

 

 

 

Semalam seolah semua perhatian dunia tersedot ke semua siaran live pelantikan Barack Obama sebagai presiden USA yang ke 44. Tapi kesan yang saya tangkap kok malah jadinya semakin mengiyakan kalau Amerika Serikat itu sebagai kapitalis sejati ya. Ya gimana enggak, wong presiden aja laku “dijual” . Nih ya, mulai topeng Obama, t-shirt, pin sampai siaran langsung pelantikan yang disaksikan jutaan pasang mata yang semuanya itu bertujuan menangguk keuntungan dollar.. Ya iyalah, masa meraup keuntungan dalam bentuk dedaunan? :p

 

 

Walaupun semalam ada siaran langsung di beberapa stasiun televisi di Indonesia dengan iklan yang bejibun, tetapi saya justru sudah di alam mimpi tuh ketika siaran langsung dimulai (hehe, gak seru amat ya gue?). Dan pertanyaan paling exist pagi ini adalah : “lu nonton Obama ga semalem?”, hehehe.. bahkan tadi pagi liat Liputan6 SCTV meliput di SD St Fransiskus Asisi (bener ya nama SD-nya?) malah semaleman guru & murid nonton acara mereka live di tv.. Yampun itu anak2 ya tar kalo paginya telat sekolah jangan dimarahin ya pak/bu.. please deh.. Ya mungkin mereka ada kebanggaan tersendiri karena Obama kan pernah sekolah di sekolah mereka beberapa tahun yang lalu.. But actually the point is, Obama is not your president.. Kenapa sampai segitunya sih.. Beberapa rekan sepakat bahwa Barack Obama bukan presiden kita dan tidak ada manfaatnya ikut-ikutan euforia yang nisbi dan absurd alias ga penting kaya gitu.. (haiiaaahhh .. istilahku yaaa.. heheheeh..). Okelah kalo misal itu adalah sebagai perayaan “pemecah sejarah” bahwa konsep seorang president untuk USA selama ini adalah dari kalangan WASP (white, anglosaxon, protestant), dan terbukti bahwa Obama yang notabene berbeda dari konsep itu akhirnya bisa jadi president.. That’s fine, gapapalah..

 

 

Mmh.. tapi kalo diperhatikan kok kayanya berasa kontras aja dengan acara pelantikan presiden kita sendiri yang (kayanya.. moga-moga sih saya salah ya..) tidak dianggap oleh rakyat Indonesia sendiri. Ini presiden mereka sendiri lho, tapi ga kedengeran gegap gempitanya seperti pas mereka dengan antusias menyaksikan pelantikan Obama sebagai presiden ya? Atau memang orang Indonesia kurang bisa mengemas dan menjual acara resmi supaya bisa menjadi acara yang lebih enjoying, bisa dinikmati, yang tidak terlalu berkesan kaku & protokoler sehingga bisa lebih dinikmati oleh semua kalangan ya? Masukan aja nih, siapa tau tar ada orang tv yang baca tulisan saya ini trus pengen membeli hak siar acara pelantikan president kita & pengen mengemas jadi tontotan yang ga menjenuhkan.. hehehe.. itu mimpi saya.. :p
Emmh, tapi bisa juga masih ada rasa tidak enak menjual presiden sendiri.. hehehe.. :p

 

 

Ya sutra.. biarlah Amerika bersuka ria dengan presiden ke-44 mereka. Saya hanya bisa bilang : “Mr. Barack Obama, You are not my president..But congratulations for you, anyway..”

 

 

 

 

 

Continue Reading

jangan sebut AUTIS lagi ..

351x321autisme

 

 

Entah kenapa, saya kok selalu risih ya ketika mendengar seseorang yang bercanda dengan menggunakan kata “ah, lo diem aja sih kaya anak autis aja..”. Atau berbagai penggunaan kata autis lainnya yang bermaksud buat “becandaan” untuk mengibaratkan orang yang asyik dengan dunianya sendiri, entah lantaran kesibukan atau keasyikan tertentu.

Saya tahu tiap orang berhak bercanda dengan gaya & istilah apapun, tapi bagaimana jika yang mendengar lelucon kita itu adalah orang tua atau bahkan penyandang autisme itu sendiri? Tidak pernahkah kita ikut menjaga perasaan, berempati, ikut merasakan apa yang mereka rasakan jika memiliki keterbatasan seperti itu. Jangankan kata-kata autis, ejekan yang mengarah ke keterbatasan mental/fisik yang lain pun saya berusaha hindari.

Bersyukurlah bahwa kita diberikan kesehatan & kesempurnaan mental & fisik.  So, would you please stop calling autis to anyone arround you?

 

[devieriana]

 

 

Continue Reading